Hits: 12

Raymond Putra Pratama Silalahi

Hari itu angin bertiup sangat lembut menyentuh kulit. Rasanya berbeda dari sini. Aku termenung di bawah pohon besar yang berdiri di atas bukit kecil. Merebahkan badan di sini sangat nyaman, karena terasa menyejukkan.

“Langit pun berbahagia hari ini,”

rasanya hati ini ingin sekali terbang di atas sana, pasti aku bisa melihat apa yang ada di ujung hamparan rumput-rumput hijau ini. Apakah di bagian utara terdapat warna rumput yang berbeda? Atau bahkan ada sungai kecil yang menjadi sumber hijaunya rumput ini? Atau di bagian baratnya adakah sebuah rumah milik seorang gembala? Pasti dia akan membawa banyak sekali domba untuk makan di sini. Wajar saja, banyak rumput tinggi yang masih ada di daerah ini. Aku yakin rumput-rumput di sini memiliki nutrisi yang sangat baik untuk tubuh hewan-hewan yang memakannya.

Aku bahagia di sini, rasanya seperti aku melihat dunia yang aku inginkan. Sebenarnya keberadaanku di tempat ini karena aku lari dari kenyataan yang aku jalani sekarang. Permasalahan hidup, keluarga, pekerjaan, cinta, dan diri sendiri, rasanya semua bergejolak di hatiku. Banyak teman yang mengatakan,

“kau bisa bercerita padaku,”

tapi apakah kau peduli? Atau hanya bertanya? Bahkan di benakku memikirkan,

“kau akan tertidur mendengarkan aku bercerita, ini bukan kisah yang menarik.”

Aku sudah mencobanya, dulu-dulu kala, di saat hatiku benar-benar berani dan tidak malu serta takut. Dan benar saja,

“Bukan, seharusnya kamu tidak seperti itu, seharusnya…seharusnya…jika aku menjadi kamu aku akan…,”

dan blaa…bla…blaa…dia hanya menghardik, menyela, dan menilai tanpa mendengarkanku sampai selesai. Rasanya dia tidak benar-benar ingin mendengarkan apa yang ada di hatiku, dia hanya ingin dimengerti bagaimana pemikiran yang ia punya. Bukan aku mengelak dari apa yang ia katakan atau aku tidak menginginkannya, tetapi di saat dia meminta aku untuk bercerita, bolehkan dia mendengarkanku tanpa harus memotong dan menilai sebelum aku memintanya?

Kata mereka,

“Seorang pria tidak boleh menangis, seorang pria harus kuat, seorang pria harus…harus…dan harus.”

Aku sangat kesal jika ada yang mengatakan hal itu. Mereka lupa jika pria jugalah manusia. Tetapi hal yang menyedihkan, sekarang aku di sini, berdiam diri dengan seluruh perasaan yang sudah tenggelam sampai dasar duniaku. Aku mengikuti apa yang mereka bilang bahwa lelaki tidak seharusnya menangis. Aku sendiri lupa bagaimana caranya mengeluarkan semua kalimat yang ada di pikiranku. Aku takut jika mereka menilai bahwa aku adalah pria yang lemah, atau hanya ingin menggunakan cerita sedih untuk mencari perhatian. Rasanya ada yang salah dari ini semua, tetapi aku tidak bisa menentangnya.

Di sini benar-benar sangat nyaman dan menyakitkan. Bayangkan saja, yang aku lihat sekarang adalah pemandangan dari atas bukit, langit biru dengan awan-awan putih, serta hamparan rumput hijau yang aku sendiri tidak bisa melihat mana ujung dari mereka. Tapi di sini pun sakit itu tetap mengikuti.

“Hahahaha…kau memang teman dekatku, menghantuiku ke mana pun aku pergi. Kapan kita bisa berpisah?”

Hatiku ingin pergi meninggalkannya. Aku termenung, diam, dan mengacak rambutku tanda aku menolak pikiran buruk untuk datang.

“Aku ingin tenang…”

Rasanya aku ingin terbang ke langit sana, bermain di sana, atau hanya sekadar melihat-lihat. Sempat aku berpikir,

“Apakah mengakhiri hidup adalah pilihan yang tepat? Tapi rasanya…,”

Aku mulai tenggelam, diam, dan semua gelap.

Rasanya semua berat dan gelap, aku merasa dingin dan tenang. Aku mendengar suara serangga dengan jelas, tetapi rasanya suara itu tidak menggangguku.

Aku ingin sedikit lebih lama seperti ini,” kataku di benak. Semuanya hening dan seperti berlalu sangat lama.

“HAAAAAH!!” Aku terkejut dan terduduk.

Aku merasakan air di mataku lalu mengusapnya. Aku berdiri dan melihat ke depan.

“Aku tertidur,” kataku sambil melihat ke atas langit.

Langit biru muda berganti warna menjadi biru tua dan kali ini dihiasi oleh bintang-bintang terang. Aku menghirup udara malam itu dengan tenang untuk beberapa kali dengan tujuan menenangkan diri. Aku mulai berjalan kembali ke rumah yang ada di depan pohon besar ini. Ini adalah pohon yang aku tanam sejak kecil, dan sekarang dia melindungiku sampai malam.

“Ini lebih baik daripada mengakhiri semuanya secara bersamaan.”

Leave a comment