Hits: 39
Fadhilah Safa Salsabila Desky / Anissa Nurul Faiza
Pijar, Medan. Di tengah isu pendidikan yang sangat memprihatinkan, Galih Sulistyaningra yang kerap disapa Galih, menginspirasi lewat kisahnya sebagai guru sekolah dasar. Setelah menyelesaikan pendidikan S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Galih melanjutkan studi S2 di University College London (UCL) program Education Planning, Economics and International Development dengan beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
Setelah selesai menimba ilmu di London, Galih memutuskan untuk kembali ke Indonesia dan mengabdi sebagai guru sekolah dasar. Keputusan ini menjadi langkah awal bagi dirinya untuk berkontribusi langsung pada pendidikan di Indonesia.
Meskipun memiliki gelar magister, Galih memilih untuk menjadi seorang guru SD. Ia merasa bahwa perannya sebagai pendidik di tingkat dasar sangat penting. Sebenarnya, menjadi guru bukanlah rencana awal bagi Galih. Ada suatu momen yang cukup membuat mata Galih terbuka.
Seperti dikutip dari mediakeuangan.kemenkeu.go.id, Galih mengatakan rasa percayanya bahwa ruang kelas merupakan salah satu media untuk menjadikan pendidikan sebagai alat kebebasan.
“Kalau mau berdampak lebih besar lagi di pendidikan, itu harus mulai dari akar rumput dan pada saat itu saya percaya sebenarnya ruang kelas adalah salah satu media untuk kita menjadikan pendidikan sebagai alat kebebasan,” terang Galih.
Galih lebih memilih menjadi seorang guru di SD Negeri karena menurutnya pendidikan berkualitas adalah hak setiap anak. Terlebih lagi di Indonesia sendiri, anak-anak datang dari berbagai latar belakang suku, agama, ras, serta sosial ekonomi. Keberagaman itu menurut Galih bisa ia ditemukan di SD Negeri.
Galih juga aktif membagikan kesehariannya mengajar di media sosial miliknya. Melalui video yang ia buat, dapat dilihat bahwa Galih tidak hanya mengajarkan materi akademis di kelasnya, tetapi juga nilai-nilai penting yang relevan dengan perkembangan karakter anak.
Ia mengajarkan pentingnya kesetaraan gender sejak dini dan menanamkan nilai-nilai empati, serta kemanusiaan yang dikemas dalam proses belajar mengajar yang menarik untuk siswa/i-nya.
Kurangnya peran orang tua dan kesadaran terhadap pendidikan menjadi salah satu tantangan bagi Galih selama mengajar di sekolah dasar. Menurutnya, orang tua juga harus terlibat dalam pendidikan dan pembentukan karakter anak. Terlebih saat berada di usia dini, seharusnya para orang tua tidak hanya menyerahkan semua pada guru di sekolah.
Meski begitu, semangat Galih tidak pudar, ia tetap berusaha menciptakan suasana kelas yang nyaman, interaktif dan relevan dengan isu-isu terkini. Ia berharap siswa merasa lebih terlibat dan termotivasi untuk belajar, serta dapat meningkatkan minat dan rasa ingin tahu mereka.
Melalui konten-konten yang diunggah di media sosial pribadinya, Galih mendapatkan banyak pujian dari masyarakat. Banyak netizen yang menganggapnya sebagai contoh penerima beasiswa LPDP yang tepat sasaran; yang tidak hanya mengejar karir pribadi, tetapi juga berkontribusi untuk pembangunan negeri.
Galih Sulistyaningra adalah contoh nyata dari seorang pendidik yang mengabdi untuk masyarakat. Dengan latar belakang pendidikan dan komitmen yang dimilikinya, ia berusaha untuk menciptakan perubahan positif dalam dunia pendidikan di Indonesia. Baginya, ini merupakan langkah awal sebelum meraih kesempatan yang lebih besar lagi.
“Jadi, ada salah satu bacaan wajib sebelum kita masuk kuliah, itu judulnya Pedagodi of The Oppressed, pendidikan kaum tertindas. Dari situ saya terbuka bahwa memang banyak sekali yang perlu dibenahi di pendidikan dan saya rasa mulainya harus dari ruang kelas dulu, makanya terpanggil untuk menjadi guru,” pungkas Galih yang diwartakan dari surabaya.tribunnews.com.
(Redaktur Tulisan: Alya Amanda)