Hits: 19

Ayu Nabila Putri

Slurrppp, suara tegukan kopi favoritku di pagi hari. Tugas kantor yang aku dapatkan kemarin, cukup membuatku frustasi dan begadang semalaman. Pagi ini aku memutuskan untuk mengembalikan mood dengan sedikit rileksasi.

“Jun, ini ada proposal proyek yang perlu diselesaikan hari ini, bos minta sebelum jam makan siang udah diteken ya” celetuk teman sekantorku Nayla sambil menyodorkan sebuah berkas.

Aku bekerja di sebuah instansi Pemerintahan Kementrian Komunikasi dan Informasi, tidak banyak anak muda sebayaku yang bekerja di sini. Hanya ada aku, Nayla, dan tiga orang lainnya.

“Ayo semangat” batinku, siang ini aku tidak mau kehabisan pecal Bu Siti lagi.

Waktu terus berjalan, sembari aku menyelesaikan proposal ini. Jarum pendek sudah menunjukkan tepat pukul sebelas. Entah mengapa aku merasa mengantuk, sepertinya kandungan kafein dalam kopi yang ku minum tidak dapat menahan rasa kantukku.

“Aku menanti surat spesial darimu” kata-kata yang terbaca oleh kedua mataku pada selembar kertas putih dengan bekas robekan di sekeliling sisinya.

Plakk, tiba-tiba hantaman tangan kurasakan di bahuku. “Juni, udah jam berapa ini, kok bisa-bisanya ketiduran sih” resah Nayla, yang ternyata berusaha membangunkanku dari lima menit lalu. Aku yang baru saja menegakkan badan dari posisi awalku, langsung bergegas mencetak semua berkas yang sudah selesai ku ketik.

Akhirnya, target proposal yang aku kerjakan selesai tepat waktu. Walaupun lagi-lagi aku kehabisan pecal Bu Siti, yang porsi terakhirnya didapat oleh Pak Rudi. Tapi setidaknya aku tidak mendengar ocehan si bos lagi. Setelah selesai jam kantor, aku mengajak Nayla makan di café favoritnya, sebagai tanda terima kasih karena telah membangunkanku.

“Makasih ya Nay, udah mau bangunin aku tadi” ucapku.

“Yaampun Jun, santai aja kali, lagian kok bisa sih kamu tidur sepulas itu?” tanya nya heran.

“Aku juga bingung Nay, tapi tadi tuh aku kayak dapat surat gitu dalam mimpi” jawabku dengan wajah serius.

“Surat apaan Jun? kebanyakan nonton drakor deh kamu” celetuknya pedas. Percakapan pun berlanjut dengan aku yang memalingkan pembicaraan untuk membahas keluaran baju terbaru dari sebuah brand terkenal.

Sesampainya di rumah, aku langsung membaringkan tubuhku di tempat tidur, “Ahh nyaman sekali rasanya” kataku dalam hati.

Tiba-tiba ingatan tentang tulisan yang kulihat tadi siang kembali muncul. Bohong kalau aku tidak tahu siapa penulis surat dengan robekan itu. Hanya saja aku tidak ingin terlalu mengingatnya.

Angin yang berhembus pelan, udara sejuk setelah hujan, dan dedaunan yang basah, menjadi penenangku sore itu. Aku baru saja kehilangan buku kesayanganku, yang ku beli menggunakan uang tabunganku. Bukan masalah harga, hanya saja buku itu sangat berharga bagiku, di dalamnya berisi tulisan-tulisan yang menemaniku di saat semua memilih menjauh.

Dengan perasaan gundah, aku memutuskan pulang ke rumah. Jalan kaki adalah cara terbaik, untuk sedikit mengalihkan kesedihan ini. Melihat anak-anak sekolah yang berjalan bersama temannya sambil sesekali melempar candaan, membuatku menyadari bahwa aku bukanlah satu-satunya manusia di bumi ini. Pandanganku seketika teralihkan pada seorang anak yang terdengar menangis di pinggir jalan. Aku bergegas menghampiri anak tersebut, dan menanyakan apa yang terjadi padanya.

“Kamu kenapa dik?” tanyaku pelan.

Bukannya menjawab pertanyaanku, ia malah menunjuk tangannya ke arah sebuah pohon yang berada tidak jauh dari kami. Aku merasa bingung, entah kenapa aku terdorong untuk melihat pohon tersebut dari dekat. Ternyata ada sebuah layangan yang tersangkut di sana.

“Kamu ingin mengambil layangan ini ya?” tanyaku. Ia lagi-lagi tidak bersuara dan hanya menganggukkan kepalanya.

Mengetahui hal tersebut, membuatku mencari sesuatu di sekitar kami yang bisa menggapai layangan berwarna kuning itu. Tubuhku yang memiliki tinggi tidak sampai 155cm ini, tentu saja sulit menggapai layangan yang tersangkut di ujung pohon tersebut. Namun sebisa mungkin aku meraihnya dengan sedikit jinjit dan melompat. Sayangnya layangan tersebut tidak berhasil jatuh dari pohon. Aku hampir berputus asa, dan mencoba untuk mencari cara lain.

Tiba-tiba seorang lelaki dengan tubuh semampai datang mendekati pohon tersebut. Laki-laki itupun melihat ke atas tepat di mana layang-layang itu berada. Tanpa aba-aba, ia mengambil kayu yang pada saat itu tergeletak di sebelahku. Tingginya yang semampai, cukup membuatnya untuk menggapai layang-layang yang tersangkut. Ia berhasil menjatuhkan layang-layang itu, namun dengan meninggalkan robekan di sisi kanan layangannya. Anak yang sedari tadi terlihat murung itupun bergegas menghampiri laki-laki itu.

Lagi dan lagi, tanpa terdengar suara sedikitpun, anak itu hanya bereaksi dengan tersenyum dan membungkukkan badannya, seakan mengucap terima kasih. Laki-laki itu hanya membalasnya dengan acungan jempol. Keadaan ini semakin membuatku bingung, aku sempat mengira apakah mereka tidak ingin pembicaraannya diketahui oleh ku.

Lelaki itu kemudian beranjak begitu saja, berjalan menjauhi pohon. Meninggalkanku yang masih mencoba menerka keadaan, entah kenapa rasanya seperti sedang dicurangi. Aku berjalan ke arahnya,

“Sebenarnya apa yang aku lakukan? Kenapa aku sampai mengikutinya?” tanyaku berkali-kali dalam pikiran.

Kakinya yang jenjang, membuat langkahnya panjang dan cepat. Aku tertinggal cukup jauh karena hal itu. Tidak sadar sudah berapa jauh aku melangkah, namun aku hanya bisa melihat belakang punggungnya. Untungnya kali ini dia berhenti di sebuah toko buku.

Tapi seperti ada yang aneh “Toko Buku Mahardika? Itukan tempat aku membeli buku kesayanganku” ucapku dengan nada curiga. Aku berjalan mendekati toko itu, mengendap-endap masuk seperti seorang pencuri.

Lelaki itu kemudian membuka ransel yang sedari tadi digendongnya, ia tampak sedang merogoh sesuatu di dalam ransel tersebut. Betapa kegetnya aku ketika melihat ia menggenggam sebuah buku dengan sampul merah berpita merah jambu.

“Itukan buku milikku” tegasku dalam hati. Tanpa berlama-lama aku menghampiri lelaki yang masih berada di meja customer service tersebut.

“Hei, kamu, dapat dari mana buku ini? kamu pencuri ya? tanyaku dengan tidak sabaran.

Lelaki itu tidak menjawab, ia hanya melihat ke arahku sambil sedikit mengangkat buku itu dari posisi sebelumnya.

“Aku bertanya denganmu, jawab dong” tegasku lagi.

Ia kembali tidak bersuara, namun menyodorkan buku itu kepadaku. Petugas Customer Service yang sedari tadi melihat kemarahanku bergegas angkat bicara,

“Mohon maaf mbak, apakah mbak pemiliki buku ini? Mas ini tadi datang ke mari untuk menyerahkan dan melaporkan buku yang ditemukannya” jelas petugas itu.

Setelah mendengar penjelasan tersebut, wajahku langsung terasa panas, malu sekali rasanya menuduh seseorang mencuri buku kesayanganku, padahal laki-laki itu yang menemukannya. Aku langsung meminta maaf padanya, dan sedikit mengajaknya mengobrol. Namun ia tidak berbicara, hanya mengangguk dan tersenyum.

Mengetahui respon tersebut, tanpa sadar aku bertanya “Kamu tidak ingin berbicara denganku ya?” tanyaku penasaran. Ia kemudian menggelengkan kepalanya.

“Lalu kenapa sepertinya kamu tidak bersuara daritadi?” mendengar pertanyaanku, ia langsung mengambil buku dan menuliskan sesuatu “Aku penyandang tunawicara” tertulis jelas di kertas itu.

Aku kembali meminta maaf, namun iya bergegas melambaikan kedua tangannya seakan berkata tidak apa-apa. Karena tidak memiliki banyak waktu, aku hanya meminta nomor teleponnya untuk berkomunikasi lebih lanjut, setelah itu kamipun berpisah.

Seminggu sudah terlewati semenjak kejadian memalukan itu, aku merasa berhutang budi padanya, jangankan memberikan sesuatu sebagai tanda terima kasih, menanyakan namanya saja aku lupa. Hari ini aku memutuskan untuk mengajaknya bertemu, dengan memberanikan diri, aku mulai mengambil gawai ku dan mengirimkannya sebuah pesan. Betapa terkejutnya aku ketika dengan cepat mendapat balasan pesan darinya, yang berisi penjelasan bahwa ia menerima ajakanku. Kali ini aku tidak mengajaknya ke sebuah café, karena sepertinya dia juga menyukai buku, jadi aku memilih Toko Buku Mahardika sebagai tempat kami bertemu untuk kedua kalinya. Walaupun aku belum banyak mengetahui bahasa isyarat, tetapi aku cukup terbantu dengan tulisan atau pesan dari gawai yang dikirimkannya padaku di saat kami berbicara.

Menyenangkan rasanya ketika mengetahui kami memiliki banyak kesamaan, mulai dari novel favorit, penulis buku favorit, sampai nama depan kami yang sama-sama diambil dari bulan kelahiran kami. Ya, namanya adalah Aprilio Bagaspati, sedangkan aku Juni Anindita. Ia lahir pada bulan April dan aku bulan Juni. Setelah pertemuan ini, kami mulai membuat agenda untuk pertemuan-pertemuan berikutnya. Terkadang membahas buku edisi terbaru, genre musik kesukaan masing-masing, sampai dengan membahas tugas-tugas kuliah yang cukup memberatkan. Baru kali ini rasanya aku memiliki sosok yang bisa kuanggap teman. April banyak mengajarkanku hal baru. Bahkan kini aku mulai mahir menggunakan bahasa isyarat karenanya.

Pada suatu pertemuan, kami kembali melewati pohon tempat kami pertamakali bertemu. Kemudian aku sedikit menceritakan ulang kejadian di saat berusaha menolong anak kecil itu, April kemudian menjelaskan bahwa anak tersebut juga merupakan penyandang tunawicara yang berada pada satu panti dengannya. Sekian lama, akhirnya terjawab sudah pertanyaan mengenai anak kecil yang aku kira tidak ingin bicara denganku itu.

Dua tahun telah berlalu, hubungan kami pun semakin dekat. Hari ini sudah memasuki bulan Juni, dan besok adalah hari ulang tahunku. Seperti biasa aku akan merayakannya bersama April di bawah pohon tempat kami bertemu, Pada bulan April yang lalu, kami juga merayakan ulang tahun April dengan piknik seadanya. Begitupula dengan esok hari, di hari ulang tahunku. Kami juga tidak lupa saling membuat surat yang berisi harapan untuk kami, aku menyebutnya sebagai surat spesial.

Keesokan harinya, aku memilih pakaian terbaikku, dan bergegas menuju lokasi untuk bertemu dengan April. Hampir satu jam aku menunggunya, namun April juga tak kunjung datang. Perasaan gelisah mulai muncul dalam benakku, aku mencoba menelponnya, namun panggilan dariku tidak diangkat. Aku hanya bisa berharap tidak terjadi apa-apa padanya. Sudah terlalu lama aku menunggu, akhirnya aku memutuskan untuk mendatangi panti tempat April tinggal.

Mbok Rani adalah salah satu penjaga dari panti tersebut, Mbok Rani mengatakan bahwa April memang pergi dari dua jam yang lalu, namun tidak memberitahu dengan jelas akan pergi ke mana. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi mencari April, setelah berpesan pada Mbok Rani untuk membantu mencari April, aku kemudian bergegas mengunjungi tempat-tempat yang pernah dikunjungi olehnya. Sesampainya di Toko Buku Mahardika, aku menerima telepon dari Mbok Rani yang mengatakan bahwa April berada di stasiun. Mendengar hal tersebut, membuatku segera menyusul ke stasiun untuk memastikan keberadaan April.

Seperti seekor anak kucing yang mencari induknya, aku melihat sekitar dengan penuh perhatian, berharap bisa menemukan April. Di tengah hiruk pikuk orang-orang yang akan masuk ke kereta api, dari kejauhan aku melihat tas ransel khas yang dimiliki oleh April. Sambil berlari aku berteriak memanggil namanya.

“April..” teriakku cukup kuat, membuat orang-orang di sekitar melihat ke arahku.

Ia membalikkan badannya, benar, itu memang April. Namun teriakanku tidak menghentikan langkahnya, ia tetap berjalan ke arah pintu masuk kereta. Sesampainya di dalam pintu, April kembali menoleh ke belakang sembari melihatku, Ia kemudian mengambil sesuatu dari dalam ranselnya, sebuah kotak di balut kertas kado dengan surat yang diikat pita di atasnya. Aku yang berada dekat dengan pintu masuk kemudian kembali melempar pertanyaan

“Kenapa kamu tiba-tiba pergi Ril, hari inikan harusnya menjadi hari spesialku” tanyaku dengan air mata yang tertahan di kelopak mataku.

April terlihat sedikit menunduk saat itu, kemudian ia mulai menggerakkan tangannya untuk memberi bahasa isyarat

“Maaf Jun, aku harus pergi, aku berharap kita bisa bertemu lagi, terima kasih sudah menjadi teman baikku” terlihat dari gerakan tangan dari April, ia kemudian melanjutkannya “Semoga suka dengan hadiahnya” sembari menyodorkan kotak itu padaku.

Aku masih terpaku dengan situasi saat itu. Air mataku tidak terbendung lagi, bahkan kata-kata pun tidak mampu keluar dari mulutku. April pergi, menjauh masuk ke dalam, beriringan dengan lajunya kereta api itu.

Aku pulang dengan rasa gundah, seperti dejavu saat aku kehilangan buku kesayanganku. Namun kini, yang hilang adalah April, teman baikku. Dengan menarik nafas, aku perlahan meraih kotak pemberian April dan membukanya. Kotak itu berisi novel keluaran terbaru yang sudah lama ingin kubeli. Kemudian aku membuka surat yang diikat oleh pita merah jambu itu.

 “Untuk sahabatku Juni Anindita, di tempat. Tidak terasa ya, sudah kali kedua aku ikut menyaksikan bertambahnya usiamu. Selamat ulang tahun Jun, kamu pasti tahu aku selalu mengharapkan segala kebaikan terjadi padamu. Kamu pantas bahagia dan di kelilingi oleh orang-orang baik di sekitarmu. Terima kasih ya sudah menerima ku yang banyak kurangnya ini di hidupmu. Terima kasih sudah membuatku merasakan banyak pengalaman baru, Terima kasih untuk menjadi Juni yang pemberani, Terima kasih. Pada saat kamu membaca surat ini, mungkin kita tidak sedang bersama. Aku memiliki alasan yang belum bisa aku jelaskan mengenai hal ini. Aku berharap kamu bisa mengerti. Sekali lagi, selamat ulang tahun Jun, bahagia dan sehat selalu ya. Aku menanti surat spesial darimu.”

Tidak terasa air mata mengalir membasahi pipiku.

“Apa-apaan ini, aku dicurangi lagi olehnya” batinku saat itu.

Namun rasa kecewa yang aku dapatkan, membuatku tidak lagi ingin mengingatnya.

Berbulan-bulan telah berlalu, hidup berjalan seperti biasa, aku mulai bisa menerima keadaan yang kualami sekarang, tanpa ada April tentunya. Hari itu sepertinya aku ingin kembali melihatnya, entah mengapa langkah kakiku membawaku ke panti tempat April tinggal.

“Apalagi yang kamu harapkan Jun, dia tidak di sini” ucapku pada diri sendiri.

Ketika akan beranjak pergi, tiba-tiba Mbok Rani memanggilku,

“Juni, sudah lama ya tidak bertemu, apa kabar kamu?” tanya Mbok Rani. Aku hanya tersenyum tanpa sempat menjawab pertanyaan Mbok Rani. “Sebenarnya ada yang Mbok mau ceritakan padamu Jun” lanjut Mbok Rani dengan wajah serius.

Setelah selesai mendengar semua penjelasan Mbok Rani, aku menyalam tangan Mbok Rani dan berjalanan pulang. Di tengah perjalanan, aku merasa sesak, seperti ada sesuatu yang tidak dapat kuungkapkan. Apalagi setelah mengetahui keputusan April menghindar dan pergi begitu saja. Mbok Rani menjelaskan bahwa April berasal dari keluarga yang kurang harmonis, ayahnya seringkali melakukan kekerasan pada ibunya, bahkan hal itu pula yang membuatnya harus lahir dengan keadaan tunawicara. Sejak kecil ia tidak pernah mengenal cinta. Ia bahkan takut untuk mempercayai keberadaan cinta. Namun semenjak bertemu denganku, April merasakan gejolak asmara yang selama ini belum pernah ia rasakan, tetapi kekurangan yang ia miliki membuatnya tidak percaya diri, dan memilih untuk menjauh kembali ke tempat ibunya. Seperti itulah setidaknya keputusan yang diambil oleh April.

Ia tidak mengetahui bahwa jauh di lubuk hatiku, aku ingin terus berada di dekatnya. Entah sejak kapan aku mulai menyadari perasaan ini, tapi sepertinya aku yang lebih dulu jatuh hati padamu Ril.

Pagi ini aku kembali memesan kopi favoritku, aku juga merasa senang karena tidak terlalu banyak projek yang harus kukerjakan, sehingga dapat merasakan nikmatnya pecel Bu Siti. Sudah lima tahun semenjak kepergianmu Ril, sekarang aku sudah bekerja, walaupun tidak di perusahaan impianku, tetapi aku akan tetap bersemangat. Semoga kamu juga bahagia dan bersemangat di manapun kamu berada ya, Aprilio Bagaspati.

Leave a comment