Hits: 47

Trisha Permata Lidwina Lumbangaol

Pijar, Medan. Mahasiswa kupu-kupu, istilah kerap beredar di kalangan mahasiswa. Pasalnya, terdapat istilah tertentu yang  mengategorikan kalangan mahasiswa berdasarkan aktivitasnya di lingkungan kampus. Lantas apa makna dari “mahasiswa kupu-kupu” itu sendiri? Serta apa dampaknya terhadap mahasiswa?

Mengutip dari artikel “Praktik Budaya Akademik” yang terbit di jurnal Paradigma, istilah “mahasiswa kupu-kupu” merupakan singkatan dari mahasiswa kuliah pulang-kuliah pulang. Jika dikaitkan dengan aktivitas mahasiswa itu sendiri, istilah ini mengacu pada golongan orang yang memilih untuk tidak turut terlibat dalam kegiatan kampus yang di luar dari aktivitas belajar-mengajar.

Mahasiswa tipe ini lebih cenderung study oriented dan “kuliah holic”. Mereka biasanya terfokus pada target akademik. Namun, hal tersebut juga dapat menyebabkan kurang berkembangnya nalar kritis, kreativitas, dan kepekaan terhadap realitas sosial di sekitar.

Istilah mahasiswa kupu-kupu sudah beralih menjadi suatu fenomena di kalangan mahasiswa. Fenomena ini memunculkan perbedaan pendapat dari berbagai pihak. Michael Ang, salah seorang mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU) memberikan pendapatnya  terkait kemunculan fenomena mahasiswa kupu-kupu.

“Sebagai salah satu mahasiswa yang bisa dikatakan tergolong dalam mahasiswa kupu-kupu, saya menanggapi bahwa fenomena ini cukup reasonable dan bisa diatasi, karena sebagai mahasiswa yang pada umumnya masih dalam tahap awal penentuan hidupnya, perlu diingat bahwa beberapa mahasiswa juga memiliki kebebasan untuk menentukan hidupnya sendiri, dan tidak semua bagian dari perkuliahan itu adalah segalanya bagi kehidupan individu tersebut,” tukasnya.

Michael juga menambahi, “Ada yang harus memprioritaskan finansialnya terlebih dahulu, seperti bekerja paruh waktu, ada yang memiliki masalah kesehatan, sehingga harus disiplin waktu. Semua ini masuk akal jika kita melihat beberapa mahasiswa dengan latar belakang dan masalah yang berbeda dan itu tidaklah aneh bagi mereka untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, walaupun terkadang mengorbankan beberapa peluang besar yang diberikan oleh kampus.”

Dalam keberlangsungannya, fenomena mahasiswa kupu-kupu ini tidak terlepas dari pandangan tenaga pendidik. Emilia Ramadhani selaku dosen program studi Ilmu Komunikasi memberikan tanggapannya terkait fenomena ini dari sudut pandang tenaga pendidik.

“Mahasiswa kupu-kupu ini tidak selamanya buruk, namun dalam psikologi sosial terdapat istilah emotional quotient (EQ) alias kecerdasan emosional yang harus kita dapatkan melalui interaksi dengan orang lain. EQ sendiri digunakan dalam  pemecahan masalah yang ada pada kehidupan manusia sebagai mahkluk sosial. Nah, yang dikhawatirkan untuk mahasiswa kupu-kupu ini adalah mereka tidak mempunyai kemampuan itu.”

Secara garis besar, mahasiswa kupu-kupu bukanlah suatu hal yang buruk. Mereka yang termasuk mahasiswa kupu-kupu memfokuskan diri pada aktivitas belajar di perkuliahan. Namun, sebagai mahasiswa, kecerdasan emosional atau EQ tetap perlu diperhatikan. Untuk itu, diharapkan mahasiswa bisa menyeimbangkan waktu antara target akademik dan interaksi sosial di kampus.

(Redaktur Tulisan: Hana Anggie)

Leave a comment