Hits: 42
Lainatus Syifa Hasibuan
“Kamu mana pernah merasakannya,” cibir salah satu temanku, Sinta namanya.
Aku tersenyum miris. Yang kami bicarakan adalah hal-hal manis ketika jatuh cinta. Benar, kalian tidak salah, aku memang tidak pernah merasakan indahya asmara.
“Cobalah berkencan Li, mau sampai kapan kamu jomblo begitu,” temanku yang lain menambahkan.
Lagi-lagi aku tersenyum, biarlah. Toh sudah berjuta kali kalimat itu diucapkan, aku sudah kebal.
***
Cringg..
Pintu kaca itu kudorong pelan, harum segar dari bunga lily yang kususun rapi menyeruak menggelitik penciumanku. Ah benar, aku seorang florist, dan aku bekerja di salah satu toko bunga kecil di sudut kota.
Cringg..
Lonceng pintu itu berbunyi lagi, kali ini tentunya bukan aku, melainkan seorang pria berkemeja putih, di lehernya tergantung headphone berwarna senada.
“Selamat datang,” sapaan itu kulontarkan dengan senyum andalanku, aku sudah kelewat mahir melakukan ini.
Dia balik tersenyum, membaca sekilas nametag ku kemudian beralih memilih bunga.
“Bunga lily yang paling digemari di toko kami,” tanganku meraih setangkai bunga lily, menghirup aroma lembutnya.
“Ia melambangkan cinta dan kemurnian hati,” aku melanjutkan.
Ia menoleh, lalu tersenyum, “Boleh buatkan aku se-bucket lily yang indah ini?”
Aku tersenyum, lagi. Kemudian mengangguk, “dengan senang hati.”
Bucket itu kurangkai dengan sangat indah, kemudian beranjak menghampiri pria berkemeja itu. Ia terduduk di kursi tunggu sembari memainkan ponselnya.
“Permisi, bucket pesananmu sudah siap,” aku menegurnya pelan.
“Ah ya, terima kasih,” lalu kakinya melangkah menuju pintu, namun langkahnya terhenti dan berbalik menghadapku, berjalan mendekat.
Tangannya meraih setangkai bunga lily kemudian terjulur kearahku. Aku menatapnya bingung. Untuk apa?
“Setangkai bunga ini untukmu,” ucapnya.
Aku kembali dalam kebingungan. Apa maksudnya?
Melihat kebingunganku dia berkata, “Bunga ini indah seperti namamu.”
Liliana…
Ah, jantungku berdetak lebih cepat. Pipiku memanas, ini sangat menggelitik, perasaan apa ini?
“Ambillah,” senyum manisnya merekah, tangannya lebih dekat menjulur.
“Te..terima kasih,” entah mengapa suaraku sedikit bergetar, kenapa aku jadi sangat gugup? Jantungku semakin tidak terkendali.
Ia mengangguk, “Kalau begitu, permisi.”
Dia berjalan menuju pintu, membukanya dan melangkah keluar hingga tak lagi terlihat.
Kakiku lemas, perasaan ini, aku tidak pernah merasakannya. Apakah ini yang dinamakan jatuh hati? Ah, aku akan menanyakannya pada Sinta nanti. Aku memutuskan untuk melupakannya sejenak dan bergegas melayani pelanggan lain yang datang.
***
Hari ini Rabu, shift pertamaku sama seperti sebelumnya, pukul 15.00.
Cring..
Pintu toko terbuka.
“Selamat datang,” ucapku seraya menoleh.
Kemudian aku tertegun. Lihatlah, pria itu datang lagi. Ia menyeka pelipisnya, menghampiriku.
“Halo,” sapanya lembut.
Ia senang sekali tersenyum, dan entah mengapa aku sangat menyukai senyumnya.
“Halo,” aku balas tersenyum, berusaha membuatnya nyaman.
“Bucket bunga lily itu, bisakah aku membelinya lagi?”
Jantungku berdetak lebih cepat, perasaan ini lagi. Apakah ia akan memberikanku setangkai bunga lily itu lagi? Aku menatapnya.
“Baiklah,” ucapku.
Ia tersenyum senang dan menungguku merakit bucket-nya. Setelah selesai, aku menghampirinya dan menyerahkan pesanannya.
“Terima kasih,” ucapnya.
Tangannya kembali meraih setangkai lily dan menjulurkan tangannya kepadaku.
“Lagi?” tanyaku. Basa-basi.
“Ya, aku sangat menyukai bung aini, dan aku ingin memberikannya untukmu, walau hanya setangkai.”
Lagi-lagi pipiku memanas, mungkin sudah terlihat seperti rosa, Si Bunga Mawar Merah. Aku mengambilnya.
“Terima kasih,” ucapku.
Dia mengangguk, lalu pergi.
***
Baiklah, biarkan aku bercerita. Pria itu lucu dan aneh. Selama tiga bulan, Ia akan datang setiap minggu di hari Rabu saat shift-ku dimulai dan selalu memesan se-bucket bunga lily. Setangkai dari bagian bucket itu akan selalu ia berikan kepadaku.
Dia akan bilang, “Aku selalu suka bunga ini li, indah seperti kamu dan namamu.”
Jika kalian menjadi aku? Perasaan seperti apa yang akan kalian rasakan? Tentu saja aku merasa special. Perasaan itu terus tumbuh menjadi hamparan bunga-bunga easter yang indah. Aku telah jatuh cinta. Aku tidak salah bukan? Memangnya ada yang tidak merasa berbunga-bunga ketika seseorang memperlakukan kita seperti pria itu?
Aku benar-benar terbuai dengan senyumnya, dengan perlakuannya yang selalu membuatku merasa special dengan bunga yang diberikannya. Bahkan, tanpa kalian ketahui, Ia pernah sesekali menyisipkan sebatang coklat putih di setangkai bunga lily yang diberikannya.
“Coklat ini manis, seperti senyummu,” katanya.
Ah, jantungku menggila, seperti ini rasanya jatuh cinta?
Cringg..
Suara lonceng pintu terbuka mengganggu pikiranku. Pria itu. Aku tersenyum senang, kehadirannya di toko kecil ini membuatku selalu bahagia.
“Halo Liliana,” dia memanggil namaku.
Aku tersenyum. “Se-bucket bunga lily seperti biasa?”
Dia tertawa. “Ya, tentu saja. Aku pelanggan setia bukan?” jawabnya.
Aku balas tertawa kecil. Saat ingin beranjak, pintu toko kembali terbuka. Seorang wanita melangkah masuk. Ia wanita yang sangat cantik, rambutnya panjang berkilauan, pipinya memerah, sepertinya karena cuaca panas diluar. Ia melangkah masuk.
“Kenapa kamu meninggalkanku?” pertanyaan itu ia ajukan pada pria di sampingnya.
Pria yang kucintai. Pria itu menoleh, mengusap pelan kepala si penanya seraya tersenyum. Aku tertegun. Hei, senyum itu tidak hanya untukku?
“Maaf,” suara pria itu menyadarkanku.
Pria itu masih mengusap pelan kepala wanita disampingnya. Kemudian, seakan tersadar, ia kembali menatapku.
“Ah iya,” dia memulai.
“Li, aku ingin menyampaikan ribuan terima kasih padamu, bucket bunga lily buatanmu selalu indah. Dan, kebiasaanku memberikanmu setangkai adalah bentuk terima kasihku padamu. Bucket itu..” Ia menoleh menatap sosok di sampingnya.
“Ia selalu menyukainya,” tangannya meraih tangan si wanita cantik, menggenggamnya erat. Wanita itu tersenyum malu-malu.
Aku terdiam, belum bisa mencerna apa yang sedang terjadi, apa ini? Mengapa rasanya sangat menyakitkan?
“Dia istriku Li, bucket yang selalu kupesan darimu itu untuknya, dan dia sangat menyukainya.”
Hatiku hancur.