Hits: 6
Shofiyana Fadhiilah
Hari ini adalah Sabtu, apakah ada yang istimewa? Tentu saja. Ini adalah hari dimana aku akan merayakan kejuaraanku di olimpiade bersama dengan keluargaku. Tadinya aku bahagia sekali untuk menyambut hari istimewa ini, tapi tidak lagi. Nyatanya, kedua orang tuaku akan pergi ke luar kota demi menemui sebuah pertemuan bisnis. Jika ditanya apakah aku kesal? Sangat, sangat kesal. Padahal aku sudah merencanakan hal-hal yang spesial, seperti memakan kue perayaan bersama, bermain mini games dan diakhiri dengan mencium pipi kedua orang tuaku.
Sebelum itu, perkenalkan namaku Reyna. Aku anak satu-satunya di keluargaku, tidak heran mengapa aku kesal jika permintaanku tidak dituruti. Aku terbiasa dimanjakan oleh Mama dan Papa, bahkan permintaanku selalu dituruti oleh mereka. Jika ditanya apakah aku sudah berusaha mandiri, jawabannya adalah iya. Aku sudah berusaha untuk mandiri, namun aku terlalu menikmati hidupku ini hingga melupakan bahwa suatu saat aku harus menjalankan hidup seperti itu.
Ting Nung
Bel rumahku berbunyi dan membuyarkan segala lamunanku tentang kehidupan indah yang sedang kujalani. Segera aku bangkit dari gegoleran santaiku di depan ruang televisi demi membuka pintu sialan yang seenak jidatnya mengganggu lamunan santaiku.
”SURPRISEE!!!!” Teriak kedua orang yang berada di depan pintu. Tadinya kupikir orang lain, ternyata kedua orang tuaku. Apa tadi? Orang tuaku? Mereka kembali lagi?
Sontak aku kaget dan bertanya-tanya, mengapa mereka berdua ada disini sekarang? Bukannya barusan mereka pergi untuk menghadiri sebuah pertemuan bisnis? Ah, untuk apa aku memikirkan alasan kepulangan mereka yang tiba-tiba. Yang terpenting aku sudah bertemu keduanya dan aku senang karena mereka lebih memilih aku dibandingkan pertemuan bisnis mereka yang tidak aku sukai.
Aku langsung memeluk mereka satu persatu. “Mama dan Papa pulang demi aku? Aku seneng banget deh kita bisa ngerayain kejuaraanku sama-sama hehehe,” ucapku sambil menampilkan cengiranku yang lebar.
“Iya dong, sayang. Mama dan Papa kan pengen kamu bahagia,” balas papa seraya mengusap kepalaku lembut yang merupakan kebiasaan papa yang aku sukai.
“Kalau gitu tiup lilinnya dulu dong, masa kita bawa kuenya tapi nggak kamu tiup,” jelas mama menyodorkan kue yang sudah terdapat lilin diatasnya, sesuai sekali dengan rencanaku.
Seusai aku meniup lilin, langsung saja aku menyuruh keduanya masuk kedalam rumah. “Mama dan Papa tunggu disini ya, aku mau ambil mini games dulu dikamar. Kan kita mau seneng-seneng, iya gak?” Mereka duduk dan hanya tersenyum menatap kepergianku.
Langsung saja aku masuk ke kamarku untuk mengambil papan permainan yang sudah aku siapkan jauh-jauh hari. Tapi, baru saja aku akan mengambil papan permainan yang berada diatas lemariku, handphone ku kian berdering.
“Halo, dengan siapa?” Tanyaku kepada sang penelepon yang tidak kuketahui namanya.
“Kami dari pihak kepolisian, apakah ini saudari Reyna anak dari Bu Vivian dan Bapak James?” Tanyanya yang entah kenapa tiba-tiba membuat tubuhku tegang seketika.
“I-iya, saya sendiri. Ada apa ya pak?” ucapku dengan nada yang terbata-bata.
“Kami ingin mengabarkan bahwa kedua orang tua Anda telah mengalami kecelakaan yang disebabkan oleh supir truk yang mengantuk. Sayangnya, nyawa mereka tidak bisa diselamatkan oleh pihak rumah sakit,” balas pihak kepolisian tersebut.
Nafasku langsung tercekat dan tak sanggup menjawab lagi. Ada apa ini? Mengapa terlalu tiba-tiba? Apakah nantinya aku sanggup? Ini tidak nyata kan?
“Ada apa sayang, kenapa lama banget ngambil permainannya?” mamaku masuk kedalam kamar dan bertanya dengan lembut.
“Kenapa Mama dan Papa ninggalin aku?” Aku bertanya dan tidak menjawab pertanyaan mama tadi. Tidak terasa, ternyata air mataku sudah keluar dari pelupuk mata.
Papa menghela nafas kecewa, “Maafkan kami ya nak, kami hanya ingin berpamitan dengan Reyna sambil merayakan kejuaraan Reyna bersama-sama untuk yang terakhir kalinya. Awalnya kami ingin memberi tahu sendiri kalau kami tidak bisa bersama Reyna lagi. Tapi ternyata Reyna sudah mendengarnya dari orang lain,” jelas papa sambil menangis.
Mama melanjutkan, “Reyna yang kuat ya sayang, jadi anak yang mandiri dan kurangi sifat manjanya. Kan Mama dan Papa sudah tidak ada disisi Reyna lagi, jadi kami harap Reyna bisa
lebih tangguh dari yang biasanya. Tidak gampang menangis dan tidak ngambekan lagi. Bolehkan sayang?” Ucap Mama sambil tersenyum menahan tangis.
Aku menatap sedih kearah Mama dan Papaku, “Bolehkah Reyna peluk Mama dan Papa untuk yang terakhir kalinya?”
Mereka menganggukkan kepala. Langsung saja aku memeluk mereka dan menumpahkan segala tangis kesedihanku. Aku tidak menyangka kalau hari istimewaku nyatanya adalah hari terakhirku bersama mereka.
Mama dan Papa yang ada di depanku, nyatanya bukanlah mereka yang aku harapkan. Fisik mereka sudahlah mati dan kini meninggalkan kedua jiwa yang saat ini sedang memelukku sambil mengucapkan kata-kata perpisahan.
Perlahan-lahan, mereka mulai menghilang tak berbekas. Meninggalkan aku yang menangis bersama setumpuk kue ucapan yang menjadi saksi kepedihanku hari ini.
Aku yang anak manja ini, apakah sanggup hidup tanpa mereka? Aku tidak tahu. Tidak ada lagi pelukan Mama, tidak ada lagi elusan Papa. Bagaimana bisa aku hidup tanpa itu? Biarkan waktu dan usahaku saja yang menjawab semuanya. Dan aku harap hidupku tetap bisa berjalan walau tanpa mereka.