Hits: 116

Muhammad Khalish/ Hannysa

Pijar, Medan. Waktu merupakan aset berharga yang diberikan kepada setiap individu oleh Tuhan, tidak memandang profesi atau status sosial. Setiap orang mulai dari CEO, pengacara, dokter, pedagang, mahasiswa, hingga seorang penjaga parkir tentunya memiliki alokasi waktu yang sama, yaitu 24 jam dalam sehari.

Namun, perbedaan terletak pada cara setiap individu memanfaatkan waktu tersebut. Dikutip dari marketeers.com, Edward Hall dalam bukunya Beyond Culture menjelaskan dua jenis kultur dalam penilaian terhadap waktu yang dimiliki manusia. Menurut Hall, ada dua jenis paham akan waktu, yaitu monochronic time dan polychronic time.

Monochronic time atau M-Time, mengacu pada cara seseorang melakukan pekerjaan secara berurutan dengan asumsi bahwa segala sesuatunya harus diatur dan dijadwalkan dengan baik. Mayoritas orang Barat cenderung memiliki kultur M-Time ini. Kebanyakan dari mereka juga memiliki budaya konteks rendah.

Di sisi lain, polychronic time atau P-Time menekankan bahwa interaksi antar manusia lebih penting daripada waktu atau materi itu sendiri. Ini tidak berarti pekerjaan tidak diselesaikan; semuanya tetap akan selesai, tetapi waktu penyelesaiannya bergantung pada alurnya sendiri. Orang-orang yang menganut polychronic time biasanya juga memiliki budaya konteks tinggi.

Orang yang termasuk dalam tipe P-Time cenderung memandang dan menggunakan waktu dengan cara yang lebih santai dibandingkan mereka yang menganut pendekatan waktu M-Time.

Memang benar bahwa waktu terbatas dan tidak dapat diputar kembali, tetapi menjaga hubungan interpersonal yang baik dan harmonis merupakan tugas yang sangat penting bagi orang-orang P-Time. Mereka menggunakan waktunya dengan lebih fleksibel untuk meningkatkan hubungan baik dengan orang lain.

Contoh sederhananya adalah orang-orang dengan pendekatan P-Time menganggap minum kopi bersama keluarga, teman, dan klien sambil memperkuat hubungan jauh lebih penting. Mereka lebih memilih bercengkrama daripada terlalu fokus mengejar tujuan hidup selama satu jam penuh yang bisa berpotensi menimbulkan stres.

Orang-orang dalam budaya P-Time menganggap waktu kurang nyata, sehingga perasaan mereka tentang “membuang-buang waktu” tidak sekuat dalam budaya M-Time.

M-Time adalah kebalikannya. Penjadwalan dan pengaturan waktu menjadi sangat penting karena waktu dianggap memiliki nilai yang sangat tinggi. Dalam kerangka waktu monokronik, mereka cenderung menekankan pada jadwal yang ketat, ketepatan waktu, produktivitas, hingga motivasi individualistik.

Budaya M-Time cenderung menghargai individualitas, yang berarti lebih fokus pada pencapaian pribadi menuju tujuan daripada terhadap kemajuan tim.

Jadi, apakah kamu mengidentifikasi diri sebagai individu P-Time? Atau kamu masih meyakini bahwa M-Time adalah pendekatan terbaik untuk mengoptimalkan waktu? Atau bahkan kamu cenderung menjadi fleksibel, dengan terkadang menjadi individu M-Time dan pada waktu lain mengambil pendekatan P-Time.

Keputusan ada pada dirimu. Bagaimana pun kamu memaknai waktu, satu-satunya hal yang pasti adalah bahwa waktu yang berlalu tidak akan bisa kembali, terutama jika dihabiskan dengan sia-sia.

Namun, selama aktivitas yang kamu lakukan memiliki manfaat, apa pun konsep atau keyakinan kamu terkait penggunaan waktu, baik itu P-Time atau M-Time, semuanya akan membawa kebaikan untuk kehidupanmu maupun orang lain.

(Redaktur Tulisan: Marcheline Darmawan)

Leave a comment