Hits: 26

Shafna Jonanda Soefit Pane

Mataku memandang ke depan lurus dan tidak berpindah sedikit pun. Di dalam kepalaku, sudah banyak skenario-skenario aneh dan konyol yang aku ciptakan. Aku menggeleng, mengusir pikiran aneh yang tiba-tiba muncul. Menghela napas, dan mulai melangkahkan kakiku memasuki bangunan yang ada di hadapanku.

Suara bel yang ada di atas pintu terdengar sangat nyaring, menjadi petanda bahwa ada aku yang kini telah masuk dengan sempurna. Di sebelah kiri, aku sudah disambut dengan seorang laki-laki yang kini tersenyum ke arahku.

“Kak Zana,” panggilnya, “apa kabar, Kak? Udah lama nggak ke sini. Mau pesan apa?”

Aku tersenyum. Eri, barista di café yang kini tengah aku datangi. Aku cukup akrab dengan Eri. Karena sejak hari pertama laki-laki itu bekerja di sini, aku sudah mendampingi dan menemaninya. Aku juga yang mengajarkannya hingga ia bisa dengan lihai menekan angka-angka yang ada pada meja kasir. Bahkan, sesederhana menghafal harga makanan dan minuman, juga ia lakukan bersamaku.

 “Hehe, aku sibuk, Ri. Udah semester akhir, nih!”

Eri tertawa. Ia kemudian menyodorkan pesananku, “Duduk di tempat biasa, Kak?”

Luar biasa. Padahal sudah hampir dua tahun aku tidak datang ke sini, tetapi Eri masih mengingat dengan baik tempat favoritku di sini. Lebih kagetnya lagi, sudut favoritku ini masih sama. Foto-foto polaroid yang aku tempel beberapa tahun lalu, masih ada. Tidak berpindah barang seinci pun. Hanya fotonya terlihat tidak sebagus dulu. Sedikit buram. Namun, masih dapat aku lihat dengan jelas bagaimana senyumku di foto tersebut.

“Kenapa nggak dicabut ini, Ri? Aku kira bakal dicabut,” tanyaku sembari menunjuk foto tersebut.

Eri tersenyum, “Nggak dibolehin Abang. Katanya biarin aja,” balas Eri, “oh iya, Abang ada di atas, mau aku pang—”

“Gausah, Ri!” Aku dengan cepat memotong ucapan Eri, sembari menggeleng dan mengangkat tanganku—memberi gestur menolak. “Aku di sini cuma mau ngerjain skripsiku, kok. Bukan ketemu Abang.”

Eri kemudian mengangguk dan berpamitan padaku untuk menuju ke tempatnya semula. Aku bernapas lega. Setidaknya, aku bisa mengerjakan skripsiku dengan tenang setelah ini. Aku tidak akan bertemu “Abang” yang tadi Eri sebutkan. Dia, jika sedang berada di atas akan menjadi sangat sibuk dan tidak akan sempat untuk ke bawah.  Ruang di atas adalah studio pribadinya yang ia gunakan untuk melakukan berbagai macam hobinya; bermain gitar sembari menyanyi, menulis lagu, menonton film, dan banyak lainnya.

Aku masih mengingat dengan jelas, semua tentang dirinya. Semua hobinya, semua yang ia lakukan, semua kenangan kami yang tercipta. Salah satunya, café ini.

Café ini adalah salah satu dari banyaknya memori indah tentang aku dan dia, dulu. Dua tahun lalu.

Maret, 2017

“Aku mau bikin lantai bawah jadi café.”

Aku menoleh, sedikit kaget mendengar ucapannya barusan. “Kamu serius? Kenapa tiba-tiba kepikiran gitu?” tanyaku, sembari menyeruput Red Velvet yang baru saja aku beli dari sebuah café sebelum aku datang ke studio milik Abang.

“Biar kamu bisa nongkrong dan main ke café setiap hari, tanpa harus mikir uang bulanan kamu bakalan cepat habis kalau ngafe terus,” balasnya, sembari mengelus rambutku. “Khusus kamu, gratis setiap ke sini.”

Desember, 2017

“Bagusnya kasir di sini atau di deket pintu, Na?”

“Kayaknya deket pintu aja, deh.” Aku menggeser meja kasir, mendekatkannya dengan pintu. “Lebih cocok begini, Abang.”

“Oke.” Abang memberikan jari jempolnya, sebagai tanda bahwa ia setuju dengan ideku. “Terus susunan mejanya gimana?”

“Ini kamu bikin café mikir gak, sih, peletakannya?”

“Enggak. Karena dari awal, aku mau kamu yang atur semua isinya.”

Februari, 2018

Suara jepretan kamera terdengar dengan jelas. Aku tersenyum dan menunggu hasil foto yang baru saja Abang ambil. “Bagus, nggak? Cantik akunya apa jelek? Kalau jelek ulang, ya! Aku gamau kalau jelek.”

“Sejak kapan kamu jelek?” Abang kemudian meniup kertas polaroid tersebut, sebelum melihat hasilnya. “Cantik.”

Aku menarik polaroid itu, dan melihat hasilnya. Senyumku merekah, aku suka dengan hasilnya. Iseng, aku tempelkan hasil foto tersebut pada dinding di sebelahku. “Jangan dicopot, ya! Ini sebagai tanda, kalau tempat duduk ini cuma punya aku. Nggak ada yang boleh duduk di sini selain aku, kecuali kalau lagi ramai.”

“Emangnya bakalan ramai?” Abang bertanya, disertai kekehan di akhir.

“Pasti, Abang. Percaya, deh. Tempat ini bakalan jadi café paling laris!”

Abang, tersenyum, “Thank you, sayang.”

April, 2018

“Kita, udahan aja ya, Bang?”

“Kenapa?” suara Abang, terdengar serak. Meskipun lewat ponsel, aku masih bisa merasakan suaranya yang berubah. Aku bahkan bisa membayangkan ekspresinya saat ini.

“Maaf, Abang…”

“Eri, ini laporan keuangan bulan lalu kok lebih, ya? Ada keliru, ya?”

Suara itu menyadarkanku dari lamunan. Tidak sadar, aku malah membayang kembali memori lama bersama Abang. Sekarang, Abang ada. Abang di sana, hanya beberapa langkah dariku.

Tidak banyak yang berubah darinya. Wajahnya masih sama. Cakep. Lucu. Hanya, terlihat kelelahan.

“Eh, Zana?”

Aku tersenyum, dan melambai, “Halo, Abang.”

Leave a comment