Hits: 41

Zian Nabilla Barus

“Bukankah sudah kubilang, bukan aku?”

Suara Ela terdengar ke seluruh penjuru kelas. Sorot mata semua orang yang menyerbunya sukses membuat kepercayaan dirinya runtuh. Ela melangkahkan kaki keluar kelas dengan kepala tertunduk. Tidak ada satu pun yang menyusulnya. Semua orang yakin bahwa memang dia pelakunya.

“Jelas dia. Dia membeli ponsel baru kemarin.”

“Dia cuma jualan risol, kan? Mana bisa punya uang jajan sebanyak itu.”

“Raut wajahnya juga ketakutan. Udah jelas dia ini, mah.”

“Tinggal ngaku aja susah. Udah jelas banget padahal.”

Bisikan-bisikan itu terdengar bising di telinga Ela yang masih terduduk kaku di luar kelasnya. Saat ini sudah masuk tahun ke-2 baginya di jenjang pendidikan SMP. Masa bagi remaja lebih memercayai temannya dibandingkan orang tua. Teman adalah segalanya, menurut mereka. Fase bagi seseorang sedang asyik-asyiknya mencari sahabat dan merasa punya ikatan persahabatan yang kuat dan tak tertandingi dibandingkan dengan yang lain.

Hal itu tidak berlaku pada Ela. Sejak setahun lalu, ia merasa hidup terus menyudutkannya. Tak satu pun orang yang mau mendukungnya. Meskipun sudah berkali-kali ia katakan, bukan ia pelakunya. Peristiwa hilangnya uang kas kelas secara misterius membuat dirinya harus kehilangan masa indah sekolahnya. Padahal, hasil persidangan dengan wali kelas membuktikan bahwa bukan dirinya yang menjadi pelaku pencurian tersebut. Hanya karena sang pelaku belum juga ditemukan membuatnya harus menanggung tuduhan tersebut hingga 2 tahun lamanya.

Pada tahun ke-2, hebatnya uang kas tidak mengalami kehilangan sama sekali. Hal tersebut cukup membuat Ela merasa lega. Sayangnya, kelegaan itu hanya datang sementara ketika teman-temannya mengalami kehilangan uang bahkan HP dalam beberapa waktu. Seluruh temannya langsung menatap sinis terhadapnya. Bukti persidangan dengan wali kelas yang sebelumnya, tidak bermanfaat apapun. Tuduhan itu masih terus ada. Meskipun tuduhan itu tidak tersampaikan langsung padanya, dari cara teman-temannya menatap, bersikap, dan pembicaraan mereka di belakang Ela, cukup membuatnya terus merasa tersudutkan.

“Aku harus ngapain biar kalian percaya?”

Tidak ada gunanya. Kepercayaan memang sangat mahal. Sekeras apapun Ela mengatakan yang menurutnya kebenaran jika tidak disertai pembuktian, semua hanyalah sia-sia. Namun, Tuhan Maha Baik. Ia mengirimkan dua orang teman yang sampai saat ini menjadi sosok terbaik dalam hidup Ela. Mereka berdua menjadi alasan bagi Ela untuk tetap bertahan melanjutkan pendidikan di lingkungan yang sama sekali tidak mengharapkan kehadirannya.

“Uang kas kita hilang lagi,” ucap bendahara kelas pada teman-temannya suatu hari.

“Ha? Kok bisa? Ela lagi ga sih?” tukas Dita, salah satu temannya.

“Iya, dia kemarin traktirin teman-temannya jajan. Heran aku, kok tahan banget bohong selama itu,” tambah Bila lagi.

“Yauda gini aja, hari ini ada jam olahraga. Kita izin saja, kita bakal geledah seluruh kelas,” usul salah satu dari mereka.

Rencana itu dilakukan oleh sekitar sepuluh orang tanpa diketahui siapa pun selain mereka. Ketika seluruh teman kecuali sepuluh orang tersebut pergi ke lapangan untuk olahraga, mereka melancarkan aksinya. Mereka menggeledah laci, tas, serta seluruh sisi dan sudut kelas. Bahkan, loker di dalam kelas ikut dibuka dan loker yang terkunci dipaksa terbuka hingga jebol. Cukup lama waktu yang mereka habiskan, tetapi tidak membuahkan hasil apa pun hingga waktu jam olahraga usai.

Ela melihat lokernya sudah jebol dan tidak berguna lagi hanya bisa menatap kesal. Ela sudah malas dan muak dengan semua itu. Untungnya, Ela memang tidak menggunakan lokernya selama sekolah.

“Di mana coba dia simpan?”

Ela mendengar pembicaraan itu. Ela tahu. Tapi, Ela hanya bisa diam.

“Uh, untung saja. Thank you, Ela. Berkat kamu kayaknya ga bakal ada yang tau deh, kalo semua uang itu sama aku,” batin bendahara kelas dalam hatinya.

Leave a comment