Hits: 196
Stella Regina Christy
Pijar, Medan. Putri Nadya Hutagalung atau yang lebih akrab disapa dengan Nadya Htg merupakan angkatan 2014 lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara (USU) dan Sastra Inggris Universitas Harapan Medan. Perempuan berdarah Batak kelahiran Tebing Tinggi tahun 1996 ini patut dijadikan sebagai inspirasi dalam mewujudkan cita-cita, khususnya bagi orang-orang yang tertarik menjadikan jurnalisme sebagai karier mereka di masa depan.
Selama menjadi anggota aktif Pers Mahasiswa Pijar USU, Nadya pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi, staf Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM), dan Ketua Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut (PJTL) pada tahun 2017. Di waktu yang bersamaan, Nadya turut menjabat sebagai ketua BEM di Universitas Harapan Medan. Lulus kuliah, Nadya mengajar di Sekolah Luar Biasa (SLB) selama setengah tahun. Ia juga pernah bekerja sampingan dalam penerbitan buku Autobiografi Panda Nababan dan freelance writer lainnya.
Sedari dulu, Nadya tidak pernah memiliki cita-cita yang muluk-muluk. Ia hanya berkhayal agar bisa bertemu dengan pejabat dan tokoh-tokoh penting yang rasanya sulit digapai dan membuktikan bahwa hal tersebut adalah hal yang biasa-biasa saja. Baginya, sesuatu yang luar biasa adalah ketika kita bisa menganggap dan menjadikannya biasa-biasa saja.
Keinginannya untuk menjadi seorang jurnalis muncul saat ia berkuliah. Namun, tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa ia akan menjadi seorang reporter televisi, apalagi untuk televisi swasta nasional. Ia bahkan melaksanakan magangnya di Humas Kementerian Sekretariat Negara yang tidak berkaitan dengan bidang jurnalistik.
Hambatan juga dialami Nadya pada awal kariernya. Dulunya, ia selalu takut ketika harus berhadapan dengan kamera. Ia juga tidak pernah memakai riasan dan mengambil swafoto. Ketika melamar menjadi seorang jurnalis, ia berusaha melakukan yang terbaik untuk merubah dirinya menjadi lebih baik dengan berbekal semangat jurnalisme, menulis dan hubungan masyarakat, serta kejujuran dan keberanian.
Menurut Nadya, menjadi seorang jurnalis berarti sama dengan belajar konkret mengenai kehidupan. Setiap hari ia bisa menjadi siapa saja dari segala kelas strata sosial. Terkadang bertemu dengan pejabat menteri, terkadang ke masjid, terkadang ke diskotik, terkadang saat pagi berada di barat dan sore di timur.
“Pada akhirnya, dalam menghadapinya segala hal dan situasi, mentalitas menjadi hal yang utama. Seperti bagaimana cara kita mengendalikan diri dalam situasi terburuk, menyelesaikan masalah, bagaimana bertindak cepat dan tenang, sabar dan tahan banting tapi juga harus tetap jujur dan profesional. Dalam setiap pertemuan dengan manusia di segala usia, kita juga menemui sekadar pelajaran bertoleransi, ambisi, syukur, cinta, dan syak wasakna sesama manusia. Secara tidak langsung, itulah yang saya latih dan dapatkan selama menjalani masa kuliah sekaligus berorganisasi, bekerja sampingan, dan lain-lain,” ucap Nadya.
Bekerja lebih ekstra dalam memverifikasi data menjadi suatu kewajiban sekaligus tantangan yang dirasakan oleh Nadya saat mengabarkan berita. Media dan jurnalis menjadi yang paling pertama dicari sekaligus dibenci ketika suatu peristiwa terjadi. Nadya berkata bahwa media yang digunakan secara khusus sebagai alat kekuasaan memang pantas untuk dikritik.
Namun, tidak semua media buruk. Masih ada banyak sekali media yang tetap memberitakan suatu peristiwa dengan sebenar-benarnya tanpa menyebarkan hoax dan menutup-tutupi fakta yang ada.
Di sisi ini, yang bisa menjadi alternatif penting adalah literasi media di tengah masyarakat. Nadya berpesan untuk membaca berita tidak hanya melalui satu media, tetapi bacalah melalui sejumlah media. Membaca berita yang baik bukan melalui media sosial, melainkan melalui news media yang paling tidak seluruh produk beritanya melalui proses redaksional, mulai dari reporter, editor, produser, hingga ke pemimpin redaksi.
“Kalau berdasarkan pengalaman saya, jurnalis yang benar-benar meliput di lapangan, misalnya saat doorstop, saya tidak pernah mendengar ada pertanyaan yang muncul dari teman-teman jurnalis, seperti pada judul-judul bombastis yang kemudian viral. Seluruh data kami peroleh dari sumber yang ada di lapangan. Kalau data salah sedikit, ketakutan pun datang, lagipula tidak sempat untuk berpikir ke arah pemalsuan data. Kalau ada yang keliru, prinsipnya verifikasi dan bisa diklarifikasi,” tegas Nadya.
Hidup tidak akan memberikan apa yang kita inginkan, melainkan apa yang layak kita peroleh. Untuk itu, kita harus senantiasa berusaha, berjuang, dan menjadi versi terbaik dari nilai diri kita. Nadya berpesan, tidak peduli profesi apa pun yang ingin dijalani, kita harus bisa mengenal diri kita sendiri, jujur dengan diri sendiri, tidak berpura-pura apalagi memaksakan diri mengikuti tren hanya karena ingin terlihat keren, hebat, dan ingin dipuji.
Saat ini, Nadya baru saja mengundurkan diri dari Kompas TV dan tengah menempuh program pendidikan S2 Master di The University of Kitakyushu, Jepang.
(Redaktur Tulisan: Marcheline Darmawan)