Hits: 38
Shofiyana Fadhiilah
Pijar, Medan. Dalam rangka mendorong dan mengoptimalkan kesetaraan gender, Himpunan Mahasiswa Jurusan Administrasi Publik (HUMANISTIK) Universitas Brawijaya (UB) turut mengadakan Public Woman Class 2022 (PWC 2022) dengan tema ”Realizing Sustainable Development by Supporting Gender Equality”. Acara ini berlangsung melalui Zoom Meeting, Sabtu, (28/5/2022).
HUMANISTIK UB menghadirkan Ina Irawati sebagai Konsultan Woman Crisis Centre (WCC), Dian Mutiara, dan Ida Tri Wulandari sebagai Kepala Bidang Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan DP3AK Provinsi Jawa Timur.
Acara ini bertujuan sebagai wadah diskusi pembahasan fenomena gender di masyarakat dengan meampilkan 4 sub tema seputar kesetaraan gender.
Isu gender merupakan salah satu isu utama dalam suatu pembangunan, terkhusus pembangunan sumber daya manusia. Namun ternyata, pembahasan gender di negeri ini harus mendapatkan perhatian lebih. Data menunjukkan masih terdapat banyak kesenjangan antara perempuan dan laki-laki di tengah kehidupan bermasyarakat.
Kebudayaan atau kultur seakan-akan sudah melekat dalam setiap jenis kelamin, hal tersebut sulit untuk ditiadakan terkhusus di Indonesia. Dengan banyaknya pendapat dari orang-orang yang masih belum paham tentang hal ini, tentunya memerlukan edukasi. Pada dasarnya, hal ini dapat berdampak negatif kepada orang lain yang mengalami kasus kesetaraan gender, seperti toxic masculinity maupun beauty standard.
“Kalau itu mendiskriminasi baik kepada laki-laki maupun perempuan, sebagai contoh beauty standard tadi. Perempuan menjadi korban dalam industri-industri yang berkaitan dengan kecantikan, yang mengejar persoalan bentuk tubuh, body goals, maupun warna kulit. Hal ini berdampak pada implikasi kedepannya, misalnya secara nutrisi akan kurang tercukupi, akan kesulitan dalam proses melahirkan serta energinya akan berkurang karena nutrisi di dalam tubuh yang dikurangi secara sengaja,” jelas Ina.
Tidak hanya pada perempuan, hal ini juga berlaku kepada laki-laki. Toxic Masculinity yang dialami oleh mereka tentunya akan membuat tidak percaya diri dalam menjalani aktivitas. Adanya standar bahwa lelaki harus tinggi, kekar, ataupun tidak boleh menangis menjadi salah satu dampak negatif yang signifikan dalam kehidupan bermasyarakat.
“Karena standard goals tadi, yang mengharuskannya memiliki bentuk tubuh seperti apa akan memberikan tolak ukur yang tinggi terhadap laki-laki. Laki-laki pun harus dituntut untuk bisa melakukan pekerjaan berat, hal ini tentunya akan membuat masyarakat selalu menuntut agar laki-laki bisa melakukan hal tersebut,” tambah Kadis DP3AK Provinsi Jawa Timur selaku perwakilan dari Ida Tri Wulandari yang berhalangan hadir.
Diskusi yang dilakukan cukup menarik para peserta dalam mengemukakan pendapatnya, hal ini dapat dilihat dari antusiasme mereka selama acara berlangsung.
(Redaktur Tulisan: Lolita Wardah)