Hits: 51
Salwa Salsabila
Aku selalu berharap hujan turun di hari Minggu. Bukan, bukan karena aku iri dengan pasangan muda yang sering wara-wiri di taman kota pada hari Minggu. Juga bukan karena iri dengan teman-temanku yang sedang berkumpul memamerkan kebersamaan mereka di sosial media pada hari Minggu. Aku selalu berharap hujan turun di hari Minggu karena aku ingin keluargaku tetap berada di rumah pada hari itu. Tidak pergi karena kesibukannya sendiri dan berakhir meninggalkanku di rumah besar ini sendirian. Aku benci sepi yang diam-diam menyusup ke dalam setiap inci ruangan di rumah ini tiap kali mereka pamit untuk pergi.
Ayahku dengan kesibukan kerjanya, ibuku dengan teman-temannya. Namaku tidak pernah terdaftar di dalam kegiatan hari Minggu mereka. Karena itulah, aku selalu berharap hujan turun di hari Minggu. Karena jika hujan turun, mereka akan membatalkan semua janji mereka dan tetap tinggal di rumah sepanjang hari. Mereka membenci hujan.
Jika ayah menetap di rumah, ayah akan membuka televisi dan menyalakan siaran berita dengan volume yang sangat kuat sampai seluruh sudut rumah ini dapat mendengarkannya. Jika ibu menetap di rumah, ia akan sibuk di dapur, membuat kudapan ringan untukku dan ayah yang sedang menonton televisi. Ramai. Tidak ada ruang bagi sepi untuk menyelip.
“Semoga hari ini hujan,” bisikku dalam hati sambil mencuci wajahku yang sembab akibat tidur yang lumayan panjang. Setelah menyantap dua tangkup roti yang telah disiapkan ibu sejak pagi tadi, aku menyalakan televisi. Mencoba untuk mengisi hening yang tercipta di rumah ini. Ibuku dan ayahku sedang sibuk dengan telepon genggam masing-masing. Sebuah ritual sebelum mereka menyebutkan mantra ajaib yang paling kubenci, “Ayah pergi dulu, ya?” dan “Ibu pergi dulu, ya?”. Ingin sekali aku menahan mereka pergi. Namun, lidah ini kelu setiap mencoba menawar. Akhirnya hanya anggukan singkat setengah hati yang dapat kuusahakan untuk merespons mereka.
“Semoga hari ini hujan,” bisikku sekali lagi dalam hati. Namun, langit sepertinya tidak memihakku. Ia bersinar terang. Membuatku menatap sinis padanya. Aku mendengar ayahku dan ibuku sedang becekcok ringan di dapur. Entah karena apa. Namun, aku tidak terlalu mengindahkannya. Aku terlalu sibuk berdoa agar hujan turun hari ini. “Semoga hari ini hujan turun, kumohon…” melasku dalam hati.
Sepertinya berhasil. Karena saat setelah aku mengucap doa tersebut, langit mendadak berubah menjadi kelabu. Lalu suara gemuruh malu-malu mulai menyambut. Aku tersenyum puas. Hari ini, mereka tidak akan kemana-mana.
Namun, cekcokan ayah dan ibu yang awalnya ringan kian lama kian memanas. Perlahan tapi pasti intonasi suara mereka mulai meninggi dan berakhir berteriak satu sama lain. Aku tidak yakin apa yang membuat mereka sampai semarah ini.
Suasana rumah menjadi ramai. Namun, bukan tipikal ramai yang aku inginkan. Aku takut dan mematikan televisi lalu masuk ke dalam kamar dan menguci pintu. Mencoba untuk menarik doa ku.
“Maafkan aku hujan. Kumohon berhentilah. Berhentilah…” mohonku sambil meringis. Kian lama ringisanku berubah menjadi tangisan.
“Kumohon berhentilah,” isakku. Tubuhku bergetar. Aku benar-benar ketakutan.
Hari ini untuk kali pertama aku berharap hujan tidak turun di hari Minggu.