Hits: 37
Azela Nurul Syaf
Tring!!!
Suara favorit para siswa itu terdengar ke seluruh penjuru sekolah. Dengan semangat, mereka berhamburan keluar kelas menuju tujuannya masing-masing. Ya, aku tahu rasanya belajar selama kurang lebih 7 jam, sangat melelahkan. Apalagi jika dilanjutkan dengan kegiatan organisasi, badan yang lelah, dan rasa bertanggung jawab pun berdebat untuk dituruti kemauannya.
Hari itu untungnya tidak ada jadwal apa pun. Tapi entah kenapa, aku lebih memilih ke UKS daripada langsung pulang. Tempat ternyaman bagiku di sekolah dan biasa disebut basecamp–nya anak PMR.
Sekadar duduk menikmati sejuknya ruangan tersebut sambil memainkan ponsel, seorang lelaki mendatangiku. Namanya Wahyu, dia ketua organisasi PMR saat itu. Oh iya, aku juga tengah menjabat sebagai sekretarisnya.
”Ada proposal dari markas ni,” ucapnya mengungkapkan maksud dan tujuannya.
Proposal itu berisi permintaan kepada tiap sekolah untuk mengirimkan dua orang perwakilan siswa PMR dalam kegiatan bakti sosial sekaligus perayaan HUT PMR ke Gunung Sinabung.
Aku jadi teringat, kala itu Gunung Sinabung sedang tidak sehat. Bahkan beberapa hari sebelum itu, muntahan debunya terbang menyinggahi daerah rumahku.
“Siapa dua orang itu?” tanyaku pada Wahyu setelah mengingat kondisi Gunung Sinabung.
“Kalau itu aku belum tau, besok kita diskusikan sama pengurus lainnya dan senior juga, ya.” jawabnya. Setelah diskusi akhirnya aku dan Wahyu yang terpilih menjadi perwakilan.
Hari yang dinantikan pun tiba. Subuh-subuh aku langsung bangun dan berkemas. Tak lupa berpamitan dengan orang tua mengingat aku akan menginap pada kegiatan kali ini. Dibimbing oleh Kak Ari yang merupakan pelatih PMR di sekolah, kami pun berangkat menuju Gunung Sinabung bersama dengan perwakilan SMA lainnya.
Setibanya di sana, aku terkagum-kagum dengan indahnya mahakarya Allah SWT.
“Cantik,” spontan terucap dari mulutku yang sebelumnya masih ternganga.
Mataku hanya tertuju padanya, melihat lekuk tubuhnya yang menawan. Aku sedih ketika melihat fakta bahwa separuh tubuh indahnya hampir meleleh, ditambah lagi melihat bibirnya yang mengeluarkan asap dan asap tersebut menyatu dengan awan.
“Cepat sembuh cantik.” harapku.
Walaupun sedang tidak sehat, ia tetap membuat mataku terpikat. Jujur, saat itu adalah kali pertama aku ke sana. Aku benar-benar tidak menyangka bisa sedekat itu dengan si objek utama. Sungguh aku sangat mensyukurinya hingga kini.
Aku dan rombongan pun menginap di sebuah SD yang berada di Desa Naman Teran, sangat dekat dengan si cantik Gunung Sinabung.
Aku juga bertemu dengan banyak anak PMR se-Sumatra Utara. Kami saling berkenalan dan sharing-sharing seputar PMR di sekolah masing-masing. Hingga malam pun tiba, kami disambut oleh warga sekitar dengan tarian adat Karo dan disuguhkan makan malam dengan tradisi setempat. Selanjutnya kami dipersilahkan mempersiapkan diri untuk kegiatan esok hari.
Hari mulai malam, dan saatnya beristirahat. Kami tidur di salah satu kelas yang berada di sekolah dasar tersebut. Ventilasinya yang cukup lebar membuat angin malam mudah masuk. Bahkan aku dapat melihat si cantik dari lubang udara tersebut saking lebarnya.
Aku yang sudah terbiasa dengan suhu di daerah perkotaan berhasil dibuat terkejut dengan suhu di sana yang sangat labil. Di malam hari terasa sangat dingin. Ketika siang sangat terik, kering, berdebu dan menyengat.
Sudah kubalut tubuhku dengan berlapis kain. Mulai dari baju rajutan, jaket dan selimut yang tebal, dua lapis kaus kaki, hingga sarung tangan yang dipinjamkan oleh Wahyu pun tak mampu melindungi tubuhku yang ditusuk angin malam. Alhasil, aku tidak bisa tidur dengan nyenyak.
Tidak mengapa, lagi pula aku adalah korban dari insomnia yang menyebalkan. Tidak bisa tidur bukanlah sebuah masalah yang besar bagiku. Jika hal itu diubah menjadi soal Matematika, kurasa hanya menjadi 1+1, sangat mudah dan sangat kusepelekan.
Semangat dan jiwa relawanku masih berkobar untuk memulai hari itu. Aku dan teman-teman PMR se-Sumut lainnya dibariskan untuk memulai upacara pembukaan kegiatan ini. Menggunakan baju PDH, lengkap beserta topi dan syal PMR yang membuat kami terlihat rapi dan seragam.
Tidak dengan tangan kosong, sebelumnya kami juga sudah mengutip sumbangan untuk para warga sekitar yang sangat terkena dampak dari erupsinya Gunung Sinabung. Setelah itu, kami dibentuk menjadi beberapa kelompok.
Paralel dengan dibentuknya beberapa kelompok, di situ pula kami disebar ke beberapa desa untuk melaksanakan bakti sosial. Aku dan teman-teman satu kelompok mendapatkan bakti sosial di desa yang cukup jauh jaraknya dari desa Namanteran dengan menaiki mobil truk bak terbuka.
Lagi dan lagi aku terus dibuat berdecak kagum melihat keindahan yang mustahil kutemukan di kota. Dengan jalanan yang menanjak dan menurun, berkelok, berjurang, melewati bukit-bukti yang melengkung indah hingga mengelilingi Gunung Sinabung, mataku terus dimanjakan. Ya benar, aku berada dikaki Gunung Sinabung, sangat dekat dan sangat besar.
Aku sering mengikuti kegiatan di dataran tinggi, tapi tak pernah melihat yang seindah itu. Luar biasa, membuat diri ini tak mampu berkata-kata lagi.
Aku tahu seindah atau seburuk apa pun jalanan yang dilalui, kita tetap harus sampai ketujuan. Membuatku merelakan perjalanan yang luar biasa itu hingga sampailah kami di sebuah desa yang cukup terpencil. Terdapat banyak bangunan tradisional khas Suku Karo yang masih berdiri dengan kokoh dan megah.
Kami diberi arahan dan dimulai dengan gotong royong membersihkan desa tersebut bersama warga setempat. Bercengkrama dengan warga dan anak-anak di sana. Saling berbagi ilmu pengetahuan hingga waktu terasa sangat singkat pada saat itu. Kami harus kembali ke titik tempat kami berkumpul dan berpamitan dengan keluarga sehari kami di sana. Sungguh pengalaman yang tidak dapat dilupakan.
Di penghujung hari itu juga, kami harus kembali ke daerah masing-masing. Pulang dengan sejuta kenangan manis yang masih terekam di Sesa Namanteran, Kabupaten Karo.
“Aku bisa menahan rindu dengan sekolah dan keluargaku selama dua hari, tapi bisakah aku menahan rindu dengan semua ini di kemudian hari?” pikirku.
Bung, aku memang tidak bisa membuatmu sembuh karena aku juga mahkluk Tuhan, sama sepertimu. Tapi aku bisa membuat manusia yang bertempat tinggal di dekatmu merasa nyaman dan terbantu jika kau sedang sakit. Kami mahkluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain.
“Get well soon bung, aku pamit kembali ke Medan ya.” harap dan izinku ketika menuju perjalanan pulang dan berada di dalam mobil yang bernama Sinabung Jaya.