Hits: 310
Dira Claudia Bahroeny
Pijar, Medan. Semasa remaja, ia sesekali bermimpi untuk berjalan di catwalk dengan balutan busana yang luar biasa indahnya. Namun setelah ia menjalani kehidupan itu, ia sadar bahwa terdapat hal-hal besar lainnya yang ia inginkan. Bukan menjadi model. Seperti itulah yang dialami oleh sosok Qintari Aninditha.
Wanita asal Medan ini adalah seorang mentor, speaker, co-founder dari sebuah gerakan wanita Indonesia bernama Womandiri, psikolog, dan sekarang fokus menjadi hypnotherapist. Di Indonesia memang tidak banyak yang mampu menyembuhkan “luka” dengan teknik hipnosis. Bukan. Bukan hipnotis. Sederhananya, hipnosis adalah salah satu teknik terapi untuk menyembuhkan luka batin dan semacamnya. Itu yang dilakukan Qintari. Menyembuhkan luka orang lain.
Namun, siapa yang mengira bahwa wanita yang mampu menyembuhkan, dulunya juga pernah terluka. Bullying, sebuah aksi tidak cerdas yang banyak kita jumpai di sekolahan juga pernah dirasakan Qintari untuk waktu yang cukup lama. Dari berseragam putih-merah sampai putih-abu-abu, ia mengalami penindasan hingga membuatnya tidak memiliki teman. Belum lagi nilainya yang cukup buruk di antara teman-teman seangkatannya. Menyedihkan, ya?
Tidak. Sama sekali tidak menyedihkan. Berkat pengalaman itu, ia bertekad untuk dapat memperoleh hak yang tidak ia dapatkan di sekolah untuk ia peroleh di luar. Di saat anak seusianya sibuk dengan perayaan sweet seventeen yang meriah, ia sudah mampu menjadi pembaca berita di iNews TV.
Sembari berkuliah ia pun juga menjadi Duta Mahasiswi Generasi Berencana Sumatra Utara. Ia pernah menjadi perwakilan Indonesia ke Jerman hingga Dubai untuk konferensi-konferensi penting dunia. Bahkan, konferensi tersebut yang mengawali keinginannya menjadi terapis.
“Waktu kuliah saya juga sempat depresi. Ketika dapat kesempatan mewakili Indonesia di beberapa konferensi dan pertukaran pelajar, di sana saya ketemu beberapa pendidik dan salah satunya adalah terapis. Semua penjelasan dia waktu itu terasa sangat masuk akal dan itu buat saya merasa jawaban untuk penyembuhan saya sendiri ada di dalam terapan ilmunya. Sejak itu saya jadi lebih giat belajar dan menggali diri sendiri dengan keilmuan psikologi, dengan harapan suatu hari bisa membantu enggak cuma diri saya sendiri tapi juga orang lain yang membutuhkan,” jelas Qintari.
Keinginannya untuk membantu orang juga ia realisasikan melalui platform media sosialnya. Qintari yang memiliki latar belakang pendidikan pada bidang psikologi, membuat dirinya juga senang membagikan pesan-pesan seputar kesehatan mental.
“Karena setap profesi punya tanggung jawab edukasi. Instagram adalah platform yang menyenangkan untuk memberi edukasi kesehatan mental pada client dan calon client,” ujarnya.
Pandemi yang tak kunjung usai ini membuat intensitas Qintari untuk berinteraksi di media sosial kian bertambah. Hal ini membuatnya memperoleh lebih banyak pengikut, bahkan klien yang berasal dari luar negeri.
“Jadi sejak pandemi, sekarang hipnoterapi bisa dilakukan via online. Rekor jarak paling jauh dengan selisih waktu paling banyak adalah dengan client di Philadelphia, Amerika. Syukurnya terapi tetap berjalan efektif. Anugerah ilmu baru hasil adaptasi selama pandemi,” tambah Qintari.
Meski ia bersyukur telah menemui solusi dari pekerjaannya selama pandemi, namun jelas situasi ini tetap tidak mudah untuk dijalankan. Mata yang terus memandang layar, otak yang terus bekerja, dan hati yang sering kali meremuk mendengar curahan hati client, membuat penting bagi Qintari untuk juga memperhatikan dirinya dengan memberi nutrisi bagi tubuh dan jiwa secara disiplin.
“Setiap terapis juga harus bisa mempraktikkan ilmunya untuk dirinya sendiri. Membersihkan luka batin satu-persatu, terhubung dengan Tuhan, dan melatih diri untuk hidup dengan kesadaran tertinggi setiap hari,” tutup Qintari mengakhiri wawancaranya bersama Media Pijar.
(Editor: Rassya Priyandira)