Hits: 94

Reporter Pijar

Pijar, Medan. Berbicara mengenai para sosok pejuang wanita Indonesia, pasti sudah tidak asing ketika mendengar nama seperti Kartini, Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, atau bahkan Martha Christina Tiahahu yang dikenal sebagai pahlawan dalam memperjuangkan kemerdekaan serta menegakkan hak-hak kaum perempuan. Namun, pernahkah mendengar tentang Umi Sardjono?

Umi Sardjono yang memiliki nama asli Suharti Sumodiwiryo ini merupakan seorang aktivis perempuan serta pejuang kemerdekaan Indonesia kelahiran Salatiga, 24 Desember 1923. Namanya mulai dikenal lewat organisasi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) yang digelorakannya sebagai bentuk gerakan aktivisnya dalam memperjuangkan hak kesetaraan perempuan di Indonesia. Gerwani menentang poligami, prostitusi, diskriminasi gender, dan model sosial Patriarki yang menyelimuti relasi sosial di berbagai bidang.

Berbeda dengan putri jawa lainnya, Umi Sardjono tumbuh bersama keluarga yang sudah memiliki pencerahan, sehingga mendukung anak perempuan mereka untuk mengenyam pendidikan. Keluarganya yang bekerja sebagai pegawai pemerintah Belanda, menjadikan ia memiliki kesempatan untuk bersekolah di Hollandsch Inlandsche School (HIS).

Pada masa sekolah, ia juga membaca buku karya Kartini Habis Gelap Terbitlah Terang yang semakin membuka wawasannya sebagai perempuan. Hingga pada usianya yang ke-20, ia bergabung sebagai laskar perempuan layaknya pejuang Indonesia yang mayoritas merupakan seorang pria. Baginya, dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, perbedaan gender bukan menjadi alasan untuk tidak ikut berjuang.

Putri kedua dari Ruslan Sumodiwirjo ini juga telah mengikuti berbagai organisasi pergerakan nasional seperti Parindra (Partai Indonesia Raya), di mana ayahnya juga termasuk anggota di dalamnya. Setelah beralih dari Parindra, ia bergabung dengan Gerindo (Gerakan Indonesia), di mana ia ditugaskan ke Blitar dan dididik dalam gerakan bawah tanah untuk bergerilya melawan Jepang.

Ia juga bergabung dengan Laskar Wanita (Laswi) dalam melawan Belanda. Lalu, bersama Trimurti (teman seperjuangannya) membentuk Barisan Buruh Wanita (BBW) untuk memimpin banyak kelompok pekerja perempuan agar tetap berada dalam garis perjuangan sosialis, dan mendirikan Gerakan Wanita Sedar (Gerwis) yang beralih nama menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani).

Tahun 1960-an merupakan puncak kejayaan bagi Gerwani di bawah kepemimpinan Umi Sardjono, di mana berbagai program seperti pendirian sekolah-sekolah, tempat penitipan anak, serta kursus-kursus pemberantasan buta huruf gratis bagi para buruh tani wanita berhasil dilakukan.

Tercatat kurang lebih sudah ada 1.500 balai penitipan anak yang dibangun oleh Gerwani. Hal inilah yang membuat banyak rakyat menjadi bersimpati dan mendaftar sebagai anggota. Nilai-nilai luhur yang dipasok ke anggotanya ialah kemerdekaan, kerja keras dan pengabdian pada perjuangan. Gerwani juga mendidik kadernya untuk menjadi perempuan melek politik dan mandiri.

Sayangnya, kehidupan tidak selalu berjalan mulus. Pencapaian Gerwani di bidang emansipasi perempuan runtuh seketika akibat goncangan politik 1965. Gerwani dituduh sebagai orang di balik  penyiksaan kejam terhadap Jenderal TNI AD pada peristiwa G30S/PKI di Lubang Buaya. Akibatnya, Gerwani dicap sebagai organisasi amoral yang lalu dikucilkan.

Kejadian inilah yang kemudian menyeret Umi Surdjono ditangkap ke markas Kostrad. Ia diinterogasi berhari-hari dan dipaksa untuk mengakui tuduhan fitnah keji tersebut. Kemudian ia pun dijebloskan ke penjara Bukit Duri selama 13 tahun.

Umi dan anggota lainnya dipenjara tanpa diadili. Mereka menerima siksaan fisik, seksual, dan psikis. Kendati demikian, Umi dengan tulus tetap bersemangat mengajarkan membaca dan menulis kepada perempuan-perempuan buta huruf korban fitnah di penjara tersebut.

Jika dilihat, pergerakan perempuan Indonesia tak bisa lepas dari nama Umi Sardjono. Meskipun ia kerap keluar-masuk penjara, namun upayanya dalam memperjuangkan kesetaraan kaum perempuan yang berujung difitnah dan dikucilkan oleh stigma negatif masyarakat yang percaya kala itu, tidak memadamkan api semangatnya. Umi Sardjono sadar bahwa ia masih harus terus berjuang melawan imperialisme dan turut menyuarakan emansipasi perempuan di Indonesia.

“Aku masih hidup. Aku belum mau mati sebelum melihat ada organisasi wanita yang seperti kita dulu. Bagi saya lebih baik saya pulang tinggal nama. Mau mati di penjara, biar saja”.

(Editor: Rassya Priyandira)

Leave a comment