Hits: 29

Nathasya L. N. Sianipar

Pijar, Medan. Dalam rangka memperingati Hari Kartini pada 21 April 2021, KHP Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat mempersembahkan sebuah webinar dengan tema “Relevansi Emansipasi Kartini Hingga Saat Ini.” Webinar yang ditayangkan melalui live YouTube pada kanal Karaton Jogja ini diadakan tepat pada Kamis, 21 April 2021 lalu.

Dalam acaranya, banyak membahas berbagai isu seputar gender dan emansipasi wanita yang dapat dikaitkan dengan dunia perwayangan. Mulai dari kesetaraan gender, toxic masculinities, leadership, hingga perspektif gender. Tidak hanya itu, wayang juga dapat menjadi media pendidikan dan pembentukan karakter dengan pendekatan psikokultural serta dinamika dunia pedalangan dan juga dapat dikaitkan dengan peran perempuan.

Dengan menghadirkan lima orang pembicara, yaitu GKR Hayu, Penghageng Tepas Tandha Yekti Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat; Prof. Dr. Wening Udasmoro, M.Hum., DEA   (Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada); Dr.Indria Laksmi Gamayanti, M.Si, Ketua ikatan psikolog klinis Yogyakarta; Dr. Sindung Tjahyadu, M.Hum, Dosen fakultas filsafat Universitas Gajah Mada; Nyi R.J. Moortisarinattaki, M.Sc, dan Abdi Dalam Mataya KHP. Kridhomardowo selaku pengajar STP AMPTA Yogyakarta.

Penampilan fragmen wayang yang pertama Dalang ML. Cermo membawakan kisah mengenai bagaimana Drupadi dilecehkan oleh Dursasana yang menjadikannya objek taruhan permainan dadu. (Sumber Foto : Dokumentasi Pribadi)

Webinar ini dibagi menjadi dua sesi, yang mana pada fragmen wayang pertama, Dalang M.L. Cermo membawakan kisah mengenai bagaimana Drupadi dilecehkan oleh Dursasana yang menjadikannya objek taruhan permainan dadu. Ia dilecehkan dengan cara ditelanjangi dan dihina di depan para anggota kerajaan yang menghadiri permainan dadu itu. Hal ini menjadi topik isu yang dikaitkan dengan maraknya pelecehan seksual yang dialami perempuan hingga saat ini.

“Peran pria dalam kesetaraan gender itu sangat penting. Realitanya dalam banyak hal, laki-laki itu berada dalam posisi yang lebih tinggi dari perempuan di masyarakat. Laki-laki yang menganggap dirinya lebih superior hanya akan mendengar ucapan sesama lelaki, begitu pula perempuan yang sudah terpatok pada tradisi yang memihak ini,” tutur GKR Hayu.

Ungkapan dari GKR Hayu pun disambut oleh Dr. Wening Udasmoro, M.Hum. Di mana ia menyatakan bahwa “Maskulinitas itu bukanlah laki-laki itu sendiri, melainkan nilai-nilai yang dilekatkan pada laki-laki, seperti keperkasaan, berani, keras, dan lainnya. Hal inilah yang menyebabkan para laki-laki jadi ingin menunjukkan sisi jantannya dengan menyukai perang, berkelahi, dan konflik yang disebut dengan Hegemonic Masculinity.”

Kemudian, fragmen wayang kedua dengan lakon “Ratu Kencanawungu”  dibawakan oleh dalang Nyi Ganeswara, S.Pd. Fragmen kedua ini menceritakan tentang Kencanawungu yang baru ditinggal wafat oleh ayahnya Prabu Brawijaya Adaningkung. Sebagai anak satu-satunya ia tentu saja harus melanjutkan pemerintahan kerajaan Majapahit. Meskipun sebagian setuju dengan hal tersebut, tidak bisa dipungkiri ada sebagian pula yang menentang hal tersebut karena Kencanawungu merupakan perempuan. Meskipun demikian Ratu Kencanawungu tetap mengambil posisinya untuk memerintah Majapahit dan membuktikan bahwa ia mampu mengemban pemerintahan tersebut.

Bercermin dari kisah Ratu Kencanawungu, Nyi R.J. Moortisarinattaki, M.Sc. mengatakan bahwa dengan memiliki leadership seseorang akan mampu mengarahkan dan memimpin dirinya agar tidak berlaku kasar dan semena-mena terhadap orang lain.

“Leadership dibutuhkan untuk mengatasi dan mencegah kekerasan terhadap perempuan,” tegas Nyi R.J.

Di penghujung acara, Dr. Sindung Tjahyadu, M. Hum. mengajak para dalang untuk turun berperan melalui pernyataannya. “Teman-teman pedalangan tidak perlu ragu dan canggung, harus percaya diri untuk membawa pesan-pesan bahwa emansipasi wanita itu sebenarnya berkaitan untuk menjunjung martabat baik laki-laki maupun perempuan. Logikanya begini, ketika laki-laki memberikan penghargaan terhadap perempuan secara tidak langsung ia mengangkat martabatnya sendiri. Dengan begitu terbangun budaya kesetaraan yang manusiawi sehingga tidak terjadi eksploitasi dan lainnya.”

(Editor: Erizki Maulida Lubis)

Leave a comment