Hits: 53

Ade Khairani Bustami

“Mereka Hanya Butuh Ditemani, Bukan Dijauhi”

Pijar, Medan. Sejak kecil kita diajarkan bahwa bermuka dua adalah hal yang lumrah, namun bagaimana dengan memiliki dua kutub kehidupan dalam satu diri manusia? Tak banyak dari kita yang mengerti akan hal ini, sulit memang untuk mempercayainya, namun ini benar adanya. Hidup dengan bipolar bukanlah hal yang membanggakan, dan bukan pula memprihatinkan.

Setiap tahunnya, tanggal 30 Maret diperingati sebagai Hari Bipolar Sedunia, namun masih sedikit yang mengetahui adanya hari peringatan tersebut. Menyebut kata “bipolar” masih terdengar asing bagi sebagian kalangan masyarakat. Kenyataannya saat ini masih ada masyarakat yang beranggapan bahwa bipolar hanya ada di dalam film ataupun novel saja.

Bipolar adalah salah satu gangguan kesehatan mental, yang berdasarkan data WHO pada tahun 2016, terdapat sekitar 60 juta orang yang mengidap gangguan kesehatan mental jenis ini di seluruh dunia. Selain itu, bipolar juga menjadi penyebab disabilitas keenam di dunia. Setiap tahunnya, di Indonesia mengalami peningkatan jumlah pengidap bipolar. Berdasarkan riset kesehatan daerah (Riskesda) 2018 terdapat 9,8% pengidap bipolar dari jumlah penduduk Indonesia.

Penyintas (penyandang disabilitas) atau orang dengan bipolar memang tidak bisa sembuh secara total, namun tetap dapat beraktifitas dengan normal. Akan tetapi, hidup sebagai minoritas dengan menyandang status sebagai “pengidap bipolar” tentu bukanlah hal yang mudah. Terlebih saat ini membahas tentang gangguan kesehatan mental adalah hal yang tabu dalam masyrakat.

Masih banyak yang belum mengerti  akan pentingnya edukasi mengenai kesehatan mental, juga masih banyak masyarakat yang beranggapan bahwa gangguan mental ini berkaitan erat dengan mitos dan takhayul tentang makhluk halus. Selain itu masih ada saja anggapan bahwa fase depresi yang sering dilalui oleh para penyintas terjadi karena ia tidak mendekatkan diri dengan Tuhan, ataupun kurang bersyukur akan kehidupan yang ia miliki.

“Dulu awalnya pas aku masih SMA, kalau aku lagi depresi aku pasti cutting dan setiap aku cutting, mama papa aku pasti selalu ngira aku kesurupan dan aku jauh dari Tuhan. Padahal aku sadar sepenuhnya sama perbuatanku, dan aku ngerasa kalau cutting itu bener-bener ngilangin rasa sakit yang aku rasain. Sampai suatu saat aku dibawa ruqyah dan aku ngerasa itu semua gaada gunanya karena aku tetap ngerasa there’s something wrong with me dan ini semua ga bisa disembuhin dengan ruqyah,” ungkap PA.

Setiap kali melalui fase depresi orang dengan gangguan bipolar sering merasa dirinya tidak berharga dan tidak ada yang berpihak dengannya, bahkan tak jarang mereka beranggapan bahwa mengakhiri hidup adalah keputusan terbaik. Dengan kata lain ODB (Orang dengan Bipolar) sangat membutuhkan bantuan dan dukungan dari orang-orang terdekatnya, agar mereka tidak menyakiti dirinya sendiri.

Anggapan bahwa memiliki keluarga yang memiliki gangguan mental seperti bipolar merupakan aib dan dapat mencemari nama baik keluarga semakin menyudutkan para penyintas, sehingga mereka merasa sulit untuk terbuka mengenai apa yang mereka rasakan.

“Sulit sekali rasanya saat memberitahu orang lain kalau aku bipolar, aku takut nanti ada penolakan ataupun cibiran yang bakal kudengar. Tapi mau bagaimana lagi? Aku harus tetap memberi tahu mereka kalau aku beda, dan aku butuh bantuan orang lain saat aku dalam fase depresi,” Ujar PA.

Tak jarang masyarakat beranggapan bahwa bipolar sama halnya dengan gila, sehingga mereka takut untuk bersosialisasi dan berkomunikasi dengan ODB karena takut akan membahayakan dirinya. Kurangnya pengetahuan masyarakat akan kesehatan jiwa tidak dipungkiri menjadi penyebab utama stigma dan diskriminasi yang diterima oleh para peyandang disabilitas seperti bipolar dari lingkungan sekitarnya.

Sejatinya penyintas memiliki hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dengan orang normal lainnya. Meskipun sudah ada peraturan yang melarang untuk melakukan diskriminasi kepada seorang penyandang disabilitas dalam undang-undang hak asasi manusia, saat ini masih banyak penyintas yang menerima perlakuan diskriminatif seperti diberhentikan dari pekerjaan, diceraikan oleh pasangan, atau bahkan dikucilkan dari lingkungan pertemanan.

“Sebelum menikah aku udah pernah cerita ke pasanganku kalau aku bipolar, dan waktu itu dia nerima kekuranganku, tapi keluarganya nggak ada yang tahu. Sampai akhirnya aku punya anak dan mertuaku tahu kalau aku bipolar, dan dia maksa suamiku untuk pisah dan mereka mengambil hak asuh anakku karena takut aku akan melukai dia nanti” ujar PA.

Selain itu, dalam beberapa film dan novel yang dipublikasikan ODB sering kali ditampilkan dengan karakter yang melakukan tindak kejahatan ataupun karakter yang lemah dan tidak bisa hidup dengan normal. Tentu saja hal ini semakin memperburuk stigma yang berkembang dalam masyarakat, sehingga kerapkali ODB merasa malu dan memilih untuk menyembunyikan kondisi mereka.

Orang dengan bipolar adalah manusia yang sama seperti manusia pada umumnya, hanya saja mereka memiliki gangguan perasaan yang jika ditangani dengan tepat maka mereka akan dapat hidup dengan normal. Selain itu, mereka juga membutuhkan dukungan dari orang lain dan bukan untuk dijauhi. Dapat hidup berdampingan dan memiliki kehidupan yang normal adalah keinginan semua orang, tak terkecuali orang dengan bipolar.

Mereka juga ingin merasakan indahnya hidup, dan menjalani kehidupan yang indah. Dukungan seperti memberikan mereka ruang yang sama tanpa ada dinding pembatas adalah cara sederhana yang dapat kita lakukan agar mereka merasa diterima oleh masyarakat. Jangan jadikan bipolar sebagai dinding pemisah dalam kehidupan sosial. Jangan sudutkan mereka dengan stigma yang ada dipikiran kita.

Memang sulit untuk menyuarakan perbedaan, namun setiap manusia diciptakan berbeda dengan setiap keistimewaan yang ada dalam dirinya. Perbedaan memang sulit untuk diterima, namun Tuhan menciptakan perbedaan untuk menambah indahnya makna keberagaman.

Tanpa dukungan dan bantuan kita, mereka bisa kehilangan arah atau bahkan tersesat. Kita dapat membantu mereka dengan menemukan jalan pulang yang tepat. Selama ini mungkin kita memperlakukan mereka salah karena terbelenggu oleh ketidaktahuan, jangan biarkan ketidaktahuan kita menciptakan jurang kelam yang semakin menyesatkan para penyintas. Dengan begitu, kita bisa menciptakan dunia yang ramah bagi mereka yang istimewa.

“Mereka hanya butuh didengarkan dan ditemani saat mengalami fase manic dan depresi, perubahan mood yang ekstrim tidak akan membahayakan orang lain, malah jika kita biarkan mereka bisa dalam bahaya,” ujar dr. Jiemi Ardian dalam percakapannya dalam sebuah forum online.

Ayo duduk dan menghabiskan waktu sambil merakit sayap bersama agar kita bisa terbang bebas dan menikmati indahnya dunia dari atas awan. Kita tidak bisa terbang dengan satu sayap, kita juga tidak bisa terbang dengan sayap yang berat sebelah. Jatuh dan patah adalah sebuah pelajaran agar kita bisa terbang lebih tinggi.

(Editor: Diva Vania)

Leave a comment