Hits: 17
Nurul Sabrina
Apa yang akan kamu lakukan ketika waktu telah menunjukkan jam 3 pagi? Apakah kamu tidur? Begadang mengerjakan tugas atau pekerjaan? Overthinking? Atau Ibadah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan?. Kalau aku sih… bermain dengan kesayanganku, bisa disebut juga sebagai pelarianku sampai aku tertidur. Iya, di mana orang menganggap perbuatan aku ini bodoh, tapi aku tidak masalah. Percuma juga jika memberi tau kepada siapapun. Mereka juga tidak akan peduli.
Waktu telah menunjukkan pukul 6 pagi, dimana aku harus bersiap untuk pergi ke kampus karena ada kelas pukul 8 pagi. Dengan sedikit rasa kantuk, aku melangkahkan kaki ke kamar mandi untuk mandi. Rasa sakit pun menghampiri ketika air menyentuh ke kulitku, terutama bagian pergelangan tangan bersamaan dengan keluarnya sedikit darah. Setelah aku siap-siap untuk pergi ke kampus, aku mengambil sebuah benda kecil yang aku sebut dengan kesayangan yang berlumuran darah dan menyimpan benda tersebut di saku celanaku.
Sesampainya aku di kampus, sahabatku Allyra dan Alviano menghampiriku dengan muka yang penuh dengan rasa khawatir.
“AERILYN!! APA YANG KAU LAKUKAN HAH?!!” ya, itu Allyra yang panik ketika melihat kedua tangan maupun kakiku yang setiap hari penuh dengan garis baru. Bahkan aku sampai hafal ekspresi maupun perkataannya. Sedangkan Alviano sendiri dia hanya diam dengan ekspresi marah. Lalu dia meminta benda kesayanganku untuk dibuang ke tong sampah. Ck. Yaudahlah, pulang kuliah nanti bisa aku beli di warung.
“Aerilyn, kali ini apa masalahmu? Keluargamu? Atau apa? Kenapa kau asik menyakiti diri kau sendiri?!” tanya Alviano setelah membuang benda kesayangan aku ke tong sampah. Jujur, kepalaku penuh dengan berbagai permasalahan yang ada di hidupku ini. Namun, aku hanya tersenyum dan untuk kesekian kalinya ketika mereka bertanya tentang hal yang sama, aku hanya mengatakan…
“Aku tidak apa-apa. Kalian tidak perlu khawatir, karena percuma saja aku memberitahukan kalian tentang masalahku. Kalian juga gak bakal mengerti dan aku merasa tidak ada yang salah dengan pelarianku ini. Toh, aku sangat menikmatinya…,” lalu pergi meninggalkan mereka dengan raut muka yang merasa tidak puas atas jawabanku.
Sepulangnya aku ke rumah dan sudah membeli kesayanganku yang baru di warung, aku melihat dia. Orang yang menghancurkan keluargaku, sekaligus penyebab kematian Ibuku pada saat aku kelas 3 smp dan yang membuat aku depresi hingga beralih ke pelarian sampai aku kuliah di semester 5 ini. Seperti biasa, kerjaannya hanya bisa memaki, memaki dan memaki atau memuaskan diri bersama simpanannya itu. Apalagi ketika melihat tanganku penuh dengan sayatan seperti ini, dia hanya bisa memaki aku sambil berlagak dia sangat suci, cih.
“Sudah berapa kali harus aku katakan kepada kau?!!? Kalau ada masalah, dekatkan diri ke Tuhan!! Bukan melakukan hal gila seperti ini!?!” bentaknya sambil menendangku hingga aku duduk dan terjatuh di lantai.
“Oh? Kau ngomong kayak gini, seolah-olah kau merasa paling baik hah?! Ngaca!! Kau yang bunuh ibu di depan mataku sendiri dengan kayu karena ibu melabrak si perempuan jalang!! Dan kau?? Kau malah memihak ke perempuan itu! Sadar diri!! Dia bersama kau, karena harta kau aja!!.” Aku tak dapat menahan emosiku yang biasanya aku tahan dari dulu. Kulihat simpanan ayahku itu mengambil vas bunga yang terletak di sebelahnya dan bersiap untuk melemparkan ke arahku.
“Apa?? Hah?!! Mau bunuh aku?!! Silakan, aku juga muak untuk hidup. Apalagi tinggal di rumah ini!!” Sebelum aku melanjutkan kata-kataku, pipiku sudah ditampar duluan oleh ayahku. Sambil meneriakkan umpatan yang sudah menjadi makanan sehari-hari. Oh ayolah Aerilyn, kau tidak boleh lemah… kau harus kuat…. Karena aku juga muak disini, aku memutuskan untuk pergi ke kamar. Aku tidak memperdulikan makian ayahku beserta simpanannya yang sibuk menenangkannya.
Keesokan harinya setelah kelas berakhir, aku langsung menghampiri Allyra yang sedang menunggu Alviano di parkiran. “Lyr… aku mau memberitahukan sesuatu ke kamu,” ucapku sambil memeluk Allyra. Allyra tidak menjawab, malah dia melepaskan pelukanku sambil menatapku dengan tatapan yang merendahkanku.
“Lyra… kau kenapa? Kenapa kau bersikap kayak begini ke aku??.” Dan jawaban Allyra berhasil membuat aku terdiam seribu bahasa.
“Udahlah Lyn, aku dan Al udah muak sama kau. Asal kau tau, dari kelas 3 smp, dari kau mulai beralih ke silet terus nyakitin diri kau sendiri sampai detik ini. Apa kau ada usaha untuk berubah? Enggak kan?”
“Betul apa yang dikatakan oleh Lyra,” sambung Al yang memberikan helm kepada Allyra. “Gak selamanya kami bisa sabar sama kelakuanmu sendiri, percuma kalo kami sayang sama kau. Kau saja gak bisa mencintai diri kau sendiri dan menyelesaikan masalah kau sendiri, termasuk masalahmu dengan ayahmu”.
Hidupku serasa hancur sehancur hancurnya. Dari ayahku, sekarang mereka? Asal kalian tau, gimana rasanya jadi aku. Aku juga berusaha untuk sembuh. Maksudku hari ini cerita ke kalian adalah untuk menemani aku ke psikiater, tapi ternyata salah. Anggap saja ini adalah perpisahan terakhir kita, aku gak akan mengganggu kalian lagi. Terima kasih untuk segalanya.” Aku tak dapat menahan air mataku di depan mereka, aku sudah bersikap bodo amat jika dibilang lemah. Dibandingkan dengan perlakuan mereka kepadaku, ini bukan apa-apa.
Malam harinya, aku memutuskan untuk mengambil benda kecil itu yang terletak di dompet. Ya, untuk apa lagi aku tetap hidup hm? Toh, gak ada lagi yang sayang sama aku apalagi perduli denganku. “Hai sayang. Terima kasih karena selama ini kamu udah mau setia sama aku, dimana semua orang sudah muak sama aku. Saatnya, aku harus pergi untuk menyusul Ibuku,” ucapku parau sambil membuat garis terakhir yang aku ukirkan di nadi.
Keesokan harinya di kediaman Aerilyn, Allyra, Alviano, dan Papa Aerilyn yang berduka karena kehilangan Aerilyn menemukan rekaman handphone tepat sebelum Aerilyn memutuskan untuk bunuh diri.
“Hai, Aerilyn di sini. Kalo kalian nonton rekaman ini, tandanya aku udah menyusul Ibu. Singkat saja, terima kasih atas segalanya, maaf kalo aku banyak banget salah ke kalian. Dan pesan untuk kalian, aku mohon jika suatu saat nanti kalian bertemu dengan orang yang seperti aku, tolong rangkul mereka ya? Karena bagi kami pada saat lagi down kayak gini, kami hanya butuh rangkulan dan penyemangat, bukan makian. Aerilyn sayang kalian mwah.”