Hits: 18

Jenni sihombing

Tidak semua orang berasal dari keluarga yang sama. Tidak semua orang pula dididik dengan cara yang sama dan tak setiap orang lahir dari keluarga kaya nan harmonis.

Seorang gadis bernama Rima yang merupakan kakak dari dua orang adik dan adik dari seorang kakak laki-laki, terlahir dari keluarga dengan garis keturunan miskin dan berantakan. Bukan suatu hal yang mudah memang, tetapi Rima harus siap menanggung malu, gengsi, harus selalu dewasa, dan harus tau diri seolah semuanya sudah dipaksakan oleh sang alam.

Tapi mungkin tak salah juga bukan, kalau Rima hidup dengan membenci kehidupan tempat dia dilahirkan. Memiliki seorang ayah mungkin menjadi sebuah keberuntungan bagi beberapa orang, namun apa jadinya bila ayah yang dimiliki adalah sosok pembawa duka yang berujung kebencian.

“Ngeng..ngeng..” suara motor hitam yang tentu semua orang tahu bahwa motor tersebut memang sengaja digas dengan sangat kasar di malam yang larut itu.

Hampir tiada malam bagi Rima tanpa selalu merasa jantungnya hendak copot setiap kali ia mencium bau minuman keras dari seorang pria bertubuh tinggi dengan kulit hitam yang ia sebut sebagai ayahnya.

“Iya, sebentar pak,” teriak Rima dari dalam kamarnya sembari melangkah ke arah pintu untuk membukakannya dengan tangan yang gemetar, kaki yang lunglai, dan jantung yang terasa lemas. Bagaimana tidak, malam itu suaranya jauh lebih kasar dan tidak biasa dibandingkan dari hari-hari sebelumnya.

Pria itu meminta untuk dibuatkan kopi dan semua orang juga pasti tahu kalau hal sepele sekalipun pasti membutuhkan waktu untuk dibuatkan. Cepat tanpa basa basi adalah hal yang harus buat pria bengis tersebut.

Apabila keinginannya tidak terpenuhi…

“Duar!”

Bukan main-main pukulan yang dilemparkan pria tersebut ke arah meja karena kopi yang ia minta tak kunjung datang. Mendengar dentuman tersebut, Rina hanya berusaha sesekali mengelus dadanya dan menahan air mata pada pelupuk matanya. Jantungnya berdetak dengan sangat kencang seakan hendak meledak oleh rasa takut dan isak tangis yang tertahan.

Rima berlari dengan segera ke arah depan dan berkata agar ayahnya menunggu sebentar lagi karena airnya masih belum matang juga. Bukannya mendapat jawaban yang diharapkan, Rima malah menerima suara teriakan dan tumbukan dari kepalan tangan terhadap dinding tripleks sampai meninggalkan bekas.

Seketika pria itu berdiri dengan keadaan sempoyongan, berjalan dengan langkah yang terdengar jelas sekali karena berusaha menjaga keseimbangannya. Wajahnya memerah dan semakin seram saat ia menggedor pintu kamar ibunya Rima dengan suara yang menggelegar. Entah hal apa yang dirasakan ibunya saat mendengar suara tersebut sampai tak sanggup untuk membukanya. Pria itu menjatuhkan dirinya ke pintu lalu bergerak kebelakang dan memecahkan cermin tepat dibelakang tubuhnya.

Suasana kembali hening dalam beberapa detik dan tiba-tiba..

“Tok..tok..tak..tak..”

“Buka!” teriak lelaki itu dan memukul pintu sekencang yang ia bisa.

Berharap akan mengurangi keributan, ibunya Rima membuka pintu dan menjadi babak awal perkelahian hebat yang menguras banyak air mata.

Ibu Rima yang bekerja sebagai seorang penjahit, pergi dan mengambil kesibukan dengan melanjutkan jahitannya yang padahal telah sangat larut. Satu sisi, Rima dan adik-adiknya menangis dalam diam dengan rasa takut. Sejenak suasana kembali berubah hening sebelum suara dentuman keras dari meja kembali mengisi suara pada malam itu.

Rima menangis tak tahu mau berbuat apa dan sangat disayangkan tidak ada tetangga yang datang, seolah sudah terbiasa dengan keributan yang berimbas perkelahian ini. Seketika suara pecah dengan isak tangis mendengar teriakan ibunya yang memanggil Rima untuk membantu. Suara tamparan dan pukulan kala malam itu benar-benar melukai hati Rima yang tak bisa berbuat apa-apa.

Semakin ayahnya menyiksa dan memukuli ibunya sambil berteriak menangis, Rima memutuskan untuk keluar dari kamar. Bukannya menyelesaikan masalah, hal itu malah membuat ibu Rima semakin dipukul. Pria itu berteriak dengan kencangnya, “Jangan ada yang coba keluar”.

Adik Rima yang usianya tidak beda jauh darinya memutuskan keluar dari kamar sambil menangis tersedu-sedu.

“Sudahlah, pak,” bujuknya dengan suara bergetar bercucuran air mata.

“Tak pernah kalian menghargaiku dirumah ini. Pembawa siap kalian, sial aku karena kalian,” teriak pria tersebut sambil melayangkan kembali tangannya ke dinding tripleks.

“Mana pernah kalian bertanya sehatkan aku atau tidak atau seperti apa.” Lanjutnya lagi.

Bagaimana mungkin Rima menghormati dan bertanya keadaannya saat ayahnya sendiri tak peduli apakah anaknya makan atau tidak. Ia jauh lebih mencintai peliharaannya dengan mengoptimalkan kesehatan para peliharaannya dan bukan sebaliknya. Tak sekalipun ia memberikan kasih sayang sama seperti ia memberikan kasih sayang pada peliharaannya. Dia hanya selalu diminta untuk dihormati sebagai kepala keluarga tanpa pernah menghargai orang lain.

Malam itu kembali pecah saat ibunya Rima yang tak tahan lagi dengan perlakuan kasar suaminya. “Memangnya kapan pernah kau memperhatikan kami? Heh?” teriaknya sambil menangis sembari menahan rasa sakit.

Merasa diperlakukan tidak adil, ibunya Rima kembali melawan dan perkelahian semakin bertambah hebat. Rima si gadis berusia 15 tahun yang tak dapat berbuat apa-apa menangis dengan pilunya seolah merasa dirinya adalah manusia paling berdosa karena tak mampu membantu sang bunda yang sedang dalam kesulitan dan selalu diperlakukan tidak adil. Setiap kali dirinya meminta pada ayahnya untuk menyudahi semuanya ia hanya akan selalu dimarahi dan diteriaki.

Pria tersebut membuka pintu dan menarik ibu dari anak-anaknya ke luar rumah sampai beberapa meter. Sang ibu yang hanyalah seorang wanita lemah tak bisa berbuat lebih selain menangis dan meminta untuk dilepaskan.

“Keluar dari rumah ini,” pintanya sembari menyeret wanita tersebut keluar.

“Mama.. Mama..” tangis Rima sembari menahan ibunya berharap ayahnya akan mengalah.

Keadaan yang tak kunjung membaik akhirnya meluluhkan hati para tetangga untuk melerai perkelahian yang terjadi. Di samping itu pria tersebut dengan jelas mengucapkan kata-kata hinaan tanpa peduli pendapat orang lain yang mendengarnya.

“Lepas,” teriak ibu tersebut sambil menangis dengan nafas yang terengah-engah seperti orang sesak nafas. Tetangga yang melihatnya pun berlari dan melerai ayah serta ibu Rima. Perkelahian tersebut tentu sangat berdampak pada Ibu Rima melihat ibunya sampai dalam keadaan sesak nafas.

Tanpa merasa bersalah, ayahnya masi berusaha memicu perkelahian dan disambung ibunya yang merasa tidak terima. Suasana hampir kembali pecah dan untuk saja para tetangga segera melerai dan membawa Rima, ibu dan adiknya untuk tidur di rumah tetangga. Sejenak suara ricuh masih terngiang dengan sangat jelas di kepala Rima saat melihat keadaan ibunya yang masih dalam keadaan syok. Beberapa menit berlalu dan merubah suasana dengan keheningan sampai dua kelopak mata yang mulai lelah terlelap tanpa gangguan lagi.

“Kukuruyuk!”

Ayam berkokok menandakan hari sudah pagi walaupun tetap dalam pagi yang cemas dan was-was. Masih terasa seperti mimpi yang sangat buruk sampai benar-benar mengguncang mental dan pikiran Rima dan keluarganya. Jantung masih dalam keadaan berdebar-debar dan semakin berdebar saat mengintip ke dalam rumah. Rima berjalan dengan langkah mengendap-endap ke dalam rumah saat disuruh oleh ibunya.

“Tap,”

“Hah, kau buat kaget,” sahut Rima yang tidak senang dipermainkan adiknya. Melihat keadaan rumah yang kosong, Rima dan adiknya masuk kedalam rumah lalu mengemas semua pakaian ke dalam koper.

Dalam perjalanan menuju kampung neneknya tempat ibunya tinggal dahulu, Rima melihat kebalik kaca mobil dan melihat bagaimana alam benar-benar menyuguhkan pemandangan yang sangat indah oleh hijaunya pepohonan dan birunya air yang benar-benar sangat menyejukan hati dan pikirannya kala itu.

“Akankah setelah ini keadaan kami akan baik-baik saja?” gumam Rima dalam hati kecilnya. Sontak ketakutan dan kecemasan tersebut sirna saat melihat ibu dan adik-adiknya masih dalam keadaan baik-baik saja. Rasa takut tersebut sirna dan berubah senyum melihat adik-adiknya terutama ibunya sudah jauh lebih tenang.

Akankah semuanya akan baik-baik saja?

Hati ini masih terus bertanya

Cemas, takut, dan bimbang

Akankah berubah senyum hangat bagaikan peluk?

Berharap semua akan baik-baik saja dan cukup berserah pada yang Kuasa.

Leave a comment