Hits: 53

Diva Vania

Pijar, Medan. Belakangan ini kata toxic banyak dipakai oleh kalangan milenial untuk menjelaskan sesuatu yang menyusahkan dan merugikan orang lain. Mulai dari istilah toxic relationship, toxic positivity, hingga toxic masculinity yang menggambarkan deskripsi sempit tentang ‘kejantanan’.

Awalnya, toxic masculinity ini lahir dari konstruksi sosial masyarakat patriarkis, mengacu pada perilaku dan sikap kasar yang dikaitkan dengan lelaki. Istilah ini muncul pertama kali pada tahun 1990 yang dikemukakan oleh pakar psikologis, Shepherd Bliss.

Dalam paham toxic masculinity, laki-laki diharuskan menjadi superior dan dominan. Laki-laki tidak bisa mengekspresikan perasaannya karena dituntut untuk selalu terlihat kuat dan tangguh. Sedari kecil laki-laki dididik untuk tidak mengekspresikan perasaannya secara gamblang. Karena itu, tak jarang sebagian orang menganggap bahwa semua laki-laki harus berpenampilan tegas, mahir dalam segala bidang, dan tidak boleh cengeng dalam kondisi apapun. Namun, faktanya laki-laki juga manusia biasa yang punya rasa dan tak sempurna.

Toxic masculinity ini membuat manusia menjadi terlalu mengotak-ngotakkan antara perempuan dan laki-laki dengan melabelkan karakter yang melekat pada diri keduanya. Di mana laki-laki dianggap hanya memiliki sisi maskulin dan perempuan hanya memiliki sisi feminin. Padahal kita semua punya kedua sisi itu dalam kadar yang berbeda-beda. Tanpa disadari, sebenarnya praktik mengotak-ngotakkan ini sudah terjadi semenjak kita masih kecil. Laki-laki dipilihkan warna biru, sedangkan perempuan dipilihkan warna merah muda ketika masih bayi. Akhirnya, sampai dewasa laki-laki dan perempuan mempunyai warna khusus yang menjadi indentitas bagi gender mereka.

Perempuan yang memakai warna-warna gelap, dikritik dan disuruh memakai warna-warna cerah supaya lebih menunjukkan identitas keperempuanannya. Begitu juga dengan laki-laki yang menyukai warna merah muda, maka akan dianggap menyimpang dari identitas gendernya. Hal ini dapat dilihat dalam suatu lingkungan pertemanan. Di mana laki-laki akan diakui oleh teman-temannya ketika ia berani berkelahi dan melakukan sexual harrasment kepada perempuan. Dan ketika ia menolak, maka ia dianggap bukan laki-laki dan dijauhi oleh lingkungan pertemanannya. Mereka mengganggap seolah-olah lelaki itu harus punya karakter kasar dan agresif untuk bisa dikatakan lelaki sejati.

Beberapa contoh toxic masculinity lainnya, yaitu seorang lelaki harus kuat, bisa mengatur hubungan, dan mereka tidak boleh emosional (kecuali ketika ia marah). Tidak hanya itu, toxic masculinity ini juga menganggap lelaki tidak akan mungkin menjadi korban pelecehan seksual, sebaliknya lelaki malah akan menikmatinya.

Pada hakikatnya, laki-laki memang tidak semuanya memiliki keseluruhan karakter maskulin. Ada yang terlahir manly, ada yang lembut, ada yang tegas, ada yang lemah, dan ada pula yang macho. Semua hal tersebut bukanlah kesalahan. Kita pun tidak berhak menghakimi mereka karena karakter yang melekat pada dirinya.

Menangis juga bukan hal yang biasa bagi laki-laki. Tetapi menangislah jika memang ingin. Hal tersebut adalah hal yang normal bagi semua orang.

(Editor: Erizki Maulida Lubis)

Leave a comment