Hits: 41
Salwa Salsabila
Dari sekian banyaknya potongan-potongan cerita yang dirangkai di dalam buku-buku kumpulan cerpen atau novel yang kulihat di toko buku, sedikit darinya yang mengangkat cerita mengenai seseorang yang tak terlihat. Dan entah mengapa, kali ini aku ingin melakukannya, menulis cerita tentang orang yang tak terlihat. Mereka memang bukan pemeran utama dalam banyak kejadian, apalagi hal-hal yang menyangkut hidupku. Tapi bagiku, mereka menarik, begitu realistis. Mereka punya cerita sendiri, dan aku yakin lebih menarik daripada cerita tentang pria manis yang baru saja menyatakan perasaannya pada salah satu temanku pagi ini, yang menjadi cerita berulang-ulang bagai kaset rusak yang tak tahu kapan berhentinya.
Ini cerita tentang Arif. Aku bahkan tidak tahu nama lengkapnya ataupun ujung nomor mahasiswanya. Selama ini, ia hanya sebagai nama yang tercantum dalam buku absen kelas, tidak ada yang penasaran mengenainya, atau ingin mengenalnya lebih jauh sebagai ‘teman’. Ia hanya sosok tak kasat mata yang hanya ikut memenuhi ruang kelas. Ya, setidak kelihatan itu. Kalau kami hidup di dunia komik, Arif hanya menjadi seorang ekstra. Ia hanya akan menjadi figuran yang bahkan tidak digambar sempurna oleh penulis, hanya sebatas siluet. Namun, bukankah setiap orang memiliki ceritanya masing-masing? Bahkan seorang figuran pun begitu. Bukankah setiap orang memiliki harapan? Aku yakin Arif juga sama. Maksudku, ayolah, ia hanya anak remaja seumuranku. Ia pasti juga punya mimpi-mimpi atau cerita-cerita, sama sepertiku. Pasti pernah terbesit di dalam hatinya untuk menjadi seseorang yang dikenal, menjadi seseorang yang disapa ketika melewati koridor, menjadi seseorang yang pertama kali dipilih dalam tim, menjadi seseorang yang diperlukan.
Menjadi seseorang yang dicari saat pergi.
Menjadi seseorang yang diingat saat tak ada.
Namun, ia terlalu lemah untuk itu, mungkin. Karena yang dilakukannya hanyalah duduk diam di pojokan kelas, berusaha untuk menjadi hilang dibalik riuh rendah candaan anak laki-laki seumurannya. Tidak tertarik ikut membahas game adu pukul yang seharusnya digandrungi anak lelaki seusianya. Ia hanya menatap keluar jendela, entah menatap kolam lingkaran yang berair hitam bak jelaga pertanda sudah tak lagi terawat itu, atau menatap akar gantung dari pohon beringin tua itu, aku tidak tahu. Ia hadir di ruangan ini, namun tidak ada yang menyadari. Mungkin ia merasa aman di dalam diamnya, merasa nyaman dalam pikirannya yang tak ingin dibaginya dengan siapa pun. “tidak akan ada yang mengerti”. Begitu mungkin pikirnya.
Pernah sesekali aku pulang melewati jalan yang sama dengannya. Entah karena aku yang terlalu kaku, atau ia yang lebih kaku, kami bak orang yang tidak saling mengenal. Ia seharusnya beruntung, aku masih bisa mengenalinya di antara sekian banyaknya mahasiswa baru dikelas. Tapi, menjadi hilang mungkin adalah salah satu hobi nya. Aku tahu dari caranya berjalan lambat-lambat, membiarkanku berjalan menjauh, membiarkannya sendiri tenggelam dalam diam, merasakan angin sore sepulang kuliah yang kian membawa sepi yang hanya bisa dinikmati olehnya. Aku pun tak berniat menyejajarkan langkahku dengannya demi membuka obrolan yang kutahu akan berakhir sia-sia. Seperti ada tembok tak kasat mata yang dibangun olehnya, untuk membatasi dunia yang harus dibaginya dengan sosial, dan dunia yang hanya menjadi miliknya sendiri. Tidak ada yang bisa melewatinya.
Pernah juga, salah satu temanku bertanya, “Arif itu yang mana, sih?” tanyanya dengan nada frustasi, entah karena terlibat urusan tugas kelompok dengannya, atau entah karena apa.
“Oh, Arif? Yang pake kaca mata, yang sering diem dikelas,” jawabku. Namun, aku menyadari perkataanku secepat aku mengucapkannya. Siapa juga yang akan memerhatikan orang yang tidak pernah berinteraksi dengan satu pun orang dikelas, berusaha menjadi hilang dibalik lelucon-lelucon jayus yang dilontarkan oleh temanku yang bertumbuh gembul dan bersuara keras itu? Jawabannya, hanya aku, dan akhirnya pertanyaan temanku itu tak terjawab di tempat. Dua yang kusadari saat itu. Satu, ternyata Aku sering memerhatikan Arif. Dua, Aku benar-benar pemerhati yang baik.
Lalu, silang demi silang tertera dikotak absennya. Berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan sampai berbulan-bulan, nama Arif dipanggil tanpa sambutan dari pemiliknya. Kami pun tidak memberi informasi tambahan seperti biasanya. Semuanya serempak menjawab ‘tidak tahu’ seakan-akan sepakat bahwa ia bukanlah seseorang yang harus dibahas lebih lanjut. Aku juga menganggap itu hal lumrah, sampai akhirnya sekarang aku menyesalinya. Tidak ada yang penasaran. Sebenarnya, ke mana sih dia atau kenapa sih jarang hadir. Tidak seorang pun. Tidak ada yang coba menghubunginya untuk menanyakan keadaannya sehingga tidak hadir.
Aku tekankan, tidak ada seorang pun.
Setelah itu, coretan panjang spidol merah ditarik horizontal di absen yang memuat namanya. Ia telah resmi menjadi hilang sepenuhnya dari absen, berikut juga dari ingatan teman-teman sekelasku. Menjadi seseorang yang benar-benar tak diingat. Tidak ada lagi pertanyaan, siapa Arif? Arif itu yang mana? Ada yang kenal Arif? Semua hal tentang Arif resmi bungkam.
Satu tahun kemudian, di Sabtu yang dingin. Kabar mengenai Arif kembali mengudara. Namun, entah mengapa semua kabar mengenainya selalu diikuti tanggal kematian dan alamat duka. Butuh berkali-kali bagiku untuk membaca ulang pesan demi pesan yang dikirimkan teman-teman ku mengenainya. Sampai akhirnya aku mengerti.
Arif, orang yang hilang itu. Ia sudah pergi. Akhirnya ia benar-benar hilang bersama dengan angin pagi dingin di hari Sabtu yang mendung. Ketika matahari sudah sedikit meninggi, aku mendapat kabar, ia kalah dalam medan perang melawan leukimia. Ternyata selama ini Arif sakit. Ternyata diamnya selama ini mengisyaratkan lelah.
Ucapan bela sungkawa dari teman-teman sekelas mulai menghujani ruang obrolan. Mereka adalah orang-orang yang sama yang tidak merasakan kehadirannya ditengah-tengah kelas. Orang-orang yang tidak mengenalnya sampai satu tahun berlalu. Orang-orang yang tidak berniat untuk membuka obrolan dengannya. Orang-orang yang sama denganku. Pahit, tapi Aku juga adalah orang-orang itu. Arif tiba-tiba menjadi dikenal sebagai seorang almarhum, pengidap leukimia, dan orang yang dulu pernah ada. Bukan sebagai teman.
Pikiranku melayang kepada bayangan-bayangan yang tidak aku ketahui sebenarnya tentang anak semuda itu. Apakah itu sebabnya ia tidak hadir? Apakah itu sebabnya ia terlihat begitu lemah? Pertanyaan itu kemudian kujawab sendiri.
Lalu, kenapa Aku tidak bisa sedikit peduli? Kenapa Aku tidak menghubunginya kala itu? Kenapa Aku tidak bisa menorehkan ingatan indah untuk hari-hari terakhirnya? Kenapa Aku tidak bisa menjadi teman untuknya? Andai saja aku yang selangkah mendekat ke arahnya waktu kami melewati jalan yang sama. Andai saja aku tetap membuka obrolan walau hanya dibalas dengan anggukan singkat. Andai saja aku yang lebih dulu mengajaknya berkenalan dan membuka obrolan basa basi tentang cuaca. Andai saja. Andai saja!
Andai saja aku bisa menjadi teman untuknya, ia pasti tidak akan pergi dengan keadaan dilupakan. Ia pasti tidak akan pergi dalam keadaan tidak dikenal. Ia pasti tidak akan pergi dalam keadaan kesepian tanpa teman.
Yang ingin kusampaikan adalah, aku merasa bersalah, aku kehilangan, dan aku merindukannya.
Hanya ini yang bisa kulakukan untuknya. Membuatnya menjadi pemeran utama dalam cerita ini. Membuatnya menjadi diingat, dikenal, dikenang, dan dirindukan. Bahwa didunia yang fana ini, pernah hidup seseorang pemuda bernama Arif, si pendiam yang tidak pernah diketahui ceritanya. Berjuang melawan sakitnya tanpa teman. Berjuang menjadi hilang agar tidak ada yang menyadari dan ikut merasakan rasa sakitnya.
Kamu luar biasa, Rif. Aku akan selalu ingat kamu.
Sekarang kamu sudah benar-benar hilang, Arif. Jangan lagi kamu berusaha untuk itu. Tulisan ini didedikasikan untuk kamu, walaupun kamu tidak akan pernah membacanya. Namun, yang kuinginkan adalah semua yang membaca bisa mengenalmu walau tidak melalui tatap muka. Bisa mengingatmu walau tak pernah berbagi momen. Bisa merindukanmu walau hanya melalui bayangan.