Hits: 7
Grace Kolin
Judul : The Years of the Voiceless
Judul Asli : Entrok
Penulis : Okky Madasari
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Terbit : 2013
Tebal : 264 halaman
“A bra would have been a luxury for us”– Hal. 15.
Pijar, Medan. Okky Madasari kembali menuangkan idealismenya lewat salah judul novelnya, Entrok. Meski tak berhasil meraih Khatulistiwa Literary Award seperti laiknya Maryam dan Pasung Jiwa, Entrok berhasil melebarkan sayap untuk pembaca mancanegara dengan diterjemahkannya novel ini ke dalam Bahasa Inggris pada tahun 2013 dengan judul The Years of the Voiceless.
Tidak seperti kaver Entrok yang secara frontal merefleksikan gambar entrok (bra dalam Bahasa Jawa) sendiri, The Years of the Voiceless tampil dalam kaver yang lebih klasik dengan gambar lukisan cat air dan latarbelakang oranye muda. Terjemahannya tetap selaras dengan aslinya, dilengkapi dengan footnote untuk istilah tertentu.
Dalam novel ini, pembaca akan dibawa ke dalam konflik keyakinan dua generasi yang berbeda. Marni, perempuan Jawa buta huruf yang masih memuja leluhur dengan sesajen dan Rahayu, anak Marni yang dibentuk dengan sekolah dan merupakan pemeluk agama Tuhan yang taat.
“I hate Mother. She’s a sinner.
I hate Mother. She keeps a tuyul, people say.
I hate Mother, because she prays to her ancestors” – Hal. 54.
Berangkat dari perjuangan Marni dalam mengumpulkan uang receh untuk membeli bra, yang kala itu merupakan barang mahal di era-nya. Marni berani melangkahi takdirnya sebagai seorang perempuan. Ia keluar dari zona nyamannya sebagai pengupas ubi dan menjadi pengangkut barang perempuan satu-satunya di Pasar Ngranget. Dari hasil kerja kerasnya, ia mendapat ide untuk mengembangkan usaha lainnya. Mulai dari penjual sayur keliling, pemberi pinjaman, penyewa jasa angkutan hingga juragan tebu.
Ia tak pernah lupa mengadakan syukuran dan berterima kasih pada leluhur atas semua rezeki yang ia peroleh. Ia rutin menghidangkan makanan dan memanjatkan permohonan di bawah pohon. Namun, dalam proses menggapai status ekonomi yang lebih baik, Marni sering mendapat cobaan yang tidak menyenangkan. Ia dituduh memelihara tuyul dan melakukan praktik pesugihan untuk memperkaya diri. Tidak hanya itu, atas nama keamanan dan loyalitas terhadap partai “Pohon Beringin” pada zaman Orde Baru, Marni sering diperas oleh aparat negara.
Tak peduli berapa pun harga yang harus dibayar, Marni tetap tegar memupuk doa dan harapan pada Rahayu, anak semata wayangnya. Ia ingin Rahayu menjadi orang yang berhasil. Tetapi Marni harus kembali ‘gigit jari’, Rahayu dengan titel sarjana yang diperolehnya justru semakin membuat ibunya kecewa dan sakit hati. Ia tumbuh menjadi anak yang congkak dan keras kepala. Ia menghakimi ibunya sebagai seorang pendosa karena ibunya masih menganut kepercayaan lama. Bahkan, ia sendiri pergi meninggalkan keluarganya dengan seorang lelaki yang telah beristri.
“My daughter may have been educated and smart, yet she was such a fool. How could her mother, who had never gone to school, know anything about Allah and memorize all the Arabic prayers that I didn’t even kow about? All my life I had been taught to worship Gusti, so how could I suddenly be expected to stop? Oh… Nduk, why was has school made you less human?”– Hal. 118.
Tanpa berkabar dan peduli dengan nasib keluarganya, Rahayu pergi membela nasib suatu perkampungan kecil disebelah timur Gunung Merapi. Perkampungan milik tanah leluhur yang dihuni 65 kepala keluarga itu tak lama lagi akan digusur. Rahayu dan teman seperjuangannya harus menghadapi ancaman pihak bersenjata. Tak jarang, kepala tanpa tubuh melayang dan menghantam pintu penginapan.
Hingga detik-detik pergusuran tiba, Rahayu tetap bertahan meski suaminya telah gugur dan teman-temannya pergi meninggalkan ‘medan perang’. Alhasil, Ia pun harus mendekam dibalik jeruji besi dan keluar dengan menyandang identitas Eks-Tapol. Bersamaan dengan redupnya semangat hidup Rahayu, Marni juga menjadi gila karena tak ada satu pun pria di Desa Singget yang mau mempersunting anaknya. Mereka takut dicap sebagai PKI.
Membaca The Years of the Voiceless seperti mendengarkan jeritan hati kaum yang tertindas. Mereka yang merasa terasing karena keyakinan yang berbeda. Mereka yang dipaksa untuk tunduk dan bungkam terhadap rezim Orde Baru. Dan mereka yang dengan mudah dicap dan ditahan atas dugaan PKI.
Dalam biodata penulis, Okky menuliskan bahwa Entrok atau The Years of the Voiceless lahir dari kegelisahan atas kesewenang-wenangan yang semakin marak dan toleransi yang kian menipis. Dan tak diragukan lagi, Okky mampu mengangkat semua kisah pilu itu dalam satu novel yang menarik dan ringan untuk ditelisik.
Anda tertarik? Selamat membaca!