Hits: 16
P. Nadya Htg
Pijar, Medan. Perjalanan saya dimulai dari Medan, ibu kota Sumatera Utara, provinsi yang dianugerahi oleh Sang Khalik dengan beberapa fenomena alam yang dapat menjinakkan mata. Eksistensi keindahan alam Sumatera Utara juga sudah merangkul wisatawan baik lokal maupun global. Kali ini Kota Medan menjadi gerbang awal menuju suatu kawasan wisata yang masih terlalu awam di telinga masyarakat, sekalipun letaknya teramat dekat dengan Air Terjun Sipiso Piso, salah satu ikon pariwisata Sumatera Utara. Terletak di Kecamatan Merek, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara, terdapat sebuah bukit di atas dataran Air Terjun Sipiso Piso. Masih belum tahu asal penamaannya, bukit ini dikenal dengan nama Bukit Gundul. Saya hanya mendengar namanya dari teman-teman komunitas pencinta alam yang ikut serta, bahwa bukit ini tidak ditumbuhi banyak pepohonan alias gundul.
Melalui terminal Jamin Ginting, terjangkau banyak angkutan umum yang beroperasi menuju Kota Berastagi yang merupakan ibu kota Kabupaten Karo. Untuk sampai ke Bukit Gundul sore itu, saya dan tim bergerak sekitar dua jam menggunakan angkutan bermuatan dua puluh orang. Perjalanan kami menuju Tugu Kota Berastagi sebagai tempat pemberhentian mengalami keterlambatan, akibat wilayah Berastagi yang relatif rutin diguyur hujan sehingga menimbulkan kemacetan. Dari titik Tugu Berastagi menuju puncak Bukit Gundul, dibutuhkan waktu sekitar satu jam berjalan kaki dengan jarak tiga kilometer. Hujan malam hari menjatuhkan kami dengan alternatif menumpang kendaraan yang lalu lalang. Untungnya untuk mencapai titik puncak dapat diraih melalui kendaraan roda dua atau empat, dengan lintasan yang cukup nyaman di tempuh. Kendati begitu harus tetap waspada sebab jalanan yang dilalui cenderung licin dan hanya seukuran satu kendaraan roda empat saja.
Cuaca ketika sampai di puncak untungnya cukup cerah, membuat suasana begitu bersahabat, di mana mulai terlihat bulan dan ribuan bintang di langit. Hamparan perbukitan dan gunung, Air Terjun Sipiso Piso dan Danau Toba yang luas dan fenomenal itu, dapat dlihat dengan dua mata saja dari puncak Bukit Gundul. Padahal letak Danau Toba cukup jauh jika di tempuh dari Bukit Gundul, membutuhkan waktu sekitar dua sampai tiga jam. Layaknya di puncak gunung, tenda-tenda didirikan selaras dinyalakannya api-api unggun, masakan-masakan dan nyanyian-nyanyian peredam dingin. Istimewanya lagi, di puncak bukit ini terdapat fasilitas kamar mandi umum sekalipun kurang memadai dari segi kualitas dan kuantitas. Sungguh malam yang sulit didapat, di mana pemandangan dan aktifitas gunung bisa diraih dengan tanpa mendaki. Tampaknya tempat ini bisa menjadi tujuan untuk orang-orang yang ingin menikmati gunung dengan tanpa letih yang berlebih.
Menuju pagi, kumpulan awan mulai bergerak pelan memunculkan sedikit demi sedikit hawa hangat dari terbitnya sinar mata hari, dengan sisa bulan yang masih bisa dicecap. Panorama semakin terlihat maka wujud bukit ini pun semakin terperinci. Dataran bukit ini sebenarnya tidak terlalu luas dan tingginya berkisar 1900 mdpl saja.
Selepas puas bersantap pagi serta mengabadikan momen dengan berbagai sudut pandang, kami bergegas kembali dengan memutuskan berjalan kaki. Dan kembali menaiki angkutan bertarif sepuluh ribu rupiah itu. Memang sejauh pemantauan, budaya pelestarian masih sangat minim dilakukan. Puntung rokok dan sampah lainnnya masih terhampar di sekitar bukit, sehingga mengurangi kenyamanan. Untungnya pemandangan dari atas bukit masih dapat jelas dinikmati.
Setiap perjalanan selalu membuka mata tentang suatu destinasi yang tidak hanya menawarkan keindahan tetapi juga butuh pelestarian alam untuk generasi mendatang. Destinasi tanpa upaya konsevasi akan sangat berbahaya bagi kelangsungan pariwisata suatu daerah.