Hits: 9
Oleh MORA HASIAN PARLINDUNGAN HARAHAP
Suatu hari Desember mendatangiku dan pidatonya sangat menyakitkan.
Aku tahu naskah yang dia bawakan dengan gempitanya berasal dari tuhan dan tugasnya hanya membacakannya saja sambil berpura pura bahwa dialah pembaca pidato terbaik di dunia.
Sebenarnya aku tak bisa menghapalkan semua karya manis tuhan itu, tapi sungguh yang dapat ku eja hanyalah katanya jika aku akan mati dengan kesepian dan kepedihan yang akan membawakan kerandaku di suatu ketika.. Katanya lagi di nisanku akan ditulis ‘Disini telah terbaring Mr. Mora Parlindungan Hasian Harahap dan semua wasiatnya telah dijalankan sesuai keinginannya dengan terbaring di belakang ayahnya dan menghadap ke barat.’
Hari ini Desember tampan sekali karna ia akan berpidato di hadapanku.. Jasnya hitam, cocok dengan sepatunya yang juga hitam mengkilat.. Mungkin tuhan menghadiahinya demikian.. Tuhan itu pemurah rupanya.. Dan aku disini bisanya cuma menyesali karena tuhan hanya menghadiahiku sebuah pidato dan air mata.
Dan sungguh mengejutkan! Desember membawakan hadiah untuk ibuku, sebuah syal berwarna ungu yang akan menghangatkan leher ibuku sampai ia tiada.. Ungu; indah sekali.. Tapi jangan kau kira Desember itu baik, dia hanya menggoda ibuku karna ayahku sudah mati.
Selainnya hanya sebuah pidato.
Suatu hari pernah aku berpikir jika saja Desember yang fanatik ini aku singkirkan saja sehingga ia tak usah muncul di tahun ini dan menyatakan keangkuhan pada pidatonya, sehingga telingaku yang sudah pekak ini tak usah mendengarkan kata “sabar” yang selalu ia bacakan dengan logat yang itu itu saja, sehingga tahun ini hanya sampai kepada November yang busuk yang sudah mengakhiri ayahku dengan memecahkan jam pasir di lambungnya. Asal kau tahu tuan November! Ayahku gak makan pasir! Otak otakku tak bisa memikirkan, Toh buat apa tuan Desember datang dengan segala pidato dan tetek bengeknya? Bagiku semua sudah berakhir.
Ayah apa kau dengar aku di sana?
Aku kangen sama ayah. Ayah asal kau tahu saja kedatanganmu di mimpiku gak cukup ngobatin lukaku ini. Maaf yang ku layangkan dengan doa juga gak bakal membayar sesalku. Entah kenapa aku hanya menjadi anak yang bodoh bagimu yang cuma punya otak kanan dan berangan angan kita akan jalan jalan ke eropa suatu saat dengan ibu di sebelah kanan dan ayah di sebelah kiri atau kita ke arab, atau kita ke china ayah atau kita mencangkul bersama di sawah? Atau seperti janjimu melihatku di upacaraku nantinya dan kita bernyanyi bersama sama di atas panggung, ayah akan terlihat tampan karena aku akan membelikanmu semuanya yang kau mau, aku akan membelikanmu sepatu kulit pentovel termahal di dunia, aku belikan jam tangan yang keren, apa pun yang ayah mau, akan ku belikan suatu saat.
Tapi di saat kapan? Saat kita sama-sama di kuburan? Suatu hari jika tak ada lagi kau dan aku.
Aku tahu. Tak ada lagi suatu hari…