Hits: 5
Oleh YOAN DOLANG
(c0-assistant Fakultas Kedokteran USU)
Apalah artinya kehilangan kereta dibandingkan kehilangan rambut…
Rambut bukan sekedar mahkota, terlebih bagi seorang pasien kanker stadium IV. Bagi mereka, rambut adalah salah satu alasan untuk tetap bisa menyungging senyum. Jika akar-akar keratin mereka mampu bertahan melawan hantaman “tak sengaja” cisplatin, di saat itulah mereka merasa menang melawan angka statistik yang serempak mengatakan bahwa alopecia adalah salah satu daftar efek samping kemoterapi. Di samping efek samping suhu tubuh yang meningkat dan kecapan lidah yang menghambar, maka orang awam pun tau, alopecia adalah efek samping yang kerap kali meluruhkan rasa percaya diri pasien kanker.
“Pak, lihat motor saya?” tanyaku kepada bapak pemiliki kos yang asyik menikmati koran paginya. “Hah, tidak. Dari tadi saya di sini, tidak ada motor yang keluar,” jawab si bapak sambil menggurat wajah kaget.
Srrpp!
Fine, tidak perlu waktu panjang untuk memahami apa yang terjadi pagi ini. Jelas sudah bahwa “jagoan merah” saya hilang. Linglung? Tentu saja! Ingin rasanya berlari ke pelataran parkiran masjid Dakwah, melihat mungkin saja si “merah” masih di sana, terlupa dibawa kemarin sore. Tapi, superego saya menahan, “Hei, Halo? Sore terakhir kemarin kamu meletaknya di sini, di samping mobil ini”.
Innalillahi. Sekelip mata ia pergi. Ingin rasanya menangis selayaknya orang yang kehilangan, tapi entah kenapa lakrimal saya sedikit pun tidak terangsang. Mudah-mudahan bukan karena episode manik, akibat bipolar tersembunyi. Tapi semata-mata karena ketenangan yang Allah susupkan secepat kilat, bahwa atsar-atsar (jejak) si “merah” bersama saya, yang entah berceceran di mana saja, tetap tersimpan kekal di sisi Allah. Kenangan menderu di hujan petir sepulang dari rumah sakit jiwa, kenangan menahan nafas melewati jalanan Jamin Ginting Medan yang khas sekali aroma BPK-nya, atau juga kenangan membonceng ibu ke Brastagi.
Apalah artinya sepeda motor yang hilang dibandingkan dengan rambut yang gugur habis. Pasien di kamar A3 itu seolah-olah berbicara empat mata denganku, “Sebandingkah kehilanganmu dengan kehilanganku? Rambutku, payudaraku!”
Srrpp… Aku tersentak. Tubuh lemah wanita itu memlontoskan kelinglunganku pagi ini. Tanpa terasa, lakrimal-ku pun menyembulkan butir beningnya. Kehilangan segala harta benda adalah trial kecil dari segunung cobaan yang akan Allah berikan untuk menguji hamba-Nya. Sekali waktu, saat kita berpunya, toh ia dapat dibeli kembali. Tapi apa-apa yang melekat pada jasad kita, sungguh adalah pemberian Allah yang tak akan bisa diperoleh di mana-mana. Pun tak kan pernah serupa dengan wig yang dijual dengan berbagai rupa, atau silikon yang disalahgunakan para waria.
Inilah kita hari ini, bersyukur saat uang dalam jumlah besar mampir gratis tanpa terduga. Bersyukur saat nama keluar sebagai pemenang tender proyek. Bersyukur saat kabar scholarship jebol diterima. Bersyukur histeris saat dinyatakan lolos audisi event-event pencarian bakat, dan bersyukur pada hal-hal “insidental” lainnya. Tapi coba tanyakan, kapan terakhir kali bersyukur dengan satu mulut yang tak kelu? Dua tangan yang utuh? Dua kaki yang lincah? Dua lubang hidung yang sempurna? Dua mata yang gamblang? Dua telinga yang setia? Dan beribu helai rambut yang lebat? Adakah kita mengambil waktu barang dua menit untuk khusus mensyukuri semua itu?
Sebaliknya, manusia acapkali membesarkan segala musibah kecil. Tuduh sana, tuduh sini saat kehilangan sesuatu. Mengurung diri, tak kuasa makan, tak kuasa minum saat lamaran pernikahan dibatalkan. Mengiris nadi di pergelangan kiri karena gagal pilkada. Dan segala stupidity lainnya.
Sekali lagi pasien tadi bagai tersenyum getir, “Ya,vital sign-ku baik. Tekanan darahku normal. Denyut jantungku normal. Bahkan kalian juga bisa sesuka hati menyemprotkan puding semi padat itu ke selang NGT-ku. Menusukkan IV-line ke venaku. Tapi semangatku, adakah kalian berusaha menghadirkannya kembali untukku? Atau kalian merasa cukup menggantinya dengan sebutir obat yang aku tak mengerti, bagaimana bisa benda sekecil itu menghilangkan kesunyian hatiku? Aku sungguh-sungguh tak mengerti.”
Keluar dari ruangan A3 tersebut, aku tertunduk memandang ubin demi ubin rumah sakit. Aku sama sekali tak menentang teori-teori biologis seputar serotonin yang berlebih pada pasien depresi, tapi aku juga tak bisa memercayai bahwa memberikan obat anti-depressant kepada pasien depresi sebagai satu-satunya jalan. Terlebih pada pasien depresi et causa kanker. Ada special approach yang seringkali terlupa untuk dimaksimalkan, Hatta menyediakan waktu untuk duduk sebentar di samping pasien. Bertanya, mendengarkan, merasakan, dan menyampaikan, sungguh penyakit yang diderita adalah cara Allah untuk mencampakkan seluruh dosa-dosa…
***
Cisplatin: kemoterapi utama pada pasien kanker.
Alopecia: botak.
NGT: Naso-Gastric Tube, selang untuk memasukkan makanan langsung ke lambung pasien.
Bipolar: gangguan kepribadian dua kutub, terdiri dari episode manik (orang cenderung euphoria, gembira, kebutuhan tidur berkurang, dan lain-lain), dan episode depresi (pasien cenderung menarik dari, sedih, tidak mau makan/ banyak makan, insomnia/ hipersomnia, dan seringkali ada kecenderungan bunuh diri).