Hits: 320
Pijar, Medan. Matahari masih terlalu enggan menampakkan sinarnya. Jalanan masih basah akibat diguyur hujan semalaman. Saya mencoba menikmati udara pagi sambil berjalan-jalan menikmati suasana kota Banda Aceh yang dikenal dengan julukan Bumi Serambi Mekkah. Dari kejauhan tampak beberapa orang duduk di sebuah bangunan menyerupai café, namun sepertinya lebih enak jika disebut warung kopi. Saya tertarik untuk melihatnya dari dekat. Saya segera mempercepat langkah menuju tempat yang sejak tadi membuat penasaran. Di Medan memang sudah banyak warung kopi Aceh. Tapi di sini pasti berbeda rasanya, pikirku.
Ternyata warung yang saya kunjungi ini begitu banyak peminatnya. Hari masih pagi, tetapi hampir semua kursi terisi penuh. Beruntung saya menemukan sebuah kursi kosong di sudut ruangan, tanpa pikir panjang saya langsung duduk. Sejurus kemudian seorang anak muda berkaus hitam bergambar biji kopi menghampiri. “Mau pesan apa, bang?” katanya dengan logat Aceh kental. “Apa yang istimewa di sini, bang?” tanyaku. “Kopi ulee kareng, bang,” jawabnya singkat. “Saya pesan kopi itu saja,” kataku.
Akhirnya rasa penasaran saya terjawab sudah, mengapa warung ini begitu diminati. Di dinding warung kopi ini terlihat beberapa foto orang-orang berpengaruh, mulai dari Gubernur Aceh, panglima militer, artis-artis ibukota, Jusuf Kalla, hingga Bill Clinton terpampang di sini.
Secangkir kopi hitam berbuih dan sangat panas bersama aneka kue basah kini tersaji di meja. Saya melihat beberapa orang menikmati kopi sama seperti kopi yang saya pesan. Mereka menambahkan gula, lalu mengaduk dengan cepat. Perlahan-lahan mereka meniup-niup kopi hitam itu sembari menghirup wanginya. Bagi saya jelas tersira mereka itu adalah pecinta kopi sejati. Lagi-lagi saya penasaran dan mengikuti gaya mereka. Memang benar sensasinya terasa beda dan sungguh nikmat.
Tiba-tiba seorang pria paruh baya menyapa saya, “Sendiri saja, dik?” “Adik pasti bukan orang sini, ya,” katanya lagi? “Oh iya, pak saya dari Medan,” jawab saya sambil memperkenalkan diri. Kami pun duduk bersama. Ternyata pria bertubuh tumbun memakai berpeci itu namanya Pak Daud. Hanya mengacungkan, tak berapa lama kopi yang sama dengan saya sudah tersaji .
Mengawali percakapan di pagi itu, Pak Daud adalah pelanggan tetap warung ini. “Saya sudah hampir 20 tahun minum kopi di sini dan kursi yang kamu duduki itu adalah tempat favorit saya,” katanya. Ha-ha-ha. Pantas saja kursi ini kosong, karena si empunya adalah pelanggan senior di sini. Karena malu menundukkan sedikit kepala. “Tidak apa-apa. Maklum saja, kamu kan orang baru di sini,” katanya sambil tertawa hangat.
“Tadi bapak minum kopi ini tanpa gula. Apakah tidak pahit?” tanyaku. “Di situlah letak kenikmatannya, karena aroma kopi masih kuat dan asli, apalagi dengan kue ini,” ujarnya sambil menunjukan kue berbalut daun pisang muda. Kue itu adalah kue khas Aceh, namanya timpan. Isinya bisa serikaya atau kelapa. Benar saja kue ini memang terasa enak di lidah.
“Kopi di sini berbeda dengan kopi-kopi yang lain. Rasanya lebih mantap,” tambah Pak Daud. Biji-biji dan bubuk kopi yang ada di warung ini sengaja didatangkan dari daerah Lamno Aceh Jaya, Geumpang Pidie yang telah terbukti akan kualitas biji yang dihasilkannya. Apa yang dikatakannya benar. Aceh adalah salah satu daerah penghasil kopi terbesar di Indonesia untuk jenis arabica berkualitas premium dengan pasokan mencapai 40 persen .
Bagi masyarakat Aceh, warung kopi bukan hanya tempat untuk minum kopi. Hampir semua persoalan kehidupan dibahas di sini. Mulai dari berita politik, budaya, pekerjaan, keluarga, bahkan bisnis sekalipun. Minum kopi merupakan tradisi yang diturunkan dari generasi ke generasi dalam kehidupan masyarakat Aceh.
Karena kopi Aceh sangat istimewa, kita tidak akan menemukan kopi senikmat ini di daerah manapun di Indonesia. Bahkan para pekerja NGO asingpun banyak yang jatuh hati. Tak jarang dari mereka membawa kopi Aceh sebagai buah tangan saat kembali ke negeri asal. Bahkan Bill Clinton saat ia ditunjuk sebagai duta PBB untuk Tsunami Aceh menyempatkan diri untuk merasakan kopi Aceh. Ia kagum. Berkat Bill Clinto pula Starbucks bersedia membeli kopi produksi Aceh. Dan benar saat ini biji kopi Aceh menjadi brand kopi internasional.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 8. Obrolan kami yang cukup hangat sudah berlangsung selama dua jam lebih. Pak Daud harus melanjutkan aktivitasnya pagi ini, sementara saya siap berpetualang lagi mengelilingi kota Banda Aceh. Tak salah pilihan saya mengunjungi tempat ini. Kopi Aceh yang begitu hangat, sehangat keramahan warganya.[neo]
1 Comment
Ulva Yogia Guslaf
Ulee kareeng. Timpan. nyam nyam. haha. Bg Neo punya cerita? mantaps!