Hits: 29

Arbiahtul Insani Lubis / Aura Qathrunnada Gultom

Pijar. Medan. Baru-baru ini, dunia mendengar kejadian penyegatan kapal bantuan untuk Gaza oleh tentara Israel, di mana pasukan Israel memutus komunikasi dan mengganggu sinyal armada. Dikutip dari aljazeera.com, penyelenggara Global Sumud Flotilla melaporkan bahwa pasukan angkatan laut Israel menaiki beberapa kapal armada mereka di sekitar 130 km dari pantai Gaza.

Global Sumud Flotilla (GSF) adalah gerakan kemanusiaan yang dijalankan oleh relawan dan aktivis internasional mengenai genosida yang terjadi di Palestina. Berdasarkan laman resmi GSF, mereka merupakan koalisi masyarakat biasa yang percaya pada martabat manusia, dan kekuatan tindakan tanpa kekerasan. Koalisi armada kapal ini bertujuan untuk memberi bantuan, seperti pasokan makanan dan pasokan obat-obatan kepada rakyat Gaza.

Para relawan gerakan ini berasal dari berbagai organisasi, seperti Global Movement to Gaza, Freedom Flotilla Coalition, Maghreb Sumud Flotilla, dan Sumud Nusantara yang beroperasi secara independen, berlandaskan nilai internasional, serta tidak memiliki keterikatan dengan pemerintah atau partai politik mana pun. Mereka menyatakan komitmennya hanya pada prinsip keadilan, kebebasan, dan penghormatan terhadap kesucian hidup manusia.

Global Movement to Gaza, sebelumnya dikenal dengan Global March to Gaza, merupakan sebuah gerakan akar rumput yang mengorganisasi aksi solidaritas global untuk mendukung Gaza, dan mengakhiri pengepungan. Sementara itu, Freedom Flotilla Coalition merupakan koalisi yang mendukung semua upaya untuk mematahkan blokade Gaza.

Begitu juga Maghreb Sumud Flotilla, yang sebelumnya dikenal sebagai Sumud Convoy, merupakan misi solidaritas yang berbasis di Afrika Utara untuk menyalurkan bantuan dan dukungan kepada komunitas Palestina. Kemudian, Sumud Nusantara merupakan konvoi yang dipimpin masyarakat dari Malaysia dan delapan negara lainnya, yang terinspirasi oleh semangat ketahanan Palestina.

GSF menyatakan bahwa mereka bersatu di bawah satu tujuan bersama, yaitu mematahkan pengepung ilegal di Gaza melalui jalur laut, membuka koridor kemanusiaan, serta mengakhiri genosida yang sedang berlangsung terhadap rakyat Palestina. Para relawan dari gerakan ini juga berasal dari berbagai negara, dan terbuka untuk relawan lain yang ingin mengikuti gerakan ini.

Jalur laut menjadi landasan yang dipilih untuk aksi koalisi karena mereka dapat menerobos sistem dan menghadapi blokade secara langsung. Berbeda dengan jalur darat yang dikontrol ketat oleh pasukan pendudukan Israel, hingga menyebabkan banyaknya bantuan yang dikirim tertunda dan dibatasi. Meskipun risiko ini juga dialami di jalur laut, setidaknya armada ini tidak hanya membawa bantuan, tetapi juga sebagai simbol yang membawa pesan bahwa pengepungan dan pencegatan terhadap bantuan harus dihentikan.

Ide untuk misi GSF ini lahir pada pertengahan Juli, setelah tiga kapal yang tergabung dalam Freedom Flotilla Coalition, Conscience, Madleen dan Handala, telah mencoba berlayar ke Gaza di bulan Mei, Juni, dan Juli tahun ini. Namun, ketiga kapal ini berakhir diserang, dicegat, serta dinaiki oleh pasukan Israel.

Greta Thunberg, salah satu relawan dari gerakan ini, melalui siaran langsung bersama Francesca Albanese, pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk wilayah Palestina, menyatakan bahwa risiko pencegatan pasti akan ada, tetapi gerakan harus tetap dilaksanakan.

“Kami menyadari risiko serangan semacam ini. Jadi, itu bukan sesuatu yang akan menghentikan kami,” tegas Greta.

Gerakan armada ini diharapkan untuk menjadi bentuk usaha bagi para aktivis, agar tidak ada lagi penahanan bantuan yang datang dari luar untuk rakyat Palestina. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Wakil Juru Bicara Sekretaris Jenderal PBB, Farhan Haq, dalam konferensi pers yang dicantumkan di aa.com.tr,  bahwa bantuan yang datang seharusnya tidak diganggu.

“Keyakinan kami adalah orang-orang yang hanya membawa bantuan kemanusiaan seharusnya tidak diganggu,” ungkapnya.

(Redaktur Tulisan: Kelly Kidman Salim)

Leave a comment