Hits: 21

Indra Rana Zafira Silaban / Suci Say’sah

Pijar, Medan. Pelanggaran akademik, seperti plagiarisme, merupakan masalah yang signifikan di lingkungan pendidikan. Dengan dalih efisiensi waktu dan tenaga, banyak mahasiswa tergoda untuk meniru karya orang lain, tanpa memikirkan dampaknya bagi dunia pendidikan dan moralitas individu.

Melansir dari argassociation.org, International Center for Academic Integrity (ICAI) melakukan survei selama 12 tahun di 24 kampus di Amerika Serikat. Hasilnya, diketahui sebanyak 95% mahasiswa yang disurvei mengaku pernah melakukan kecurangan akademik setidaknya satu kali. Di antara 71.300 mahasiswa S-1, 39% menyontek saat ujian, 62% menyontek tugas tertulis, dan 68% mengaku melakukan kecurangan pada ujian atau tugas.

Fenomena ini dipicu oleh kemudahan akses informasi digital dan kurangnya pemahaman tentang hak cipta. Edukasi terkait plagiarisme yang minim menjadi salah satu alasan utama.

“Orang-orang cenderung kurang mendapatkan pengetahuan terkait plagiarisme terutama hak cipta. Peringatan sudah saya lakukan diikuti dengan penarikan karya, namun tetap saja hal tersebut di luar kontrol saya. Oleh karena itu, saya berharap edukasi tentang plagiarisme semakin banyak,” ujar Rani Jayati, seorang korban plagiarisme.

Selain edukasi, penguatan regulasi sangat dibutuhkan. Di Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, sebenarnya telah memberikan payung hukum bagi korban. Namun, implementasinya dinilai masih lemah. Hal ini menyebabkan peringatan maupun sanksi hukum kurang efektif menekan angka plagiarisme.

Mazdalifah, Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara, menyarankan langkah konkret untuk mengatasi fenomena ini di lingkungan akademik.

“Perlunya menerapkan prinsip waskat, yaitu pengawasan ketat dan melekat. Jika di lingkungan akademisi, bisa dilakukan dengan menggunakan alat pendeteksi atau memberikan tugas yang tidak ada di buku,” tuturnya.

Plagiarisme tidak hanya merugikan korban, tetapi juga berdampak buruk pada pelaku. Kebiasaan melakukan plagiarisme membuat pelaku kehilangan kemampuan berpikir kritis, rasa ingin tahu yang sehat, serta menjadi lebih malas. Akibatnya, mereka sulit bersaing dalam dunia kerja yang menuntut kreativitas dan inovasi.

Dampak jangka panjangnya pun signifikan. Jika dibiarkan, fenomena ini dapat mencoreng reputasi akademik dan menciptakan generasi lulusan yang tidak kompeten. Dengan demikian, tidak hanya individu yang dirugikan, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan.

Untuk itu, diperlukan kesadaran individu yang kuat dan komitmen moral. Mengandalkan regulasi dan edukasi saja tidak cukup tanpa keinginan pelaku untuk berubah. Sebagai makhluk sosial, penting bagi setiap individu untuk menjunjung etika dalam setiap tindakan, termasuk di ranah akademik. Jangan sampai demi keuntungan sesaat, moralitas dan etika dikorbankan.

(Redaktur Tulisan: Hana Anggie)

Leave a comment