Hits: 16
Grace Estephania / Lowla Santa Claudia Manurung
“People who pop a painkiller at the smallest hint of a migraine demand that women giving birth should gladly endure the pain, exhaustion, and mortal fear.” – Cho Nam-Joo
Pijar, Medan. Pernah mendengar istilah patriarki? Sebuah budaya yang tidak seharusnya berkembang di tengah masyarakat, tetapi telah mendarah daging di setiap kehidupan saat ini. Sebuah kebiasaan yang mengagungkan laki-laki tetapi tidak dengan perempuan. Ketidakadilan perlakuan antara laki-laki dengan perempuan merupakan ciri khas dari budaya patriarki. Namun, pernahkah kamu berpikir bagaimana potret nyata kehidupan perempuan di tengah budaya patriarki? Kamu dapat mengetahuinya dalam film berjudul Kim Ji-Young, Born 1982 yang telah tayang tahun 2019 silam.
Sebuah film yang diangkat dari kisah nyata dan novel dengan judul yang sama karya Cho Nam-Joo. Film ini mengisahkan tentang perempuan bernama Kim Ji-Young yang mengalami depresi postpartum. Ia merupakan seorang ibu rumah tangga yang merelakan kariernya demi merawat anaknya bernama Ah-Young. Mempunyai tanggung jawab yang besar dalam rumah tangganya menjadikannya memiliki beban tersendiri di pundaknya.
Mendapatkan lingkungan yang dibalut dengan budaya patriarki, sejak kecil ia selalu dituntut untuk mengalah demi saudara laki-lakinya dan menjadikannya sosok yang harus memendam perasaannya demi orang lain. Bahkan ketika ia diikuti oleh laki-laki saat SMA, ayahnya malah menyalahkan pakaian yang dikenakannya dan menegurnya karena berpergian terlalu jauh, padahal saat itu ia tengah pergi untuk bimbingan belajar.
Merelakan banyak hal demi orang lain merupakan hal yang telah ia pelajari sejak kecil. Berkaca dari pengalaman sang ibu yang harus merelakan pendidikan serta kehidupannya demi mencari uang dengan bekerja di pabrik untuk saudara laki-lakinya. Kim Ji-Young yang memiliki cita-cita menjadi seorang penulis harus bernasib sama, merelakan mimpinya karena keadaan yang tidak mendukung. Bahkan di saat ia telah mendapatkan pekerjaan menjadi bagian dari tim marketing, Kim Ji-Young juga harus merelakannya demi merawat putri kecilnya.
Tuntutan dan perlakuan dari orang terdekat hingga masyarakat membuatnya terus bertanya, apakah dia bahagia atau tidak? Ia merasa bahagia memiliki keluarga kecil yang indah, tetapi di satu sisi ia merasa lelah dengan semuanya. Pikiran-pikiran tersebut terus bertumpuk di dalam benaknya hingga akhirnya menjadikan Kim Ji-Young terkadang berperilaku layaknya orang lain.
Adanya campur tangan dalam pengambilan keputusan rumah tangganya membuat Kim Ji-Young semakin bingung akan arah hidupnya. Mendapatkan perlakuan tidak baik dari mertuanya semakin memicu depresi dirinya.
Dari film ini kita dapat melihat bagaimana menantu perempuan yang selalu dituntut untuk serba bisa dan harus melayani keluarga suaminya, tetapi tidak dengan keluarga perempuan yang selalu menerima dan berperilaku baik terhadap menantu laki-lakinya.
Kim Ji-Young, Born 1982 mengajak penonton untuk melihat kehidupan yang kerap dijalani perempuan setelah menikah. Menampilkan realita kehidupan pernikahan yang kebanyakan tidak membahagiakan perempuan. Selalu banyak tuntutan bagi perempuan dan meminta perempuan agar dapat merelakan semuanya demi “keluarga kecilnya”.
Sebuah tuntutan yang tidak selaras dengan laki-laki setelah menikah. Sama seperti saat semua orang berpikir bahwa merawat anak adalah tanggung jawab seorang ibu, padahal hal tersebut juga tugas dari seorang ayah.
Sinematografi film ini cukup memanjakan mata yang dapat menarik perhatian penonton akan adegan-adegan implisit yang hadir dalam film. Penonton diharapkan dapat memperbaiki stereotip buruk di masyarakat dan kasus diskriminasi gender tak lagi dilakukan di zaman sekarang.
Film ini juga mendapat sejumlah penghargaan seperti Baeksang Art Awards pada tahun 2020 dan Blue Dragon Film Awards di tahun yang sama. Film berdurasi 1 jam 58 menit ini cocok menjadi tontonan untuk mengisi waktu luang. Bagaimana, tertarik menyaksikan film Kim Ji-Young, Born 1982?
(Redaktur Tulisan: Marcheline Darmawan)