Hits: 41
Star Yeheskiel Munthe/ Viona Matullessya
“Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai.” (Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia)
Pijar, Medan. Adalah Minke (dibaca Mingke) tokoh yang digunakan Pram dalam menggambarkan Indonesia di akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Masa yang dalam sejarah tercatat sebagai jejak awal Kebangkitan Nasional. Berlatar di Kota Surabaya dan Wonokromo serta beberapa kota lain di Provinsi Jawa Timur.
Kisah Minke bermula ditahun 1898, saat itu dia adalah siswa hogereburgerschool atau biasa disingkat H.B.S (sekolah tingkat menengah pada zaman Hindia Belada). Di sekolah tersebut ia mengaku sebagai orang pribumi, atau sebutan untuk penduduk asli. Namun, semua orang tahu untuk masuk ke H.B.S seseorang harus berasal dari golongan Totok (orang Eropa asli), atau Indo (campuran Eropa dan Indonesia), pastilah si pribumi memiliki kedudukan yang cukup tinggi. Minke tak pernah mengakui kedudukan jaminan itu, tanpa nama keluarga, seorang pribumi.
Sebagai bagian dari bangsa pribumi, Minke membaca dan menulis dalam bahasa Belanda bahkan lebih baik daripada mereka yang berdarah Totok sendiri. Suatu ketika Minke diajak oleh teman sekelasnya berkunjung ke sebuah rumah mewah, jenis rumah yang tak pernah ia kunjungi atau masuki sebelumnya. Kunjungan itu mengenalkannya pada Annelis, seorang gadis yang digambarkan Pram memiliki kecantikan melebihi seorang bidadari yang turun dari khayangan. Ia diajak berkeliling oleh Annelis menyusuri hampir tiap bagian rumahnya. Disana ia bertemu dengan Nyai Ontosoroh ,seorang pribumi yang merupakan ibu dari Annelis, sedangkan ayah Annelis sendiri adalah orang Belanda yang bernama Robert Mellena. Ayahnya sangat jarang pulang kerumah karena sibuk dengan bisnisnya dengan orang Eropa lain, sehingga urusan rumah diserahkan sepenuhnya kepada Nyai Ontosoroh.
“Aku sendiri masih termanggu melihat perempuan meninggalkan dapur rumah tangga sendiri, berbaju kerja, mencari penghidupan pada perusahaan orang, bercampur dengan pria”
Pram memberi gambaran untuk pembaca tentang kuatnya pengaruh sebuah tulisan pada masa itu. Tulisan dapat mengambarkan keadaan, menceritakan isi hati, memancing kerusuhan, bahkan dapat membuat orang yang keluar dari bangku sekolah kembali mendapat tempatnya. Minke yang dididik dengan cara berfikir modern memahamin bahwa kesetaraan dalam hal sosial, dimana respek diperoleh karena sesorang tersebut layak mendapatkannya atas pemikiran yang cemerlang atau keprebadian yang mengaggumkan, bukan karena kedudukan yang dimilikinya. Minke mendobrak budaya menghormati orang, karena label yang melekat pada orang itu.
“Sungguh teman-teman sekolah akan menertawakan aku sekenyangnya melihat sandiwara bagaimana manusia, biasa berjalan sepenuh kaki, diatas telapak kaki sendiri, sekarang harus berjalan setengah kaki, dengan bantuan dua belah tangan. Ya Allah, kau nenek moyang, kau, apa sebab kau ciptakan adat yang menghina martabat turunamu sendiri begini macam.”
Lewat Bumi Manusia kita dapat megenal konteks kolonial, potret pemuda yang menyanjung pengetahuan darah, menimba ilmu dari cara Eropa tetapi menemukan kepincangan dalam etika mereka. Sementara dirinya sendiri geram dengan masyarakat dan adat pribumi serta pola berfikir yang mengekang pada masa itu.
Pram menulis buku ini ketika ia medekam di Pulau Buru sekitaran tahun 1975, tetapi baru diterbitkan tahun 1980 dan menerima sambutan luar biasa dari pembaca dari dalam dan luar negeri. Namun pada masa rezim orde baru buku ini sempat hilang dari peredaran, karena dianggap menyuarakan paham Marxisme-Leninisme dan Komunisme oleh Jaksa Agung. Tahun 2005, Tetralogi Baru dicetak oleh Lantera Dipantara dan sampai saat ini telah diterjemahkan kedalam 33 bahasa dan tersebar diseluruh dunia sebagai “Sumbangan Indonesia untuk Dunia.”
1 Comment
Tertampan
????