Hits: 29
Aura Qathrunada Gultom / Maureen Chisty Nauli Simanjuntak
Pijar, Medan. Sangat banyak diperbincangkan di khalayak sekarang ini mengenai slow living atau gaya hidup lambat. Apa itu slow living dan pengaruhnya bagi kita?
Dikutip dari buku Slow Journeys: What Does it Mean to Go Slow? oleh Daisy Tam pada tahun 2008, slow living adalah sebuah gaya hidup yang mendorong pendekatan yang lebih lambat dalam aspek kehidupan sehari-hari, juga terkait dengan menyelesaikan kegiatan dengan langkah yang perlahan atau santai.
Pergerakan gaya hidup ini awalnya berasal dari pergerakan yang terjadi pada tahun 1980-an di Italia. Bermula ketika ada pembukaan outlet McDonald di Kota Roma. Carlo Petrini dan beberapa aktivis membentuk gaya hidup slow food, yang mendorong agar kualitas makanan menjadi lebih baik. Setelah itu, pergerakan gaya hidup ini semakin berkembang dan mencakup aspek lain, juga dalam kehidupan secara keseluruhan.
Slow living artinya melakukan sesuatu dalam kurun kecepatan yang tepat, bukan dengan cepat. Pergerakan ini fokus dalam melakukan suatu hal dengan lebih baik, maksudnya melakukan kegiatan dengan perlahan, secukupnya, dan memprioritaskan menghabiskan waktu yang tepat dengan hal-hal yang paling penting untuk kita. Pergerakan ini juga relatif mendorong kita untuk lebih sederhana. Gaya hidup lambat ini juga merupakan keseluruhan dari bagian-bagian lain, seperti slow fashion, slow food, slow cities, dan lainnya.
Beberapa contoh penerapannya, yaitu membeli barang sesuai kebutuhan dan bukan kemauan semata, memilih dan mengolah makanan yang segar dan mengurangi mengonsumsi makanan cepat saji, meluangkan waktu untuk diri sendiri, membatasi penggunaan media sosial, dan lainnya.
Bagaimana dengan dampak penerapan gaya hidup lambat ini? Tentunya kita akan mendapat berbagai manfaat, mulai dari hal yang kecil, yaitu kita mendapat lebih banyak waktu untuk mengembangkan diri kita sendiri. Bahkan hingga dampak besar yang memengaruhi lingkungan. Contohnya ketika kita memilih barang kebutuhan yang bersifat tahan lama untuk jangka panjang, yang mana akan mengurangi sampah di muka bumi. Gaya hidup ini juga akan membuat kehidupan kita menjadi lebih sehat secara fisik dan mental.
Meskipun banyak manfaat yang dirasakan, masih terdapat juga miskonsepsi yang ada di masyarakat mengenai hal ini. Banyak orang salah mengira bahwa gaya hidup ini membuat kita menjadi malas dan tidak produktif, padahal nyatanya gaya hidup ini mendorong agar kita tidak overworked dan masih dapat meluangkan waktu untuk diri sendiri, keluarga, dan orang sekitar.
Beberapa orang juga mengira bahwa yang menerapkan gaya hidup ini adalah orang yang lepas dari teknologi, walau kenyataannya hidup lambat mendorong kita agar membatasi penggunaan sosial media dan teknologi dimanfaatkan hanya sebatas untuk pemenuhan kebutuhan kita.
Jika kita lihat lebih jauh lagi, gaya hidup lambat ini bukan sekadar menjalani kehidupan sehari-hari dengan perlahan, namun juga tentang bagaimana dampaknya terhadap keberlanjutan, kapitalisme, dan lainnya.
Pergerakan hidup yang cepat membuat kita menjadi konsumtif, yang mana mendorong kita menjadi ketergantungan terhadap barang yang sifatnya tidak lama. Hal ini menciptakan perekonomian dipegang oleh para kapitalis yang menerapkan fast living, seperti fast fashion, fast food, dan lainnya.
Ketika sistem yang ada di masyarakat adalah kapitalisme, tentunya ini hanya akan menguntungkan para pemegang saham sebagai penguasa perekonomian dan menekan masyarakat secara umum. Mulai dari naiknya harga barang, kurangnya produk atau sumber daya yang mudah diakses, dan lainnya.
Selain itu, sifat konsumtif menyebabkan masyarakat membeli barang secara berlebihan dan terus-menerus. Hal ini membuat terciptanya masalah yang baru, yaitu sampah yang berlebihan. Tidak hanya sampah fisik, namun juga gas emisi yang tercipta melalui gaya hidup cepat.
Dapat kita pahami melalui satu contoh, misalnya fast fashion. Sistem ini memproduksi pakaian secara besar-besaran dalam kurun waktu yang cepat. Lalu, masyarakat akan mengikuti perkembangan dari sistem ini. Maka, masyarakat tentunya akan membeli barang secara besar-besaran dan dalam kurun waktu yang cepat pula. Sudah dapat dipastikan limbah dari pabrik berupa gas emisi dan limbah sampah, serta sampah bekas pakaian yang digunakan akan mencemari lingkungan dalam skala yang besar.
Oleh karena itu, inti dari slow living adalah melakukan semua hal yang membuat kita merasa lebih baik. Slow living menjadi salah satu solusi untuk mengurangi berbagai permasalahan dalam hidup. Setidaknya, penerapan gaya hidup ini dapat dimulai dari hal kecil, yang mana pastinya secara perlahan akan memberikan dampak setidaknya untuk diri sendiri.
(Redaktur Tulisan: Alya Amanda)