Hits: 13
Nabila
“Ayo, Bula, kita sudah sampai,” ajakan Ibuk memecah lamunanku. Aku mengambil tas yang berisi sisa barang di rumah lamaku. Aku berdiri di depan rumah yang akan menjadi tempat tinggal baruku dan ibuk. Setelah aku diterima di Perguruan Tinggi yang ada di kotaku, ibuk memustuskan untuk menyewakan rumah di kampung dan membeli rumah di kota tempat kampusku berada.
Rumah itu sederhana dengan interior kontemporer dengan warna netral, memiliki dua kamar yang cukup untukku dan ibuk. Mataku menyapu setiap sudut rumah ini, kagum melihat hasil keahlian ibuk bisa mendapatkan rumah dengan kualitas yang masih layak.
“Ini rumah baru ya, Buk?” tanyaku penasaran, “Nggak sih, tapi memang semua barangnya itu masih bagus gitu ya Bul,” Ibuk menjawab sembari membereskan sisa barang bawaan kami.
“Memang rumah ini tidak sebesar rumah di kampung, tapi cukup kok untuk kita tinggal. Ibuk juga udah liat jarak ke kampus kamu dekat dari rumah ini. Kamar kamu di depan ya Bul, kamar Ibuk di belakang. Sekarang beres-beres terus bersih-bersih, ya. Oh iya, nanti mau makan apa Bul?” Ibuk menyambung pembicaraan. “Terserah Ibuk aja, Bula semua juga dimakan Buk, ”aku menjawab Ibuk dari kamarku.
Satu bulan berlalu, kehidupanku berjalan dengan lancar, begitu pun juga perkuliahanku. Sibuk sekali menjadi mahasiswa baru, banyak tugas bahkan tak jarang aku pulang setelah azan magrib berkumandang. Aku menarik kursi di meja makan, menemui Ibuk yang sedang mempersiapkan makan malam.
“Sibuk banget akhir-akhir ini kamu, Bul. Udah makan belum?” Ibuk bertanya padaku, “Belumlah Buk, nggak sempet makan tadi sore,” jawabku sambil membantu Ibuk mengambilkan alat makan. “Kasian anak Ibuk, sampe lupa makan. Yaudah, sekarang kamu makan sampe kenyang, ya,” aku membalas Ibuk dengan senyuman sembari mengganguk.
Setelah makan malam, aku memutuskan untuk mandi lalu memeriksa sisa tugasku. “Akhirnya selesai juga, capek banget,” kulempar tubuhku ke atas ranjang yang sudah kurindukan. Aku meraih smartphone-ku, sedikit berkelana menyusuri layar ponsel tak sadar waktu sudah menunjukan pukul 9 malam. Aku pun memutuskan untuk tidur, dengan suasana yang tenang dan hawa yang dingin di balik selimut. Aku tertidur pulas.
“Berisik banget, sih,” aku terbangun dari tidur karena suara berisik dari luar rumah. Setengah sadar aku mengintip keluar jendela dan melihat banyak orang berlalu lalang seperti sedang menggelar acara. Tidak mau ketinggalan, aku pun beranjak dari tempat tidur dan berlari ke luar rumah. Aku tidak pernah tahu, akan ada acara meriah di pemukiman ini.
“Hai, kamu orang baru, ya?” terdengar sapaan seorang gadis seumuranku yang datang entah dari mana. “Eh, iya aku baru pindah kesini. Salam kenal ya, aku Bula,” aku menyambut sapaannya dan memperkenalkan diri sebagai bentuk tata krama. “Iya, aku sering memperhatikan kamu, kok. Ayo, ikut aku di sana ada banyak makanan, loh,” dia menarik tanganku, aku juga senang akhirnya aku punya kenalan baru di rumah baruku.
Ada banyak sekali orang berjualan makanan. Ada pertunjukan menari juga yang banyak menarik perhatian orang. Aku melihat banyak sekali makanan yang terlihat enak, aku mau membelinya, tetapi aku tidak membawa uang.
“Aku mau membeli jajan di sana tapi aku nggak bawa uang. Aku pulang dulu, ya, mau ambil uang,” jelasku pada gadis itu. “Kamu nggak perlu bayar semua makanan ini kok, ambil saja sepuasmu. Ini semua gratis,” ucap gadis berambut pendek itu, dia menarik tanganku menuju tempat makan yang aku inginkan. Aku menikmati semua makanan dan minuman sembari melihat semua orang asyik dengan acara meriah itu.
“Ngapain di sini?” Terdengar suara serak yang mengagetkanku. Aku refleks melihat ke asal suara, terlihat perempuan paruh baya dengan baju lusuh khas zaman dulu. “Astaga Nek, saya terkejut. Ada apa, Nek?” Nenek itu menunjukan raut wajah seperti tidak suka padaku. Dengan tatapan tajam dia menoleh ke arah belakangku, tepatnya melihat teman yang baru saja kukenal. Baru ku sadari ternyata gadis ini juga beradu tatap melemparkan tatapan tidak suka pada Nenek itu.
“Pulang sekarang, sudah terlalu lama disini. Cepat!” Dengan ekspresi marah, Nenek itu menarik tanganku. Aku menghempas sebagai tanda aku menolak. “Nenek siapa? Kenapa menarik tangan saya? Saya masih mau tetap di sini,” aku menarik tangan temanku untuk berpindah tempat menuju arah yang aku pun tidak tahu ke mana.
“Pulang sebelum terlamabat,” teriakan Nenek itu masih terdengar dan aku berjalan sejauh mungkin berusaha menghilang dari pandangan Nenek tua itu.
“Kita sudah jauh, jadi kau masih mau berada di sini bersamaku?” Gadis yang kugandeng sedari tadi menarik tanganku, memaksa berhenti dan mencari kepastian dari pernyataanku.
“Iya, aku juga besok nggak ada urusan, jadi bisa pulang larut,” aku menjawab dengan yakin, membuat sudut bibir gadis itu terangkat…membuat perasaanku tidak nyaman.
“Kenapa? Kamu mau pulang, ya?” Aku melempar pertanyaan padanya seketika acara yang awalnya ramai menjadi hening, suasana sunyi sepi itu membuatku bingung karena semua orang menatapku terdiam.
“Kenapa semua terdiam? Hei, jangan lihat aku kayak gitu dong, bikin takut aja,” aku bertanya ke teman baruku yang namanya saja aku tak tahu.
“Sekarang kita disini terus ya, temani aku,” dia berbicara dengan raut wajah bahagia, namun justru membuatku semakin bingung dan takut. Aku berlari meninggalkannya dan pergi mencari rumahku, tetapi aku hanya berlari tanpa tahu arah hingga tak kunjung sampai di tujuan.
“Ini kenapa sih, kok nggak sampai rumah? Padahal tadi deket banget sama rumah,” dengan napas terengah-engah dan kebingungan di gelapnya malam membuatku mulai menyerah. Hawa dingin, bau tanah basah, suara jangkrik, dan sinar bulan yang menemaniku, tempat ini sangat asing, bahkan aku tak pernah tahu ada tempat seperti ini di sekitar rumahku.
“Ibuk, tolong Bula…” Aku berjalan lagi, mencoba mencari arah jalan pulang sampai akhirnya aku berhasil sampai di depan rumahku. Suasana rumah sepi, begitu pun di sekeliling rumahku, tak ada pergelaran acara apa pun. Aku bergegas memasuki rumah dan menuju kamar, perasaan gila mulai muncul di dalam diriku. Aku melihat diriku sendiri tertidur di atas ranjang, menyadari apa yang sudah kulewati sepanjang malam sangat tidak masuk akal.
“Apa yang telah kulakukan? Perasaan menyesal ini menyakiti hati dan pikiranku, apakah menyesal masih ada gunanya?” Pertanyaan itu terus terputar di kepalaku. Setiap saat membuatku mati.