Hits: 54
Asti Febriana
Jam terus berputar detik demi detik. Bahkan sekarang sudah 1 jam berlalu semenjak ayahnya dikebumikan. Tapi temanku Ebi, masih membisu di makam ayahnya sambil terpaku meratapi nisan yang bertuliskan nama almarhum. Sangat canggung jika kutanyai perasaannya. Namun ia mulai melirik ke arahku dengan mata yang kosong, kuhampiri dan kutepuk pundaknya sembari menenangkan.
“Tidak apa-apa untuk meneteskan air mata, itu normal kok,” ucapku saat itu.
Namun bukannya menangis ia malah tertawa sembari memandangku yang membuat bulu kudukku merinding.
“Aku tidak tau apakah aku harus menangis atau bahagia. Orang yang menyakiti anaknya sendiri memang tidak pantas untuk tinggal di dunia ini, bukan begitu Randi?” ucap Ebi padaku.
Wajar saja jika Ebi berkata seperti itu. Semua tetangganya juga tau bagaimana Ebi diperlakukan oleh ayahnya yang temperamental. Semua bekas luka dan memar yang ia dapatkan dari pukulan dan amukan ayahnya selalu ditunjukkannya kepadaku, karena baginya hanya aku keluarga yang ia miliki.
“Sekarang aku sudah bebas dan lepas dari beban, Ran. Tidak ada yang perlu kutakutkan lagi. Aku tidak perlu lagi bersembunyi di bawah tempat tidur saat malam hari dan semua bekas luka ini akan kujadikan bukti bahwa aku manusia yang tak takut sama sekali,” sambungnya.
Terdengar suara sirine mobil polisi yang menghampiri pemakaman. Sambil membawa borgol dan surat penangkapan, ternyata Ebi menyerahkan dirinya dan membuat laporan bahwasannya ia yang membunuh ayahnya dengan menuangkan racun pada makanan dan minuman yang dikonsumsi oleh ayahnya.
Semua orang yang melihat mobil polisi juga ikut berkumpul untuk menyaksikan apa yang terjadi. Aku tercengang dan tak menyangka bahwa ia benar-benar mengakhiri penderitaan yang selama ini ia jalani sendiri dengan cara yang dramatis. Aku tak kuasa menahan air mata dan memeluknya erat-erat.
“Ebi, aku tau ini keputusan yang hebat dan berat untukmu. Tetaplah menjadi manusia yang kuat. Aku tau cara yang kau lakukan ini salah, tapi aku akan menjadi orang di barisan pertama yang selalu mendukungmu karena mereka tidak tau seberat apa penderitaanmu sampai keputusan ini kamu lakukan,” ucapku sambil memeluknya erat.
Ebi pun menangis sejadi-jadinya karena melakukan keputusan yang amat berat ia lakukan, “Air mata ini tidak pernah keluar saat aku disiksa dan dipukul secara membabi buta, Ran. Tapi kenapa sekarang menetes dan bahkan tak berhenti? Mungkin ini yang namanya air mata bahagia berdosa.”
“Tak apa, itu bagian kebahagian dari hati kecilmu yang menyuarakan rasa bahagianya setelah bebas dari penderitaanmu selama ini,” ucapku.
Ia pun tersenyum dan menarik nafas yang panjang dan merasa lega. Tak lama kemudian, polisi menghampiri dan menangkap temanku Ebi serta melakukan penyelidikan kembali terkait kasus kematian ayahnya Ebi.
Terbesit di hatiku kenapa kehidupan selalu tidak berpihak pada orang-orang seperti Ebi. Bukankah kehidupan ini seharusnya adil? Tapi kenapa di saat orang seperti Ebi yang harusnya belajar dengan giat dan bermain dengan sepertemanannya, harus terikat dengan situasi yang tidak menguntungkan selama bertahun tahun. Aku hanya berharap tidak ada lagi orang tua yang melampiaskan amarahnya dan beban kehidupan pribadinya kepada anak yang bahkan belum mengerti situasi dan keadaan yang ada.