Hits: 50
Tasya Hapsari / Nabila
Pijar, Medan. Sering kali kita lupa untuk berhenti berusaha terlalu keras agar orang lain merasa bahagia. Pada akhirnya, semua usaha kita akan sia-sia dan diri kita akan terbengkalai sebab tidak ada yang peduli, bahkan diri kita sendiri. Sesekali tidak apa berkata “tidak” untuk hal yang menyakitkan diri sendiri daripada harus menenggak madu yang ternyata beracun. Begitulah kalimat yang coba diungkapkan penulis dalam buku yang berjudul Sayangi Dirimu, Berhentilah Menyenangkan Semua Orang.
“Jika Anda hidup untuk menyenangkan orang lain, semua orang akan mencintai Anda kecuali Anda sendiri.” – halaman 162.
Sabrina Ara adalah penulis asal Balikpapan yang lahir pada Januari 1986. Buku ini rilis pada 10 April 2021 dan memiliki 176 halaman. Sayangi Dirimu, Berhentilah Menyenangkan Semua Orang merupakan hasil dari ketertarikan Sabrina dalam bidang Ilmu Komunikasi maupun Ilmu Psikologi. Ketertarikannya ini juga meluas ke buku-buku bertema motivasi, agama, maupun entertainment. Buku ini sendiri bertemakan perjuangan menuju hidup yang bahagia dari orang-orang yang berusaha mengusik kehidupan kita.
Seperti judulnya, buku ini mengajak kita para pembaca untuk melihat diri sendiri dengan kacamata yang berbeda dari sebelumnya, serta memperlakukan orang lain dengan secukupnya. Hal sekecil “terlalu” banyak tidur dan hobi menggosip ternyata dapat merubah pola pikir dan perilaku hingga stereotipe orang terhadap kita.
“Ketika sedang patah, jangan ‘nyampah’ ke orang yang salah. Sebab di lain hari, sampah-sampah itu pasti kembali ke muka sendiri.” – halaman 31.
Pernahkah kita berpikir bahwa ternyata kitalah sumber suatu permasalahan yang tengah terjadi? Maksudnya, terkadang tanpa disadari kita selalu ingin menjadi pemeran utama yang bersifat protagonis di setiap halaman buku yang kita tulis. Padahal bisa saja kita adalah villain dalam kisah orang lain, sebab kita terlalu mementingkan ego dan tidak melihat sudut pandang orang terdekat.
Membaca buku ini membuat kita tersadar bahwa kita sebenarnya terlalu sibuk untuk mengurusi hidup orang lain, karena kita lebih butuh memperhatikan diri sendiri dibanding orang lain.
Pada dasarnya, permasalahan yang ada di dalam hidup justru dapat menghidupkan jiwa demokratis seseorang. Tanpa adanya konflik, diri ini tidak akan tahu bagaimana cara mencari solusi dan apa itu evaluasi. Setiap orang bebas memilih jalan kebahagiaannya sendiri, tetapi kebebasan itu juga bukan tanpa batasan. Justru harus tetap dengan batasan supaya tidak ada yang dirugikan.
“Kita bisa berada di tempat yang sama, tetapi mengalami pengalaman yang berbeda. Hanya dengan berusaha memahami, kita akan dapat merasakan kondisi orang lain” – halaman 102.
Tulisannya juga kental akan pembahasan mengenai psikologi, seperti pemahaman mengenai pengelolaan emosi, penolakan terhadap hal yang bisa membahayakan diri, hingga pemahaman mengenai cara agar selamat dari ruang lingkup yang toxic dan merugikan.
Selain menyampaikan informasi seputar pentingnya mencintai diri sendiri, Sabrina juga sesekali membahas sulitnya seseorang untuk keluar dari lingkungan yang tidak baik. Diambil dari sudut pandang Sabrina yang merupakan seorang perempuan, ia mencoba memberi pesan bahwa perempuan masih terus ditekan oleh budaya patriarki dari orang terdekatnya. Bahkan dari kaum perempuan itu sendiri.
Sekadar untuk self-reward saja terasa sulit jika seorang wanita mendapati dirinya sebagai istri dari seorang suami patriarki. Namun, Sabrina juga berusaha untuk memposisikan penulisannya dari sudut pandang pria, jadi pembaca bisa melihat perspektif keduanya.
Sayangi Dirimu, Berhentilah Menyenangkan Semua Orang secara singkat ingin memberitahu kita bahwa tidak ada salahnya lebih mengenal diri sendiri agar dapat mengungkapkan perasaan lewat kata dan aksi. Tetap menempatkan diri supaya tidak melebihi ambang batas dalam memahami diri sendiri agar tidak ada yang merasa dirugikan.
“Mencintai diri sendiri adalah kekuatan untuk memperjuangkan kebahagiaan.” – halaman 155.
(Redaktur Tulisan: Marcheline Darmawan)