Hits: 266
Zoraya Balqis / Trisha Permata Lidwina Lumbangaol
Pijar, Medan. Pernahkah kamu mendapati fenomena di mana banyak orang menjadikan influencer berparas cantik sebagai acuan dalam merias diri? Pada awalnya, orang-orang berpandangan bahwa cantik itu relatif dan banyak bentuknya, namun lama-kelamaan masyarakat mulai membentuk standar tersendiri dan menjadikannya sebagai tolak ukur. Menjadikan seseorang sebagai role model tentu saja boleh, tetapi jika berlebihan dan obsesif bisa berdampak negatif, lho!
Media sosial merupakan wadah untuk menuangkan ekspresi. Namun, dengan luasnya jangkauan media sosial, timbul ekspektasi yang tinggi bagi penggunanya. Terdapat banyak pengguna media sosial yang merasa gaya hidupnya sudah ‘ketinggalan zaman’ dan berusaha mengubahnya agar sesuai dengan standar yang dia lihat di internet.
Berbagai aspek seperti kesuksesan, pencapaian, dan standar kecantikan kerap menjadi topik pencarian terpopuler di aplikasi media sosial mana pun, padahal yang kita lihat di media sosial tidak mencerminkan kenyataan yang ada.
Konten-konten yang dipublikasikan di media sosial hanyalah potongan kecil dari kehidupan yang sebenarnya. Di balik layar, kehidupan sempurna yang kita lihat belum tentu seharmonis di media sosial. Misalnya, seorang selebgram yang sering menunjukkan harta kekayaannya ternyata tidak memiliki rumah tangga yang bahagia. Media sosial juga ranah yang dikenal low-privacy. Bahkan hal-hal yang bersifat privasi seperti latar belakang keluarga dan identitas pribadi sering menjadi bahan perbincangan netizen.
Selain ekspektasi yang terlalu tinggi, standar media sosial juga bisa memunculkan ketidakapercayaan diri bagi audiensnya. Lantas, apa yang dapat menyebabkan munculnya hal tersebut? Tentu dengan adanya tren maupun konten yang bersifat flexing atau perilaku pamer.
Konten flexing sendiri menyajikan berbagai pencapaian seperti pendidikan, karir, hingga kondisi finansial. Salah satu contoh dampak dari konten flexing bisa berupa stigma yang mengharuskan mahasiswa untuk menempuh pendidikan di luar negeri karena kerap mendapatkan lowongan pekerjaan yang lebih banyak, padahal dengan menempuh jenjang perkuliahan di dalam negeri bukan berarti menutup kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan.
Standar media sosial ini tidak hanya melulu tentang pendidikan maupun karir. Belakangan ini di media sosial, khususnya TikTok, terdapat sebuah tren, yaitu “Marriage is Scary”. Dari tren ini, banyak audiens yang berasumsi bahwa menikah itu menyeramkan. Sebuah mimpi buruk jika mendapatkan pasangan yang tidak sejalan dengan standarnya.
Nyatanya, kita tidak dapat langsung menyimpulkan secara garis besar bahwa pernikahan itu merupakan pilihan yang salah hanya karena melihat dari pengalaman orang lain. Tren yang sedang viral di dunia maya ternyata juga dapat memengaruhi sudut pandang kita dalam hidup.
Lalu, bagaimana cara memerangi standar media sosial yang tidak sehat? Tentu hal tersebut bisa diatasi dengan menerapkan tips-tips berikut:
Pertama, ketahuilah bahwa setiap orang mempunyai porsinya masing-masing. Terkadang setiap melihat suatu pencapaian, kita rawan terpancing secara emosional. Tetapi dengan merenungi dan menyadari kemampuan kita, pada akhirnya kita dapat memahami bahwa bentuk kesuksesan itu relatif dan datang dari berbagai aspek. Potensi yang kita punya belum tentu dimiliki oleh orang lain.
Kedua, batasi screentime media sosial! Namanya juga rebahan seharian dan scrolling HP, siapa yang tidak suka? Akan tetapi, dalam menjaga kesehatan mental, kebiasaan ini harus diminimalisir. Sebagai manusia kita tentu butuh hiburan, tetapi jangan mentok dengan bermain HP saja. Sibukkan diri kamu dengan membaca, melukis, olahraga, dan beragam aktivitas lainnya yang tidak hanya mencerahkan suasana hati tetapi juga bisa menambah skill baru.
Ketiga, jagalah privasi dan terapkan stoicism mindset. Dengan menjaga privasi kehidupan kita di dunia maya, kita jauh lebih tenang dan tidak ikut pusing mengikuti standar media sosial yang ada. Stoicism mindset juga dapat menjadi solusi untuk menjalani hidup lebih tenang.
Mengapa demikian? Stoicism mindset adalah sebuah pola pikir yang mengajarkan kita untuk fokus pada hal-hal yang bisa kita kendalikan dalam hidup dan menerima dengan lapang dada akan hal-hal yang tidak bisa kita ubah. Dengan menerapkan cara tersebut, kita dapat memandang dunia dengan lebih bersyukur dan menerima hal-hal yang kita punya sekarang.
Jadi, apakah hidup dengan standar media sosial merupakan keharusan? Tentunya tidak. Menjadikan seseorang sebagai role model dalam artian yang positif diperbolehkan. Misalnya, ingin mengembangkan diri menjadi lebih bijaksana dengan menonton konten yang membahas tentang self-improvement. Namun, jika sudah mencapai tahap yang obsesif dan membuang jauh potensi diri kita demi standar yang disetir media sosial, harus dihindari, ya! Standar orang-orang bukanlah acuan hidup kita, marilah bijak dalam bermedia sosial.
(Redaktur Tulisan: Alya Amanda)