Hits: 8
Trisha Permata Lidwina Lumbangaol
Pijar, Medan. Hidangan tengkleng, pasti terasa sedikit asing bukan di telinga teman-teman sekalian? Jika berkunjung ke daerah Solo, jangan lupa untuk singgah sebentar dan mencicipi sajian kuliner tengkleng. Kuliner ini terkenal akan cita rasa yang gurih dan sejarah menyedihkan di baliknya.
Tengkleng adalah masakan tradisional yang bahan utamanya berasal dari kambing. Hidangan ini biasa disajikan dengan bumbu serta rempah-rempah yang mirip dengan gulai, hanya saja dengan takaran yang lebih sedikit dan tanpa menggunakan santan. Oleh karena itu, kuah tengkleng cenderung lebih encer dan bening dibandingkan dengan kuah gulai.
Jika dibahas kembali dari bahan utamanya yaitu kambing, tengkleng berbeda dengan olahan kambing lainnya. Kebanyakan olahan berbahan dasar kambing menggunakan potongan daging, sedangkan tengkleng hanyalah berisi tulang-tulang yang menyisakan sedikit daging menempel pada tendon dan tulang kambing itu sendiri.
Dikenal akan kenikmatannya, tengkleng juga menyimpan sejarah yang memilukan. Pada masa Indonesia masih di bawah penjajahan Jepang, pribumi yang tinggal di Solo menjalani hidup yang sengsara dan melarat. Jangankan tempat tinggal, kebutuhan pangan untuk sehari-hari pun sulit untuk dicukupi.
Di tengah kesengsaraan, para rakyat jelata mulai bergerak mencari solusi alternatif agar tetap bertahan hidup dengan cara mengolah apapun bahan yang tersedia. Di masa itu, daging kambing merupakan hidangan yang hanya bisa dikonsumsi oleh para penjajah, bangsawan, dan saudagar kaya. Sehingga, pada setiap jamuan mewah di rumah para bangsawan, rakyat miskin mulai mengumpulkan limbah tulangnya untuk diolah kembali.
Dengan berbekal limbah-limbah seperti tulang dan jeroan kambing yang telah dikumpul, masyarakat Solo mau tak mau memasaknya kembali dan mengonsumsinya demi mampu bertahan hidup. Untuk menyembunyikan baunya, limbah tersebut diolah dengan bumbu khas yang cukup beragam. Bumbu-bumbu tersebut terdiri dari jahe, serai, kunyit, lengkuas, kayu manis, daun salam, pala, kemiri, dan masih banyak lagi.
Tengkleng dapat dijadikan sebagai ikon masa-masa kesulitan rakyat Solo selama dalam penjajahan. Kata tengkleng itu sendiri berasal dari bunyi “kleng-kleng-kleng” setiap tulang kambing yang dituang bersentuhan dengan permukaan piring. Bunyi yang nyaring tersebut disebabkan oleh piring kaleng (gebreng) yang hanya digunakan oleh kaum jelata di masa itu.
Kuliner khas Solo ini biasa dikonsumsi dengan cara “dibrakoti”, yang artinya dalam bahasa Solo yakni menggigit bagian tulang dan sendi hingga tak tersisa daging sama sekali. Tak hanya bagian daging saja, dalam menikmati tengkleng kita juga bisa mengisap bagian sumsum yang terdapat pada sela-sela tulang.
Dengan diciptakannya masakan tengkleng, hal ini menjadi motivasi bagi masyarakat Solo untuk terbebas dari keterpurukan yang disebabkan oleh penjajahan. Tengkleng yang awalnya hanyalah bahan-bahan sisa yang sebelumnya dianggap sebagai “sampah” ternyata dapat diolah, dengan sebaik mungkin dan menghasilkan kenikmatan tiada tara. Tengkleng mampu menjadi jalan bagi rakyat Solo untuk tetap bertahan hidup di masa penjajahan Jepang.
(Redaktur Tulisan: Hana Anggie)