Hits: 18
Muhammad Fikri Haikal Saragih
“Apa yang kau takutkan?” tanya diriku sambil memegang dahi keheranan dengan sikapku yang terus diam.
SENIN. Hari yang paling kubenci. Aku pasti akan disiksa oleh para berandal bajingan itu lagi. Eksperimen apa lagi yang akan mereka lakukan kepadaku?
Tiba di kelas, aku yang pertama masuk. Tak biasanya, kupikir aku juga gak begitu awal hari ini. KRAAKKK…, tasku mendadak ditarik paksa dari belakang hingga robek. Aku kaget, ternyata ada orang di belakangku. Tapi aku tidak kaget siapa yang melakukannya.
“HAHAHA…, kau jahat sekali. Lihat! Tasnya menganga lebar,” ucap Adit sambil tertawa.
“HAHAHA…, ya kupikir tasnya kuat, ternyata sangat rapuh. Pasti tasnya bekas!” balas Dion mengejek.
Aku mau marah. Tapi aku tak berani. Lagi-lagi aku diam tak melawan. Bukan berarti aku tak pernah melawan. Pernah kulapor kepada wali kelasku, tapi tak ada yang terjadi. Hanya teguran ringan yang terus berulang sampai bosan. Kalau kulapor ke orang tua, takut semakin habis diriku. Jadi kubiarkan saja. Setelah itu ya mereka terus mem-bully tanpa henti. Aku yakin 99%, pulang sekolah sudah ada eksperimen gila yang menantiku.
“Hei ikan teri!” teriak Dion berandal dengan soknya.
Tanpa aba-aba dia menarik kerahku dan mendorongku ke lantai halaman belakang sekolah. Kupikir Dion sendiri. Ternyata tidak. Adit datang dengan membawa tongkat baseball yang baru dia dapatkan dari orang tuanya. Hah? Apa ini eksperimennya? Ternyata aku dipukuli lagi. Setelah mereka puas bergilir memukuliku hingga mukaku bonyok, mereka lari meninggalkanku dan tertawa seolah-olah berhasil melakukan sesuatu yang luar biasa.
Aku pulang sekolah dengan membawa sekujur badan biru dan lebam yang baru kudapat. Yang benar saja. Sekujur tubuhku begitu berdenyut tiap harinya. Padahal lebam yang kemarin belum mereda, sudah dapat saja luka baru. Tak sanggup kubendung air mata ini. Isak tangis menemani sepanjang langkahku karena rasa sakit yang bergejolak ini. Mungkin setiap senti di jalan akan ada bekas tetes air mata.
“Kenapa lagi mukamu?” curiga ibu melihat mukaku yang terus membiru.
“Cuman main, gak sakit kok,” kataku sambil buru-buru ke kamar, takut ibu mendekati.
Aku mencampakkan tas dan berbaring di kasur. Kenapa aku begini? Tolol. Bego. Pengecut. Menyedihkan. Itu hal-hal yang terus kupikirkan setiap hari usai dipukuli. Seharusnya aku melawan saja. Toh kalau terluka pasti sama-sama terluka. Kalau aku diam saja berarti hanya aku yang terluka dan terus terluka.
GUBRAKKK!! Suara entakan keras terdengar begitu jelas. Kugenggam erat tongkat baseball yang menjadi alat untuk memukulku. Sambil menarik napas, aku mengayunkan tongkat tersebut berulang kali ke arah seseorang yang terbaring di lantai ketakutan. Sampai aku bosan, ayunan aku alihkan kepada orang satu lagi yang sedang diikat di tiang gawang.
Aku merasa lega dengan apa yang sedang terjadi. Lalu aku berlari jauh meninggalkan mereka. Saat lari dengan puasnya, tiba-tiba aku tersungkur dan tersentak.
Huft, cuman mimpi aneh. Ternyata benar, tidur sore itu berbahaya. Malah mimpi yang enggak-enggak jadinya.
Seperti biasa, malam hari hanya jeda waktu yang kupunya untuk gempuran tinju dan tunjang yang siap kuhadapi esok paginya. Namun anehnya, malam ini aku kepikiran dengan mimpi absurd tadi sore. Tiap aksi yang kulakukan di mimpi tampak nyata dan rinci. Kuulang semua adegan yang terjadi lalu kutuangkan kembali di buku. Seperti ada mukjizat yang datang menghampiri diriku.
Pagi hari. Waktu yang sangat amat ingin kuhindari. Aku kembali lagi ke sekolah yang inginnya bolos saja di benakku. Ya, meski begitu, aku bukan berandal seperti bajingan yang mem-bully-ku. Langkah demi langkah kuentakkan di trotoar sembari membaca apa yang sudah kutulis tadi malam. Fokus pada buku yang kubaca, sampai aku tak memperhatikan orang di sekelilingku. Di kelas pun, aku langsung meletakkan tas robekku di atas meja, bukan di belakang kursi atau di lantai, kemudian lanjut membaca.
“Pukul 07.29, dua orang yang kupukuli memasuki kelas dengan rusuh,” ucapku dari apa yang kubaca di dalam buku.
Teng…., teng…., terdengar suara besi beradu semakin keras dan mendekat. Ternyata itu Dion dan Adit sambil membawa tongkat baseball yang digunakannya untuk memukuliku tempo hari. Sontak aku kaget, dua orang ini masuk tepat pukul 07.29. Apakah ini nyata? Pesimis diriku. Tapi untuk memastikannya, aku kembali menyesuaikan bacaan dengan adegan saat ini.
“Dia mencoba memukulku dengan tongkat besinya itu,” bacaku lagi.
Tepat setelah kubaca kalimat tersebut, Adit mendekat dan mengangkat tongkat baseball-nya dan mengarahkannya kepadaku. Spontan kuangkat tasku dan kudorong ke arah datangnya tongkat tersebut. Tak diduga-duga, tongkat tergelincir dan mengarah ke kiri, mengenai mulut Dion.
“Aggrrrrhhh, sakit banget sumpah!” rintih Dion sambil memegang mulutnya yang berdarah.
“Eh, gigimu copot dua,” ucap Adit mendekati Dion dan melihat temannya yang kesakitan.
Aku tak menghiraukan apa yang terjadi pada mereka yang tengah sibuk mengurusi gigi yang terlepas. Benar saja, mereka pergi ke ruang perawatan dan membiarkanku. Mataku langsung beralih ke isi buku yang sama persis dengan apa yang barusan terjadi. Seolah-olah ini buku panduan yang siap kugunakan untuk menghajar kedua berandalan ini. Aku senang. Tanpa berpikir dua kali, aku mulai mempersiapkan diri untuk satu hari yang penuh aksi ini.
Pulangnya aku siap menghadapi mereka. Sesuai dengan alur yang ada di buku, kupastikan setiap langkah dan tindakanku pas tanpa meleset. Saat hendak mendekati gerbang, ada yang teriak serentak dengan nada emosi.
“Hei, sini kau!” panggil para pem-bully yang siap dihajar itu.
Sambil menggendong tas robekku yang mendadak berat ini, aku mendekat perlahan. Aku lihat raut kesal di wajah mereka karena gagal mem-bully-ku tadi pagi. Yah, wajar saja, naluri sialan mereka untuk mem-bully-ku tidak tertahankan. Mereka menyeretku ke lapangan dan hendak memukuliku. Dengan antisipasi dan persiapan matang berkat buku panduan, aku siap menghajar mereka saat ini juga.
Lempar bubuk cabai yang dibeli dari kantin ke wajah, pastikan tepat sasaran!
Lalu, layangkan tas ke arah kanan depan dengan kuat tepat ke arah wajah!
Ambil kamus tebal dari dalam tas dan pukul lehernya!
Rebut tongkat besi dari genggaman dan hajar satunya lagi!
Ketika letih mendera, keluarkan tali dan ikat satu di tiang!
Hajar. Hajar. Hajar yang lain sampai jera. Ketika sudah selesai, semua yang ada dalam buku sesuai dengan apa yang kulakukan. Kuperingati mereka untuk tidak lagi mem-bully. Kalau tidak, akan kuhabisi seperti tadi.
“Kalo kalian ganggu aku lagi, akan kubalas sampai puas. Akan kucabut gigi kalian satu persatu!” gertakku sambil mengarahkan tongkat ke mereka.
Setelah itu aku lari meninggalkan mereka. Sebagai langkah akhir yang harus kulalui. Aku bersyukur mengalami mimpi aneh itu kemarin. Tapi, aku juga takut kalau itu hanya mimpi konyol. Yah, setidaknya sakitku terbalaskan.
Tiba-tiba, aku tersungkur dan terbangun dari tidur.