Hits: 42

Rahmat Harun Harahap

“Depresi bipolar membuat hidupku benar-benar kacau. Tapi hari ini aku bangga. Aku adalah contoh nyata bahwa seseorang bisa hidup, mencintai, dan baik-baik saja meski mengalami bipolar disorder apabila mendapat edukasi, duukungan dan perawatan yang dibutuhkan.” –  Hal 130.

Pijar, Medan. Kesehatan mental merupakan salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan. Seperti halnya kesehatan fisik, kesehatan mental juga tidak boleh luput dari kepedulian dan kesadaran kita.

Dewasa ini, kampanye kesadaran kesehatan mental (campaign mental health awareness) sudah marak berseliweran di media sosial maupun dalam bentuk aksi nyata di keseharian. Terlebih semenjak pandemi Covid19 berlalu, banyak orang yang mulai sadar akan pentingnya kesehatan mental.

Namun, masih banyak stigma negatif yang diterima oleh para penyintas kesehatan mental. Hal ini disebabkan oleh banyaknya orang yang masih belum mengenal lebih dekat tentang apa yang dirasakan oleh para penyintas kesehatan mental.

Ada banyak macam penyakit mental seperti skizofrenia, bipolar disorder, gangguan psikotik, Obsessive-Compulsive Disorder (OCD), Sindrom Tourette, Stres Pasca-Trauma (PTSD), Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), gangguan kecemasan (anxiety disorder), dan masih banyak lagi.

Kali ini kita akan membahas tentang bipolar disorder berdasarkan buku Anomali: Memoir Seorang Bipolar. Buku ini merupakan karya Elizabeth Novaria atau yang lebih sering disapa dengan Elnov. Ia juga merupakan salah satu dari penyintas bipolar sejak didiagnosis pada tanggal 21 Juli 2016.

Bipolar disorder atau gangguan bipolar dikenal juga sebagai gangguan suasana hati (mood). Penyintas bipolar ini disebut juga dengan Orang Dengan Bipolar (ODB). ODB sering merasakan mood swing atau perubahan suasana hati yang mengganggu aktivitas dan bisa mendatangkan masalah apabila tidak mendapatkan penanganan.

Pada umumnya, seseorang merasakan sedih atau senang karena suatu sebab. Misalnya, sedih ketika kehilangan sesuatu atau kecewa. Adapun seseorang dapat bersemangat karena sesuatu yang membuatnya senang.

Namun, bagi ODB, perubahan mood itu bukan rasa sedih dan senang yang biasa dirasakan orang, melainkan sebagai efek adanya kelainan pada otak. Kelainan tersebut adalah ketidakseimbangan neutrotransmiter, suatu zat di otak yang mengatur suasana hati.

Mood swing ini dirasakan begitu sering dan tidak jelas penyebabnya. Tidak jelasnya karena seringnya perasaan sedih dan senang itu tidak membuat ODB menangis atau bertindak tidak terkontrol. Efeknya, ODB terkesan “lebay”, padahal jelas tidak. ODB tidak bisa mengendalikan hal tersebut dan apabila ditahan maka suatu saat mereka akan mengalami tantrum.

Apabila rasa bersemangat yang dirasakannya lebih dominan, maka dapat dikatakan ODB sedang mengalami episode mania atau hipomania, yakni tingkatan yang lebih rendah dari mania. Reaksi dari mania yang paling kelihatan adalah marah, tetapi tidak identik dengan kemarahan saja. Seorang ODB juga bisa dikatakan sedang mengalami episode mania ketika dia sedang sangat berenergi dan bersemangat.

Apabila suasana hati itu tidak dikendalikan, maka hal tersebutw bisa mendatangkan masalah dalam hidupnya. Misalnya ketika episode mania, ODB memiliki ide-ide cemerlang dan mengambil sebuah keputusan yang tanpa disadarinya akan sulit untuk diwujudkan. Pada saat efek mania itu hilang dan mood-nya beralih ke episode depresi, ODB akan kehilangan semangat untuk mengerjakannya. Keputusan yang diambilnya itu pun akan mendatangkan masalah baginya.

Sebaliknya, saat kesedihan yang lebih dominan, ODB dikatakan sedang mengalami episode depresi. Sama halnya dengan mania, jika suasana hati itu tidak dikendalikan maka juga bisa berakibat fatal. Yang terburuk ketika menderita depresi adalah kehilangan semangat hidup, bahkan tidak sedikit dari ODB yang memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.

Setiap episode dapat berlangsung lebih dari tiga hari, bahkan ada yang hingga berbulan-bulan. Secara medis, pada saat seorang ODB mengalami mania, neurotransmiter yang mengantarkan hormon serotonin dan dopamin di otak meningkat. Sebaliknya, ketika mengalami depresi, neurotransmiter mengantarkan lebih sedikit hormon serotonin dan dopamin ke otak.

Setelah membaca buku ini, banyak wawasan (insight) yang kita ketahui tentang hal-hal yang dialami penyintas bipolar. Kita sebagai sesama manusia hendaknya membersamai penyintas bipolar dengan memberi dukungan penuh kepada mereka. Bagi pengasuh (caregiver) yang dengan senang hati membantu para penyintas  tetaplah menjadi support system bagi para penyintas. Dengan begitu, kamu telah berjasa sebagai penyelamat jiwa mereka.

(Redaktur Tulisan: Rani Sakraloi)

Leave a comment