Hits: 56
Miftahul Jannah Sima
Brakk! Brakk!
Suara pintu digedor-gedor membahana di ruang tamu. Pelaku terus menghantam dinding kayu itu, meski sang pintu tidak tahu apa salahnya. Dua manusia yang jarang akur inilah yang bermasalah.
“Alena, buka pintunya!! Ini bukan kamarmu aja yah!” ucap seorang gadis yang masih mengenakan handuk.
Tak lama, terdengar suara pintu terbuka. Muncul seorang gadis yang lebih tua dari gadis sebelumnya, namun dengan tinggi badan yang lebih mungil.
“Bisa ga, ngomong tuh yang bagus, ga usah teriak-teriak. Suka kali nyari masalah”
“Kau yang nyari masalah duluan,” Dengan hentakan kaki gadis berhanduk itu pun masuk ke kamar dan mengunci pintu dengan kasar.
Pagi yang indah nan cerah seakan tak membawa suasana ceria di rumah itu. Dua orang yang memiliki kepribadian sama dalam hal keegoisan. Sama-sama merasa benar jika bertengkar, dan sama-sama merasa tersakiti jika dimarahi orang tua mereka.
Mia keluar dari kamar dan bersiap-siap hendak pergi bersama teman-temannya menggunakan baju berwarna putih dan tak lupa outer berwarna coklatnya. Motor sudah dinyalakannya, namun suara di belakangnya menginterupsi.
“Enak aja kau makek-makek bajuku. Kan udah kubilang, jangan makek punya orang. Buka itu sekarang!” Alena sudah hendak menarik paksa sang adik.
“Aku kan pinjem. Lagian baju jelek aja”
“Heh, orang kalau minjem itu ngomong, kalau diem-diem itu maling namanya.”
“Kalian ga malu? Pagi-pagi udah ribut,” ucap sang ibu sambil membawa pakaian yang hendak dijemurnya. Matahari yang terik sayang jika disia-siakan.
“Mia loh, Mak, sukak kali makai barang orang, nanti siap dipakainya habis itu dibuangnya sembarangan.”
“Macam kau enggak aja,” Mia sudah mematikan motornya dan berjalan masuk ke rumah.
“Mia, Alena itu kakakmu,” tegur ibunya sembari menjemurkan pakaian sang ayah. Sulit sekali rasanya mendengar sebutan kakak dari bibir Mia.
“Tapi tingkahnya ga kayak seorang kakak,” Mia berjalan dengan hentakan kaki yang diperjelasnya. Masuk ke kamar dengan iringan suara pintu yang dibanting. Lagi-lagi, pintu itu terzolimi.
“Mbok yah malu loh kalian itu. Udah pada dewasa, malu mamak pagi-pagi kalian udah buat konser, mending kalau suaranya merdu,”
Malamnya, tampak Alena sedang berkemas-kemas. Dua hari lagi ia akan ke Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikannya. Seminggu yang lalu ia mendapat kabar baik dengan lulus di kampus idamannya. Setelah dirasanya cukup berkemas, Alena pun bergabung dengan Mia di tempat tidur mereka.
Karena sudah mengantuk, Alena pun mematikan lampu kamar. “Aku ga mau mati lampu, belum mau tidur aku loh,” protes Mia.
“Aku ga bisa tidur kalau lampu terang. Kalau mau begadang, yah begadang sendiri, jangan ngajak-ngajak orang,”
“Idupin ga, kau kalau mau tidur, tidur aja sendiri, jangan ngajak-ngajak orang”. Namun, Alena malah berjalan santai ke tempat tidur. Tiba-tiba sebuah bantal sudah mendarat di kepala Alena tanpa sempat Alena hindari. Mia pun tak mau kalah, ia langsung melayangkan cap 5 jarinya di paha Alena. Dalam diam, Alena melayangkan cubitan ke lengan Mia.
“Sakit loh,” dengan sigap Mia membalas mencubit Alena. Kini cubitan itu mendarat di perut Alena. Mereka berdua benar-benar lemah dengan cubitan di perut. Perkelahian sengit terus berlanjut dalam keadaan remang-remang. Suara berisik pergumulan mereka terdengar hingga ke kamar orang tuanya.
“Kalian mau diam, atau tidur di luar ha?” suara ayah mereka terdengar menggelegar dari luar kamar. Refleks Mia dan Alena terdiam, bahkan mereka menahan nafas. Jika ayah mereka yang sudah marah, meraka tak pernah melawan.
Dalam kesunyian itu, Alena mengelus-elus perut dan lengannya, begitu pun Mia. Kemudian lampu dihidupkan Mia. “Wih, tengok, Len, bekas loh cubitanmu!”
“Kau tengok ini tanganku, tiga jari, tiga jari loh,” ucap Alena sambil menunjukkan lengannya yang kemerahan.
“Ganas kali kau Mi, gila, sih. Luar biasa kali”
“Kau pun ganas,”
Mereka terdiam lalu tertawa. Sama-sama mentertawakan bagaimana ganasnya serangan mereka.
Mia bergabung ke tempat tidur. Mereka masih tertawa sambil menceritakan bagaimana wajah kesakitan mereka saat bertengkar tadi.
“Kau kenapa ga bisa akur samaku?” tanya Alena saat mereka sudah selesai tertawa.
“Kau yang susah diajak akur”
“Aku dah coba baik-baik samamu. Tapi kau kalau ngomong suka ngegas, aku pun kalau punya apa-apa ga pernah kupakai sendiri, pasti kau kubelikkan juga. Tapi, tetap aja, kau suka pake punyaku.”
“Yah, aku ga tau. Enak aja makai punyamu. Sebenarnya samamu itu enak, tapi kau itu cerewet, malas aku jadinya,” Alena hanya terdiam mendengar jawaban Mia.
Hari keberangkatan Alena pun tiba. Alena diantar orang tuanya ke bandara. Mia sendiri tidak mau ikut, dia malah sibuk mencuci bajunya. Alena sebenarnya ingin Mia ikut mengantar dirinya. Karena ini perjalanan pertama Alena yang harus meninggalkan keluarganya. Alena pikir, setelah mereka berbicara kemarin akan membuat Mia sadar, bahwa sebenarnya Alena ingin bisa selalu bersahabat dengan Mia.
Sedangkan Mia yang tinggal di rumah sedang menangis. Alasan dia tak ingin ikut ke bandara karena ia takut tidak sanggup menahan air matanya. Jika jujur, sebenarnya Mia tidak rela Alena pergi, bagaimanapun selama ini Alena lah yang selalu ada untuknya. Mia juga tak lupa, bagaimana Alena membantunya mengerjakan tugasnya hingga malam, dan paginya Alena di hukum karena tidak sempat mengerjakan tugasnya sendiri. Karena hal itu, Mia harus membayar dengan merelakan lampu kamar dimatikan di jam 10 malam selama seminggu.
Mia mengelap air matanya. Di peluknya baju putih Alena. Kata Alena Mia boleh memakainya, asalkan tidak merusaknya. Sebenarnya dia amat menyayangi kakaknya. Namun, karena Alena yang suka mengatur Mia, membuat Mia kadang jengah. Terlebih lagi Alena yang suka membandingkan dirinya yang selalu mendapatkan prestasi lebih baik dari Mia. Tapi Alena juga tempat yang nyaman untuknya bercerita.
Mia terus terlarut dengan kenangannya bersama Alena. Mia semakin larut dengan pikirannya hingga tanpa ia sadari mobil orang tuanya sudah terparkir di garasi.
Sang ibu yang masuk ke rumah melihat Mia sedang memeluk baju Alena di sofa membuatnya hanya tersenyum. Kedua putrinya menangis karena alasan yang sama, namun sama-sama terlalu egois untuk mengakuinya. “Baru ditinggal berapa menit udah kangen yah?”
Mia yang kaget mendengar suara ibunya dengan cepat menghapus air matanya. “Mana ada aku kangen, orang aku mau nyuci baju kok. Cuman capek aja, makanya duduk sebentar”
“Tidak kangen, tapi kok sampe nangis sambil meluk-meluk baju kakaknya?”
“Enggak loh, Mak. Ini mau nyuci beneran. Mana ada meluk-meluk baju”
“Ah, Mamak kasih tau Alena nanti waktu nelpon”
“Ish, jangan, Mak. Mamak ini kasih kabar hoaks nanti”
Sang ibu hanya tersenyum dan berlalu. Sedangkan Mia mengekori ibunya dengan menjelaskan bahwa ia hanya ingin mencuci. Sungguh bagaimanapun Mia tidak ingin Alena tau apa yang dilakukannya tadi. Itu memalukan menurutnya.
“Ga apa-apa, Mia. Sayang sama kakaknya itu wajar,” ucap sang ayah akhirnya.
“Aku kadang-kadang aja kok sayangnya. Soalnya dia baiknya juga kadang-kadang,” jawab Mia sembari mencoba menghilangkan sisa air matanya.
Ayah dan ibunya hanya tersenyum. Kemudian memberikan bungkusan kepada Mia. “Ini titipan dari kakakmu”. Menerima bungkusan itu, membuat Mia semakin tidak bisa menahan air matanya. Bahkan saat pergi, Alena tak lupa membelikan barang yang sudah lama diinginkannya. Dalam hati Mia sangat menyayangi kakaknya. Kakak cerewet yang akan dirindukannya. Ia semakin sadar, jika mereka sebenarnya adik kakak yang saling menyayangi.
“Bagaimanapun kesalnya Mia sama kakak, Alena itu tetap kakak Mia. Kalian harus akur, karena kalau ayah dan ibu sudah tiada, hanya kakakmu yang bisa menjagamu, Mia,” ucap ibu sembari mengelus kepala Mia.
Mia hanya menangis, menyesal tidak sempat mengucapkan kata perpisahan secara langsung kepada kakaknya.