Hits: 110

Meylinda Pangestika Gunawan

Pijar, Medan. Bagi sebagian orang, inner child merupakan istilah yang asing bagi mereka. Jika diartikan ke Bahasa Indonesia, inner child artinya jiwa anak kecil.  Awamnya istilah inner child dan kurangnya pemahaman masyarakat, membuat Satu Persen yang berkolaborasi bersama HOPE Psychology Center, menyelenggarakan Webinar dengan  topik “Berdamai dengan Inner Child”. Webinar ini dilaksanakan pada Senin (24/05), yang berlangsung melalui platform Youtube dan Zoom.

Webinar kolaborasi ini mengundang pemateri Teresa Indira Andani yang merupakan mentor Satu Persen dan Yoana Theolia Angie Yessica sebagai perwakilan sekaligus pendiri dari HOPE Psychology Center.

Dalam mengawali sesinya, Teresa Indira menjelaskan perbedaan antara inner child dan inner adult, “Inner child memiliki ciri being, feeling, and experiencing. Sedangkan inner adult memiliki ciri doing, thinking, and acting.

Inner child adalah ekspresi diri di masa lalu, yang berasal dari pengalaman hidup mulai dari masa kanak-kanak hingga setelahnya. Inner child merupakan kepribadian yang terbentuk dari masa kecil dan dapat berpengaruh terhadap perkembangan dan pertumbuhan.

Inner child terbentuk pada usia sekitar 5-7 tahun. Inner child ada karena pengalaman buruk yang diterima atau dirasakan oleh seseorang hingga membekas dan memengaruhi proses pendewasaan seseorang atau yang biasa disebut dengan wounded inner child.

Ketika inner child kita terluka, kita akan terus mengalami perasaan hampa, hubungan yang tidak sehat (romantis, profesional, keluarga), memicu inner critics dan reinforcement dari keyakinan yang tidak benar. “Resiliensi merupakan kemampuan seseorang yang berusaha untuk bangkit dari keterpurukan,” jelas Yoana Theolia tentang bagaimana menghadapi inner child.

Pemaparan materi mengenai arti resiliensi oleh Yoana Theolia (Sumber Foto : Dokumentasi Pribadi)

Untuk menyembuhkan inner child, langkah pertama yang harus  dilakukan adalah menerima. Menerima bahwa inner child terluka dan membutuhkan kita sebagai penyembuhnya. Kebanyakan orang memilih mengabaikan kondisi inner child mereka, padahal hidup akan lebih terasa luas apabila kita menerima diri kita dan mengetahui sejelasnya diri kita.

Resilien terhadap inner child yang terluka amat sangat diperlukan. Hal ini karena menerima, merangkul, dan mengelola inner child akan membantu kehidupan kita saat ini dan ke depannya. Menerima segala masa lalu kita, karena mereka merupakan bagian dari kita hingga kita dapat sampai pada titik ini.

Setelah kita menerima, lalu kita mengenali inner child kita. Kita berkenalan dengan luka yang membentuk inner child kita dengan menerima dan memafkan segala bentuk penyebab dari luka tersebut. Kita apresiasi diri kita karena kita berhasil melalui luka yang ada.

Karena kita sudah tahu apa yang bervariatif dari inner child, kita lanjutkan dengan reparenting inner child. Kita peluk dan ajarkan kembali inner child untuk membantu kita menjadi pribadi yang lebih baik. Hal ini dapat kita lakukan melalui arahan profesional atau bercerita dengan teman terdekat yang memang selalu ada untuk kita. Setiap manusia memiliki orang terdekat, hanya saja mereka menolak kehadirannya karena takut akan dikecewakan.

Kita perlu melangkah untuk melakukan perubahan walaupun langkah yang kita lakukan kecil.  Apresiasi segala hal yang ada, baik itu berupa kegagalan atau keberhasilan. Karena hal tersebut merupakan hasil dari diri kita yang sudah berusaha dengan maksimal. Memeluk diri dan mengapresiasi diri merupakan langkah tepat untuk  belajar menerima kekurangan yang ada.

(Editor: Widya Tri Utami)

Leave a comment