Hits: 15

Hidayat Sikumbang

Jae, masih menyimpan dendam terhadap kematian ibunya. Ia sama sekali, tak menyangka kalau Suku Acheolus, suku yang menggunakan dual sword tega melakukan ini. Kerajaan ingin membumi-hanguskan seluruh warga yang menggunakan kapak dan menegakkan bendera perang. Mereka percaya terhadap Alexandria, peramal dari suku Amarylis. Alexandria pernah bermimpi kalau desa mereka akan dikutuk oleh dewa karena ibu Jae telah melanggar sumpah. Ibu Jae kawin dengan Suku Aegyptus, pengguna kapak dan ini merupakan aib, kata sang cenayang. Karena memang si pengguna pedang ganda atau dual sword dan suku kapak tak pernah akur satu sama lain.

Rumah mereka dibakar. Perang tak bisa lagi dielakkan. Suku Aegyptus pun punah, mereka kalah perang. Tak ada lagi orang yang berasal dari suku Aegyptus kecuali dia sendiri. Hanya Jae lah satu-satunya orang yang berasal dari suku Aegyptus.

Akibat terlalu lelah dan masih shok, Jae pingsan di sebuah hutan. Ia diselamatkan oleh pak tua yang tinggal di dekat sana. Ia dirawat hingga sembuh. Pak tua dengan penuh kasih sayang memberikan pertolongan utama pada Jae. Hingga pada suatu sadar Jae terhenyak. Ia terkejut, bagaimana mungkin ia masih hidup, padahal ia telah berharap untuk mati agar bisa berkumpul kembali dengan keluarganya.

“Hey, pak tua mengapa kau menolongku?” tanya Jae ringkih.

“Aku melihat kau pingsan di tengah hutan ketika aku akan mengambil kayu bakar. Aku melihat kalungmu, kau pasti dari suku Aegyptus,” jawab pak tua itu.

“Tahu apa kau tentang Aegyptus?”

“Kalung kita sama nak.”

Pak tua itu menunjukkan kalung suku Aegyptus miliknya. “Aku adalah Abdias, aku adalah pemimpin perang pada zaman ketika kau belum lahir. Itu berpuluh-puluh tahun yang lalu,nak.”

“Aku cukup kenal dengan nama Abdias. Di desaku, kau dianggap telah mati. Kaum Acheolus menganggap kau adalah penjahat perang. Bukankah ia telah mati?” gumamku dalam hati.

“Kenapa kau termenung? Kagetkah? Ya, Abdias dari suku Aegyptus masih hidup,  nak. Ia berdiri di depanmu. Kau lihat kapak-kapak itu? Tapi tunggu dulu, mengapa kau bisa mengatakan kalau kau tinggal bersama dengan Acheolus? Ini minumlah sedikit, supaya badanmu terasa segar.”

Jae menoleh ke sekeliling, terlihat seorang anak gadis yang sedang merapikan meja.

“Siapa dia?”

“Gadis remaja itu? Dia anakku, ibunya wafat ketika perang bersamaku. Istriku tewas di tangan Raja dari Amarylis ketujuh. Padahal, kemampuan medis istriku sangat mengagumkan,” jawab Abdias sambil menyapu debu yang mulai menumpuk di atas foto istrinya.

“Aku lahir dari keluarga yang berasal dari dua suku. Ibuku menikah dengan lelaki yang berasal dari suku Aegyptus. Kebohongan ayahku terbongkar oleh karena Alexandria, si penyihir jalang itu. Percayalah, suatu saat nanti aku akan membunuhnya,” Jae mengepalkan tangannya. Ia kini telah ingat apa-apa yang telah terjadi padanya.

“Sudikah Tuan menjadi guruku untuk membalaskan dendamku?” Jae bertekuk lutut, posisinya kini mengarah tepat di hadapan pria tua itu.

Abdias pun menjadi ayah angkat Jae sekaligus guru Jae. Jae tak menyangka bahwa ia akan bertemu seorang legenda dari sukunya sendiri. Kemampuan Jae meningkat signifikan, dari tahun ke tahun, Jae tumbuh menjadi seorang pengguna kapak dan pengguna dual sword dari suku Aegyptus yang handal.  Ia berlatih bersama-sama dengan Adelpha, puteri Abdias.

Hari ini, tepat di usia Jae ke-20, ia memohon izin untuk mengembara. Ia ingin menemui Alexandria, awalnya Abdias tak memberikan izin. Namun setelah menceritakan kembali apa yang terjadi terhadap keluarganya, Abdias pun memberi izin sekaligus ikut berperang melawan Jae.

Tepat di bawah kuil kerajaan Amarylis, mereka mulai masuk. Kabar kalau ada penyelinap dengan menggunakan kapak mengejutkan Alexandria. Satu persatu musuh menggunakan panah berhasil mereka bunuh. Dari lantai satu, ke lantai dua, hingga pada akhirnya mereka bertemu dengan Alexandria.

“Bagaimana mungkin ada lagi pengguna kapak di muka bumi ini.”

“Aku tak akan melupakan apa yang kau lakukan terhadap ibu dan ayahku,” jawab Jae pada Alexandria seraya menunjuk dengan pedang. “Jaga omonganmu, anak muda. Kalau kau seorang kesatria, bukankah tidak sopan menunjuk orang dengan pedangmu.”

“Hey Penyihir Tua. Kau harus menanggung semua perbuatanmu. Ramalanmu tentang kutukan dewa itu kebohongan. Aku tahu kau melakukan ini semua karena kebencianmu terhadap kaum kami. Kau pasti tak asing lagi dengan nama Abdias. Ya penjahat perang dari suku Aegyptus dan pembunuh suamimu itu kini berdiri tepat di depanmu. Kau melakukan semua ini karena dendam, Alexandria.”

“Tidak aku bukan membunuh orangtuamu karena kebencian. Dewalah yang membisikkan ini semua lewat mimpiku.”

“Bukankah Dewa mencintai perbedaan. Dia yang menciptakan ini. Bukankah setiap raja dan pemimpin dari negeri masing-masing itu diwajibkan untuk mengasihi dan menyayangi rakyatnya? Namun mengapa Ibu dan Ayah Jae dibunuh? Mengapa perang masih ada?” sambung Adelpha, putri Abdias yang sedari tadi berdiri di belakang Jae bersama dengan Ayahnya.

“Diam kalian bocah, aku ingat. Kau pasti Jae. Si bocah haram itu. Dan kau pria tua. Kau seharusnya sudah lama mati. Jadi apa yang ingin kalian lakukan sekarang? Ayo bunuh aku, hahahaha.”

Penyihir tersebut pun menaiki sapu terbangnya. Perang antara Aegyptus dan kepala kerajaan Amyrilis pun tak terelakkan lagi. Kekuatan sihir dari Alexandria tak mampu menaklukan mereka bertiga. Beberapa kali, hantaman sapu terbang dan roh gaib menghantui mereka. Tetapi kapak suci milik Jae yang diwariskan oleh ayah angkatnya mampu menghabisi semua. Hingga pada akhirnya pertarungan kali ini berhasil dimenangi mereka bertiga. Hantaman kapak suci tersebut menembus kepala penyihir renta itu. Darah berceceran.

Kabar kematian Alexandria pun sampai ke telinga pemerintah Acheolus. Tak salah lagi, suku Aegyptus masih ada, begitulah pikir raja mereka. Hingga pada akhirnya, raja pun memerintahkan pasukannya untuk mencari dan menangkap mereka bertiga. Dua hari kemudian, Adelpha dan Abdias ditangkap lebih dahulu. Saat Jae sedang berburu untuk makan malam mereka. Jae yakin, ini adalah perbuatan Raja dari suku Acheolus. Ia pun menyiapkan rencana untuk kembali ke desanya dan mencari Abdias.

Tepat tengah malam ia mulai berangkat. Satu persatu pengawal istana ia selesaikan. Raja dari Acheolus pun mulai cemas. Bagaimana mungkin puluhan pengawal istana takluk dengan pemuda seperti itu.

“Kerahkan semua pasukan, jangan mau kalah dengan pemberontak seperti itu,” Abdias dan anaknya pun takjub dengan keberanian Jae. Ia melihat sekeliling, seluruh pasukan tak ada lagi di sini. Sayangnya tak ada alat yang bisa dijadikan bahan untuk membuka kunci penjaranya.

“Tunggu Ayah, aku sepertinya masih menyimpan pedang milik Jae satu di dalam tasku. Jae pernah bilang agar aku menyimpan ini untuk berjaga-jaga. Meskipun aku belum pandai memakainya,”

Mereka pun mulai mencoba memukul dengan menggunakan pedang, namun tak berhasil.

“Sepertinya kau masih harus belajar lagi dengan ini, Adelpha,” ucap Jae yang tiba-tiba datang. Mereka pun bebas, namun di hadapan mereka ada belasan pengawal istana yang menyergap. Satu persatu mereka bantai. Hingga akhirnya mereka pun berhasil menghadap raja dari suku acheolus. “Bagaimana kalian biasa menghabisi mereka semua? Dan kau, penghianat desa, apa yang ingin kau lakukan di sini. Berkat ulah ibu dan ayahmu, desa kita dikutuk oleh dewa,”

“Jadi kau masih percaya Alexandria?”

“Bagaimana mungkin aku tak mempercayainya, berkat ulah ibu dan ayahmu, negeri kita semakin terbelakang. Itu semua karena kutukan dewa. Kemiskinan di mana-mana. Dewa semakin membenci kita,”

“Maaf menyela omongan kalian, bukan aku ingin ikut campur. Tapi tindakanmu terhadap Alexandria sudah semakin berlebihan. Kau tak boleh begitu saja percaya pada ramalannya. Bukankah menghabisi ratusan nyawa rakyat Aegyptus membuatmu merasa berdosa?”

“Tentu saja tidak, karena kalian pun harusnya mati.”

Mereka pun berkelahi. Abdias pun berkelahi dengan tangan kosong dengan raja dual sword. Tak mau menunggu lagi, Adelpha dan Jae pun ikut membantu. Keadaan semakin memojokkan sang raja. Ketika Adelpha hendak membunuh sang raja. Jae malah menyuruhnya berhenti.

“Jangan kau bunuh dia, aku tak ingin dia langsung ke neraka. Aku ingin ia menyesali perbuatannya.”

“Tolong, tolong jangan bunuh aku. Aku menyesal. Aku telah mempercayai peramal bodoh itu. Aku akan memberikan semua yang kau mau. Bahkan kau boleh menggantikanku sebagai raja di sini. Aku mohon maaf, nak. Lakukanlah apa yang kau mau asal kan kau jangan membunuh aku,”

“Aku mendukungmu, kalau kau menjadi raja nantinya, Jae,” ucap Abdias.

“Silakan, nak. Silakan. Tapi tolong jangan bunuh aku,”

Mulai dari sinilah, Jae menjadi raja di desa asalnya. Raja Acheolus pun ditangkap dan ditahan seumur hidup. Sedangkan Adelpha kini telah menjadi istri dari Jae. Banyak warga yang tak menyangka kalau ternyata ternyata legenda tentang Abdias yang katanya penjahat perang ternyata masih ada, sedangkan Jae adalah satu-satunya pemimpin negeri yang berhasil menjadi raja yang dilahirkan dari dua suku berbeda.

Leave a comment