Hits: 27

Nurul Khairiyah Matondang

Hari yang cerah, mentari pagi telah menampakkan sinarnya. Para penjara suci sedang menikmati hari Jum’at mereka dengan berbagai kegiatan. Ali tampak sedang termenung ketika Arif tiba-tiba mengejutkannya.

“Hei! Sendirian aja. Nggak olahraga?” Arif mengejutkannya.

“Hmm nggak. Ana lagi menikmati mentari pagi aja,” jawab Ali acuh.

“Minggu depan ada lomba pidato 3 bahasa loh. Ente ikut ya. Ana tahu ente suka pidato. Masalah pendaftaran udah beres. Sekarang tinggal persipan ente maju ke atas panggung,” Arif memberitahu.

What? Gila ente. Belum izin ke orangnya sudah main daftar saja” Ali sedikit terkejut.

“Pokoknya sekarang ente sudah terdaftar dan siap-siap menjadi pemenang. Ok!” Arif meninggalkannya sebelum Ali menyelutuk.

***

Waktu terus berjalan meninggalkan mereka yang terkalahkan oleh waktu. Ali masih belum terfikir akan judul pidato yang akan ditampilkannya.

“Rif, gimana ini? Ana belum terpikir akan judul pidatonya. Membanyangkan saja belum. Huft!” Ali mengeluh.

“Tenang. Coba lihat anak-anak,” Arif menunjuk para santri yang sedang berlari-lari menuju masjid. “Ente bisa bikin judul tentang… Anak baru misalnya… atau ha!” Mata Arif berbinar “Peran pesantren terhadap kemajuan pendidikan,” Arif memberitahu.

“Eh. Bagus juga ide ente. Hmmm Rif,” Ali terdiam.

“Ya?”

Ana.. ana ingin sekali menang lomba pidato ini. Ente tahu? Suatu kebanggaan bisa menang lomba ini. Setidaknya ana bisa menunjukkan ke orang tua bahwa ana bisa” Ali berharap.

“Kamu pasti bisa. Aku dukung,” Arif menepuk-nepuk bahu Ali dan menyemangatinya.

Dua hari menuju grand final, Ali semakin membara dan ambisius untuk bisa menang. Misinya hanya satu: Memberikan penghargaan itu kepada kedua orang tuanya.

Penghujung weekend ala pesantren, Ali ingin menghabiskan waktunya untuk berolahraga. Untuk menghilangkan kepenatan selama seminggu beraktivitas.

“Li, lomba lari yok! Sekalian uji kemampuan,” tantang Raka temannya.

“Oke. Siapa takut!” Ali menerima tantangan Raka.

“Siapa yang kalah traktir makan.oke!”

Deal!” Ali bersemangat.

“1…2…3!” Raka telah maju 2 langkah.

“Tunggu!” Ali mencegah.

“Ada apa? Takut kalah? Ha?” Raka meledek.

“Sepatuku koyak. Tunggu sebentar aku ganti sepatu dulu. 2 menit tidak lebih” Ali berlari mengganti sepatu.

“Hati-hati! Awas jatuh Li! Ente lari seperti kuda!” jerit Raka mengingatkan.

Tiba-tiba…

Braakkkkkk!!!!

“Hei tolong! Ada yang jatuh!” Salah satu santri meminta tolong.

Seketika para santri mengerubungi siapa yang jatuh sampai mencuri perhatian penduduk pesantren.

“Ali! Astagfirullah! Tolong.. Tolong bantu angkat ke klinik!” Seketika Arif tiba-tiba datang dan memberi perintah para kerumunan.

Ali sudah tak sadarkan diri ketika Arif meminta tolong untuk mengangkatnya.

***

5 jam kemudian Ali baru sadarkan diri. Orang tua dan sanak saudara sudah menuggu 2 jam setelah ia dibawa ke klinik pesantren. Mama Ali paling histeris melihat anaknya terbaring tak sadarkan diri.

“Mama…” Ali membuka mata perlahan dan meringis kesakitan. “Aku dimana?”

“Nak… ini mama,” mama Ali mulai menitikkan air mata.

“Ali dimana?” ia mulai bertanya.

“Kamu di klinik sayang… kamu jatuh dari asramamu tadi sore…”ujar mama tersayat memberitahu.

Ali melihat ke sekeliling ruangan dan tidak mendapati Arif, sahabatnya. Hanya para santri yang ingin menjenguknya yang terlihat dan mencari tahu kenapa Ali bisa jatuh dari asrama.

“Arif mana?” Ali bertanya.

“Ini.. ini Arif” Mama menarik tangan Arif dan membawanya kepada Ali.

“Ini ana, Arif, Li” Arif ingin menangis melihat sahabatnya terbaring lemah tak berdaya.

Ana kenapa Rif?”

Ente… kaki ente patah Li. Patah kayu,” Arif tak ingin Ali semakin sedih dan ingin mencoba menghiburnya.

Nggak masalah kok. Sebentar lagi ente sembuh. Kita sama-sama berdo’a ya. Oh iya, dua hari lagi kamu lomba pidato kan? Semangat! Aku yakin kamu pasti menang. Kan sudah aku bantu latihan. Makanya kamu harus lekas sembuh,” Arif terbata-bata dan mencoba tersenyum menyemangati Ali.

Ali menitikkan air mata dan semakin deras. Ia tak tahan mendengar perkataan sahabatnya dan tentang misi. Ya! Ia ingat akan misinya untuk menang lomba pidato ini.

“Rif… Aku ingin sekali menang lomba ini,” Ali berkata lirih.

“Iya Li…Iya. Ente pasti bisa,” Arif semakin tersayat.

“Tapi.. Aku tak mungkin bisa berdiri di atas panggung, di depan orang banyak. Aku tak bisa berdiri. Kau bisa lihat? Kakiku diperban.” Semua terdiam dan hanya ada suara tangis yang terdengar.

“Rif, aku… ingin minta satu hal”

“Apa Li? Katakan apa yang kau mau,” Arif siap menerima.

“Aku mau ente yang berdiri diatas panggung menggantikan aku,” aku mau ente menang… aku percaya ente pasti bisa. Raihlah kemenangan demi sebuah cita-cita” Ali meminta.

“Tapi…”

“ssshhhtt! Dua hari lagi dan kau harus mempersiapkan dari sekarang. Aku yakin kamu pasti bisa”

“Baiklah. Aku akan lakukan ini demi sahabatku”

Merekapun tersenyum dalam duka yang tersimpan harapan untuk sebuah misi.

***

Hari yang ditunggu pun tiba. Kini Arif akan menampilkan penampilan terbaiknya untuk Ali. Demi sebuah percapian sahabat yang tertunda.

Ente Arif? Menggantikan Ali?” Kata salah seorang panitia.

“Ya” kata Arif tegas. Nyali Arif menciut saat melihat banyak peserta.

Ente nomor urut 3. Dan setelah pidato jangan bubar dulu, karena ada pembagian hadiah,” panitia memberitahu.

“Terima kasih akhi

“Sama-sama”

Setelah semua peserta maju untuk menujukkan performa terbaik mereka, saatnya pengumuman pemenang.

“Untuk pemenang ketiga… kita panggilkan… Reza Andira”

“Selanjutnya untuk pemenang kedua… kita panggilkan… M. Fadhli”

“Inilah yang paling ditunggu, untuk pemenang pertama… kita panggilkan…”

Hening. Yang terdengar hanyalah suara detak jantung masing-masing peserta.

“Arif  Iskandar Muda” Aula pun dipenuhi oleh tepuk tangan kemenangan.

“Dipersilahkan untuk para pemenang maju keatas panggung, dan untuk pemenang pertama dipersilahkan untuk memberi ucapan terima kasih”

Jantung Arif berdetak tiga kali lebih cepat ketika memulai untuk memberi kata sambutan.

“Bismillahirrahmanirrahim… Saya ucapkan terima kasih kepada Allah, dan para sahabat. Terutama Ali. Seharusnya yang berada di atas panggung ini adalah Ali. Untuk Ali yang terbaring…” Arif mulai menitikkan air mata.

Arif tak sadar bahwa Ali berada dibelakang para penonton dengan kursi rodanya.

“Setiap manusia memiliki cita-cita dan harapan untuk sebuah misi hidup. Usaha dan kerja keras kita yang membawa kita pada cita-cita tersebut. Piala ini akan saya persembahkan untuk sahabat saya, Ali. Yang memiliki harapan untuk sebuah misi. Misi yang membawa pada kenyataan hidup,” Aula disesaki oleh kemeriahan tepuk tangan para penonton.

***

Arif turun dari panggung dan sebuah kejutan Ali berada di depannya saat ini.

“Ali…” Arif berbinar

“Selamat! Kau bisa Rif”

“Aku persembahkan piala ini untukmu. Misimu tercapai Li” Arif tersenyum bahagia.

Kedua sahabat itu pun berpelukan.

Akhirnya, sebuah harapan yang tersimpan kini terwujud adanya. Mereka kini tahu bahwa harapan tanpa usaha hanyalah sia-sia. Berusaha tanpa ada harapan hanyalah seperti orang yang berjalan tanpa tujuan. Karena hidup hanyalah untuk sebuah misi, harapan dan cita-cita. Dan karena dua insan mempunyai harapan untuk hidup yang lebih baik.

 

Leave a comment