Hits: 15

Agnes Priscilla / Miftahul Jannah Sima

Pijar,Medan. Kekerasan terhadap perempuan merupakan masalah yang mencakup semua strata sosial dari level yang terendah hingga yang tertinggi. Padahal dalam istilah hukum Indonesia mengenal asas equality before the law, yang artinya semua orang sama kedudukannya di hadapan hukum. Asas tersebut berlaku pula dalam konteks hak asasi manusia, terdapat kata equality yang berarti persamaan. Persamaan di bidang apapun baik di hadapan hukum, pemerintahan, industri, dan sebagainya.

Kaum perempuan adalah elemen masyarakat yang dapat dikatakan cukup “sering” menjadi penyintas dalam masalah kekerasan. Berbagai macam kekerasan sering menimpa perempuan, baik secara verbal maupun tindakan, bahkan kekerasan seksual bagi perempuan menjadi kasus yang cukup tinggi di Indonesia.

Namun sayangnya, tak jarang wanita yang menjadi korban malah menjadi oknum yang disudutkan dalam beberapa kasus. Tak hanya wanita dengan pakaian seksi, wanita yang sangat menjaga penampilannya saja masih bisa diganggu oleh laki-laki yang tidak bertanggungjawab, dan anak-anak yang masih mengenakan seragamnya pun tak luput dari kekerasan seksual.

Mengapa hanya perempuan? Mengapa Anak-anak? Hal ini seperti mengerucutkan bahwa tindakan ini bisa terjadi karena adanya kuasa. Di mana pelaku yang merasa memiliki kekuatan, baik dalam jasmani ataupun materi, akan merasa memiliki keberanian atas tindakan kejinya. Hal ini juga menjadi salah satu faktor kekerasan pada perempuan yang masih terus ada.

Demi mengurangi angka kekerasan pada perempuan, setiap tanggal 25 November hingga 10 Desember diperingati sebagai Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP). Berlangsung selama 16 hari, kampanye ini rutin dilakukan di seluruh dunia sejak digagas oleh Women’s Global Leadership Institute tahun 1991 yang disponsori oleh Center for Women’s Global Leadership. Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan adalah momen sekaligus pengingat bagi kita untuk tetap menjunjug tinggi HAM, bukan hanya kepada kaum laki-laki tetapi kepada perempuan juga.

Ketika kekerasan terjadi pada seorang perempuan maka sesungguhnya telah terjadi pelanggaran hak, yakni merampas hak asasi manusia. Dengan bahasa lain, seorang perempuan tidak boleh didiskriminasi dalam mendapatkan haknya dan harus dijunjung tinggi, khususnya hak untuk tidak disiksa. Hak untuk tidak disiksa merupakan salah satu hak fundamental yang dimiliki manusia dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun.

Dilansir dari amnesty.id, ada setidaknya 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2019 yang sebagian besar bersumber dari data kasus/perkara yang ditangani Pengadilan Agama. Bahkan selama 12 tahun terakhir, kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 792 persen. Ini artinya kekerasan terhadap perempuan di Indonesia meningkat hampir 8 kali lipat dalam 12 tahun terakhir.

Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan. Contohnya adalah dengan menjadi sahabat bagi para perempuan atau membantu perempuan dalam hal  mewadahi  untuk bisa tetap berkembang, belajar, dan memiliki pengalaman yang sama. Hal ini juga penting untuk menjadikan perempuan sebagai “Well educated woman” untuk menghadirkan kesadaran kolektif bahwa menjadi perempuan itu membutuhkan pendidikan yang baik agar bisa menjadi batu loncatan dalam menjalani estafeta kehidupan yang bebas kekerasan.

Dengan begitu lingkar ketiga seharusnya bisa memberikan kemajuan untuk melahirkan gerakan perempuan yang bersifat progresif dalam beberapa bidang. Di Indonesia sendiri gerakan tersebut telah dilakukan oleh RA. Kartini, Dewi Sartika, Cut Nyak Dien, hingga Marwah Daud Ibrahim untuk mewujudkan ruang perempuan yang memiliki kemajuan dalam menghadapi tantangan dan rintangan, salah satunya adalah tindak kekerasan terhadap perempuan.

(Editor: Erizki Maulida Lubis)

Leave a comment