Hits: 9
Hidayat Sikumbang
Pijar, Medan. Hartley Sawyer pada akhirnya harus kehilangan pekerjaannya lantaran beberapa cuitan-cuitan rasialnya di Twitter justru menjadi bumerang sendiri baginya. Terkait dengan isu rasisme di Amerika Serikat yang sekarang sedang memanas, cuitan lamanya justru menjadi penghakiman baginya. Ia dipecat dan terpaksa kehilangan peran sebagai tokoh pahlawan super Ralph Dibney dalam serial The Flash.
Penghakiman warganet terhadap apa yang dialami Hartley bukanlah hal baru. Setahun yang lalu, James Gunn, sosok di balik Guardians of Galaxy terpaksa ditendang oleh Disney dan tidak melanjutkan film ketiganya. Pasalnya, James mengeluarkan cuitan-cuitan yang tidak senonoh terkait dengan lelucon pedofilia dan pemerkosaan.
Jejak digital itu menyeramkan, Kapten. Begitulah kira-kira kenyataanya saat ini. Sekali kita mengeluarkan cuitan, itu akan dikenang oleh orang banyak. Penghakiman digital adalah meja hijau yang paling menyeramkan. Hartley Sawyer dan James Gunn adalah secuil kisah yang berisikan cerita menyeramkan dari media sosial.
Media sosial sekarang ini sudah menjadi kebutuhan wajib bagi masing-masing orang. Riset yang dipublikasikan oleh Crowdtap, Ipsos MediaCT, dan The Wall Street Journal pada tahun 2014 menunjukkan jumlah waktu yang dihabiskan khalayak untuk mengakses internet dan media sosial mencapai 6 jam 46 menit per hari. Penggunaan media sosial pun beragam. Dari mulai hanya sekadar foto selfie untuk kepuasan pribadi, transaksi online, hingga belajar ilmu-ilmu baru di kanal Youtube.
Indonesia sebagai negara hukum telah mengatur regulasi terkait penggunaan media sosial. Dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya, baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya. Poin-poin yang diakomodir yakni terkait dengan; penghinaan atau pencemaran nama baik, melanggar asusila, hingga menyebar berita bohong, menyebarkan kebencian dan isu SARA.
Media sosial hadir layaknya sekumpulan negara atau masyarakat, di mana di dalamnya juga terdapat ragam etika dan aturan yang mengikat para penggunanya. Aturan ini ada karena perangkat teknologi itu merupakan sebuah mesin yang terhubung secara daring atau bisa muncul karena interaksi di antara sesama pengguna. Berita rasisme yang ada di Amerika Serikat akan cepat menyebar ke Indonesia. Bencana alam yang terjadi di sudut negeri akan mudah ditangkap secara daring.
“Setiap orang sekarang ini telah menjadi publik figur. Dengan media sosial, dia bisa menjadi Opinion Leader bagi orang lain,” ungkap Fred Neust, salah satu tokoh penggerak lingkungan laut asal Jerman. Itu artinya, satu orang yang berbuat kebaikan di media sosial akan dengan cepat menyebar kepada orang lain. Tetapi kebalikannya, satu orang menyebar berita bohong yang provokatif maka dengan cepat akan menyebarkan berita negatif ke pengguna media sosial lainnya. Mereka tidak segan menggunakan atribut provokatif, seperti kata “Sebarkanlah” atau kata-kata bombastis sejenisnya. Pesan yang sering dipakai adalah “share ke yang lain, bagikan, atau simpan”. Terkadang, disertai ancaman seperti surat berantai di masa lampau.
Maka, mulai dari sekarang. Sebarkanlah berita positif. Tidak harus baik, tetapi yang bermanfaat. Kebaikan itu menyebar, semoga kita lah virusnya.
(Redaktur Tulisan: Widya Tri Utami)