Hits: 8

Hidayat Sikumbang

“Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu pakaian dan makanan dikurangi,” – Tan Malaka

Pijar, Medan. Tan Malaka pernah mengungkapkan bahwa selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu pakaian dan makanan dikurangi. Tan Malaka menganggap bahwa literasi lebih penting dari segalanya, bahkan melebihi kebutuhan sandang dan pangan sekalipun.

17 Mei adalah peringatan terhadap Hari Buku Nasional. Disahkan oleh Menteri Pendidikan dari Kabinet Gotong Royong, Abdul Malik Fadjar sejak tahun 2002 lalu. Barangkali, pada masa itu sang menteri menyadari bahwa membuat generasi muda gemar membaca buku bukanlah hal yang mudah dilakukan.

Orang-orang pada zaman dahulu merupakan kaum intelektual yang terpelajar. Selain Tan Malaka, Bung Hatta juga pernah mengungkapkan kesetiaannya terhadap buku. “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas.”

Ya, ucapan Bapak Koperasi Indonesia tersebut bukan main-main. Bung Hatta menganggap buku adalah satu cara untuk membebaskan diri dari hal apapun. Semakin banyak membaca buku, semakin bebas pula pikiran kita bisa berkelana.

Sayangnya saat ini, pikiran kita tidak lagi bebas berkelana. Perayaan terhadap buku-buku terasa sia-sia lantaran sudah berulang kali razia buku terjadi. Belum lepas dari ingatan kita bahwa April lalu, pihak kepolisian Polda Metro Jaya menyita buku-buku dari kelompok Anarko. Tampak dalam konferensi pers, ada buku Aksi Massa karangan Tan Malaka, Indonesia dalam Krisis karya Litbang Kompas, lebih konyol lagi buku Negeri Para Bedebah karangan Tere Liye dan buku Corat-coret Dinding Toilet milik Eka Kurniawan ikut-ikutan jadi barang bukti.

Kapolda Metro Jaya menunjukkan buku-buku terkait aksi vandalisme yang dilakukan kelompok anarko.  Sumber Foto: CNN Indonesia
Kapolda Metro Jaya menunjukkan buku-buku terkait aksi vandalisme yang dilakukan kelompok anarko.
Sumber Foto: CNN Indonesia

Apakah menyita buku cukup dengan melihat bagaimana bentuk halaman sampulnya saja tanpa melihat isinya? Jika iya, kasihan sekali Eka Kurniawan dengan cover bukunya yang terdapat Bom Molotov. Atau, menganggap membaca karya tangan Tan Malaka adalah haram lantaran ia berhaluan kiri dan langsung menistakan begitu saja karangan-karangan miliknya. Tapi bagaimana mungkin buku Negeri Para Bedebah ikut-ikutan terseret?

Selow aja. Itu hanya salah paham. Nanti kapan-kapan kalau Pakpol dan Bukpol sempat baca buku itu, dia akan mengerti,” ucap Tere Liye santai.

Miris memang, di saat bangsa ini butuh banyak-banyak literasi, aparat sibuk merazia tanpa alasan pasti. Najwa Shihab sebagai Duta Literasi mengecam keras tindakan-tindakan seperti ini. “Melarang membaca buku sama saja dengan menghalangi upaya mencari, mengolah, dan menyikapi informasi dan pengetahuan secara bebas dan kritis.”

Ia juga menganggap pelarangan buku adalah sebuah kemubaziran. Di tengah rendahnya minat baca, pelarangan buku adalah kemunduran luar biasa. Indonesia bisa semakin tertinggal dari bangsa-bangsa lain yang selalu terbuka kepada ide-ide baru dan pengetahuan-pengetahuan baru.

Jadi di masa pandemi ini, untuk membunuh rasa bosan tak ada salahnya membaca buku masuk ke dalam rangkaian kegiatan harian kita. Seperti kata Najwa, tidak mudah memang untuk jatuh cinta terhadap buku. Cuma perlu satu buku untuk jatuh cinta pada membaca. Cuma satu buku. Cari buku itu. Mari jatuh cinta.

(Redaktur Tulisan: Intan Sari)

Leave a comment