Hits: 114
Alya Amanda
Sesungguhnya berbicara denganmu
Tentang segala hal yang bukan tentang kita
“Nah, ini, nih, masuk ke bagian yang aku suka,” ucap pemuda yang telinga kanannya sedang tertancap headset berwarna hitam.
Mungkin tentang ikan paus di laut
Atau mungkin tentang bunga padi di sawah
Sungguh bicara denganmu
“Tentang segala hal yang bukan tentang kita…” gerak mulut mungil milik si pemudi yang duduk di hadapan pemuda tadi. Bibir indahnya gencar sekali mengikuti lirik dari gelombang suara yang masuk ke telinga kirinya melalui alat kecil berwarna hitam—sama seperti milik pemuda di depannya—headset hitam kecil dengan kabel yang saling bertaut.
“…selalu bisa membuat semua lebih bersahaja,” sambung suara bariton dari si pemuda. Lalu, disahuti dengan senyum dan tawa kecil dari pemudi di depannya. “Aduh, bisa-bisa aku panjang umur, nih,” celetuk pemuda itu sambil melepas headset di telinga kanannya.
Si pemudi menelengkan kepalanya ke kanan dan menautkan alisnya tipis, “Kenapa, Nug?” tanyanya antisipasi.
“Siapa juga yang nggak sehat kalau terus-terusan lihat wajah gemas bahagiamu itu, Ra,” ada jeda. “Kan, alamatnya jadi panjang umur, hehehe…”
Pemudi itu tersenyum lagi. “Jelek. Nugi gombal mulu. Malesin,” ucapnya berbanding terbalik dengan jantung yang kini sedang bergejolak hebat. Mungkin, kalau dihadapkan dengan sinar X-Ray, jantung Hara tengah berada di tempat yang tidak semestinya—alias TURUN KE LAMBUNG—alias SALTING BERAT! GAWAT!
Apapun hal manis yang keluar dari mulut Nugi memang terkesan gombal atau omdo (omong doang). Namun, Nugi dengan perawakan badannya yang besar, rambut gondrong sebahu, jaket kulit kegemarannya, dan tak lupa dengan setelan serba hitam yang kerap kali menjadi ciri khasnya—memiliki hati yang tulus. Tak main-main. Apa adanya.
Banyak yang tidak menyangka bahwa Nugi kini bersama Hara—lebih tepatnya, berhasil mendapatkan Hara.
Mungkin, hari yang sedari tadi mendung tanpa pancar cahaya mentari hingga sore ini merupakan hari ke-455 mereka menjadi jantung hati. Tak ada yang tahu pasti, baik Hara dan Nugi mengenai usia hubungan mereka. Keduanya hanya saling merakit layang-layang; layangan doa dengan jutaan semoga yang mudah-mudahan tersemogakan.
Mereka juga tak begitu peduli dengan standar sepasang kekasih. Pacaran harus begini, pacaran harus begitu, bla…bla…bla. Mereka tak berada di sistem yang demikian. Mereka menciptakan sistem mereka sendiri—seraya menautkan dawai asmara versi mereka berdua.
“Lagu tadi judulnya apa?” pertanyaan itu keluar dari mulut yang sedari tadi sibuk menyeruput jus jeruk yang sudah habis.
Nugi tampak terkejut heran, lalu tertawa. Tampaknya kini Nugi sudah memaklumi kondisi di mana Hara mampu melantunkan lirik, tetapi tak menahu akan judul dari lirik yang dinyanyikannya tersebut.
Jemari Nugi kini tengah menggenggam gelas berisi jus jeruk miliknya yang masih terisi penuh—masih diseruputnya sekali. Lalu, ia mengisi gelas Hara dengan jus miliknya. “Mari Bercerita milik Payung Teduh,” ucapnya setelah menghentikan aktivitasnya—mentransfer jusnya ke gelas milik gadisnya.
Sepasang netra berwarna cokelat terang itu membelalak kaget setelah melihat aksi Nugi. “Loh, kok kamu kasih ke aku? Nanti aku kesenengan, lho, terus jadi kebiasaan,” ucap Hara dengan intonasi suara waspada agar Nugi memikirkan dampak ke depannya.
“Gapapa, dong. Tanpa kamu sadari, aku juga udah kebiasaan. Kebiasaan mau bagi milik aku ke kamu. Jadi, ya gapapa, Hara…” tanggap Nugi langsung ke poin, apa adanya.
Dua insan yang asyik bertukar gagasan tersebut sedang berada di sebuah kafe kecil. Sebuah kafe yang terletak di dalam gang, paling pojok—berada di antara ruko besar dan dinding pembatas jalan buntu. Tak banyak orang tahu mengenai kafe yang menjadi langganan mereka itu.
Pasalnya, selain terletak di ujung gang, kafe ini juga tertutupi tanaman yang menjalar di bagian depannya. Tampak semak, sekaligus segar—tergantung siapa yang memandangnya. Konon kafe ini sudah berdiri sejak 100 tahun yang lalu, namun jelas itu umur yang dibuat-buat semata-mata karena tata ruang dan properti kafe yang terkesan usang. Kafe ini dipenuhi barang-barang antik, juga pasangan-pasangan lain yang kebanyakan sudah termakan usia.
Dapat dibilang, kini, di awal Maret 2022, hanya mereka—hanya Nugi dan Hara pengunjung kafe yang berada di usia dua puluhan. Namun, mereka berdua tampak tak terusik, justru mereka merasa aman dan merasa akan seperti pasangan usia senja lainnya—duduk bercengkerama menikmati minuman yang tertera di buku menu dengan wajah yang menua.
Ctak! Tiba-tiba Hara menjentikkan jari, seperti tengah teringat akan sesuatu. “Tadi kamu bilang, lagu tadi milik Payung Teduh, kan?” Nugi mengangguk. “Aku tahu lagu Payung Teduh yang lain!” ucapnya mengaku antusias.
Hara merogoh tasnya kasar, mengobrak-abrik isinya penuh ketidaksabaran. 15 detik. 35 detik. 1 menit 23 detik. Tampaknya benda yang ia cari tak berakhir ditemukan. Hara mulai mengeluarkan satu per satu isi tasnya. “Nug, lihat HP-ku nggak?” finalnya memutuskan bertanya sebelum berpikiran bahwa HP-nya ketinggalan atau bahkan lebih buruk dari itu: hilang.
Mata Nugi berlari liar ke kanan dan ke kiri, ikut mencari. Mata legamnya benar-benar menyisir seluruh area meja bulat yang berada di antara mereka berdua. Ia membuang napas kasar, rasa paniknya berubah menjadi senyuman lega. “Ini, Alaaa. Ketimpa barang-barang kamu, dari tadi ada di mejaaa,” jelas Nugi gemas sendiri menyaksikan tingkah gadisnya.
Telapak tangan kanan Hara kini sudah berada di jidatnya, “Demi apa?” ia mengaku dalam hatinya bahwa ia telah bertingkah konyol beberapa menit lalu.
Nugi tersenyum kecil dan menggeleng lembut seakan mengisyaratkan bahwa kejadian tadi adalah hal yang wajar. “Emang kamu mau nunjukin apa, Ra?”
Hara membuka ponselnya setelah memasukkan kembali barang-barangnya ke tempat semula—tas putih berukuran sedang miliknya. Jemari kecil nan lentik itu bergerak di permukaan benda persegi panjang yang ada di genggamannya. Tak lama, ia menghentikan aktivitasnya dan mengarahkan layar ponselnya ke hadapan Nugi.
Nugi masih mengamati, belum menemukan maksud Hara sama sekali sampai Hara mendaratkan jari telunjuknya ke satu titik di ponselnya. Klik! Terdengar lantunan lembut disusul vokal yang mengisi musik tersebut.
Datang dari mimpi semalam
Bulan bundar
Bermandikan sejuta cahaya
“Di langit yang merah, ranum seperti anggur,” sambung Hara tak tahan jika hanya berdiam setelah lagu tersebut diputarnya. “Wajahmu membuai mimpiku,” sambungnya lagi.
“Angin Pujaan Hujan, ya? Ini lagu Payung Teduh yang kamu tahu?” tanya Nugi tadi disambut anggukan cepat dari Hara. Hara tersenyum sumringah, matanya memancarkan binar sentosa. Jelas pemandangan itu adalah pemandangan terbaik versi Nugi. Berkah umur untuk kita berdua, doa Nugi dalam hati.
***
Akhir November 2023
Rumah sederhana dengan warna putih dan cokelat yang mendominasi itu berhasil dikuasai sepi, berbanding terbalik dengan halamannya yang ramai akan tanaman hijau dan bunga bermekaran.
Memasuki ruang pertama dari rumah tersebut akan langsung menemukan sebuah pajangan yang terbungkus bingkai apik. Bingkai itu berisi foto dua insan yang tengah tertawa lepas tanpa gundah, di mana sang tuan menggunakan kemeja putih dibalut setelan jas hitam, sementara si puan memakai gaun putih dengan rambut gulung yang tertata sedemikian rupa.
Jika diamati dengan seksama, pada pojok kanan bawah terdapat sebuah untaian huruf dan angka.
Nugraha Diratama & Kayana Prahara
25 Juli 2022
Memasuki ruangan kedua, tertangkap seorang pria tengah sibuk menghentikan tangis nyaring dari Hara versi mini dengan segelas dot susu. Wajahnya tampak gusar, tak dapat dihindari bahwa pria itu tengah kewalahan. Matanya tak lagi memancarkan binar, mungkin akibat dari banyaknya tidur malam yang dikorbankan.
Tangis Hara mini semakin menjadi, Nugi pun rasanya ingin mengimbangi tangis tersebut dengan tangisnya. Namun, lagi-lagi, ia teringat bahwa hanya ia yang dimiliki oleh bayi kecil yang kini berada di dekapannya.
Sejak tiga bulan lalu, saat asanya ikut terkubur enam kaki di bawah tanah bersama Hara-nya, Nugi seakan mati rasa. Kepalanya selalu berisik. Mungkin ini terjadi karena benang dari jutaan layangan doa yang mereka layangkan tak begitu kuat.
Nugi merasa hampa, tiap terputar lagu Payung Teduh membuatnya termenung gelisah. Namun, kadangkala juga membuatnya bernostalgia—akan bercengkerama di kafe, tingkah konyol Hara, satu headset berdua, Mari Bercerita, jus jeruk, Angin Pujaan Hujan.
“Aku masih suka Payung Teduh, Ra. Apalagi yang judulnya Resah.”