Hits: 13
Scarlet Publisher
Pijar, Medan. Fandi Ahmad, ia adalah anak muda pecinta kopi yang istimewa. Banyak anak muda pecinta kopi. Banyak pula anak muda yang membuka warung kopi sendiri. Namun yang membuat Fandi istimewa karena ia adalah pecinta kopi yang peduli dengan kaum proletar seperti para petani.
Anak muda yang bergabung di Sumatera Youth Food Movement ini mencoba untuk menjalankan tri dharma perguruan tinggi yang ketiga yaitu “Pengabdian”. Bagi Fandi untuk menjadi mahasiswa seutuhnya tidak bisa sekedar unjuk kebolehan berbicara koar-koar melalui pengeras suara sambil berorasi, namun juga harus mengambil suatu tindakan yang bisa direalisasikan.
Bermula dari kecintaannya kepada biji hitam berbau khas yang tidak lain adalah kopi, Fandi belajar untuk tidak hanya menjadi penikmat namun bagaimana dia bisa menghasilkan pundi-pundi uang melalui minuman kesukaannya ini. Hingga pada akhirnya Fandi begabung di koperasi Serikat Petani Indonesia (SPI) yang menjadi wadahnya untuk belajar sekaligus mewujudkan mimpinya membangun sebuah coffee shop. Coffee shop yang Fandi dirikan bersama rekan-rekan SPI lainnya bukan seperti coffee shop pada umumnya. Di sini kita akan menemukan berbagai jenis kopi, cokelat, ubi, kentang yang diambil langsung dari petani lokal yang tentunya dengan harga yang sesuai.
Alasan lain mengapa Fandi sangat ingin membuka coffee shop karena Indonesia merupakan negara penghasil kopi terbesar ke-4 di Dunia. Bahkan The Hunffingtonpost, salah satu perusahaan media digital swasta di Amerika menyebutkan bahwa kopi luwak dari Sumatera sebagai kopi termahal di Dunia. Seharusnya jika Indonesia memiliki kopi terbaik yang diakui dunia, para petaninya mampu hidup sejahtera. Namun mirisnya kenyataan berbalik, justru para tengkulak lah yang meraup omset yang besar. Mereka gencar mencari petani-petani kopi dari seluruh pelosok Indonesia yang hasil tanamannya bisa mereka manfaatkan dengan prinsip modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.
Edukasi yang kurang membuat petani kita hanya manggut-manggut saja ketika hasil tanamannya dibeli dengan harga yang murah. Perjalanan pembangunan pertanian Indonesia hingga saat ini masih belum dapat menunjukkan hasil yang maksimal jika dilihat dari kesejahteraan petani dan kontribusinya pada pendapatan nasional. Peran pemerintah tentunya sangat penting untuk sektor pertanian yang kini mengalami masa kritisnya. Tidak hanya pemerintah, mahasiswa yang menjadi agen perubahan harusnya juga ikut campur tangan untuk masalah ini.
Permasalahan yang sedang terjadi ini yang membuat hati Fandi terketuk. Ia ingin petani kita hidup sejahtera dengan hasil panen mereka yang dibeli dengan harga yang normal yang tentunya harga dari hasil tanamannya ditentukan mereka sendiri bukan ditentukan oleh tengkulak nakal. Satu-satunya cara agar petani kita sadar akan permasalahan yang terjadi pada mereka adalah dengan cara mengedukasi mereka bagaimana proses pasca panen yang benar.
Baru-baru ini Fandi dan teman-temannya mengunjungi Desa Rohdearni, Ambarisan, Simalungun yang merupakan penghasil kopi terbaik di Sumatera Utara. Tujuannya adalah untuk mengedukasi para petani di sana agar mengerti dengan permasalahan serius yang sedang mereka alami saat ini. Ketika Fandi dan teman-temannya melakukan penyuluhan kepada petani, mereka mendapatkan banyak keluhan, seperti keluahan dari Opung Buyung Sidamanik. Opung Buyung menumpahkan kekesalannya kepada tengkulak. Selain kebun kopi, Opung Buyung juga memiliki kebun vanili, si tengkulak berjanji akan membeli vanilinya namun setelah panen si tengkulak tidak kunjung datang. Akhirnya Opung Buyung terpaksa membuang semua vanilinya karena tidak ada pembeli. Padahal dari pengakuan Opung Buyung, harga vanili sedang naik-naiknya. Petani kopi yang ada di sana juga mengaku tidak tahu-menahu mengenai biji kopi yang bisa dijadikan sebagai minuman, yang mereka tau hasil tanamannya dibeli hanya untuk sebagai bahan pewarna saja. Tentunya pengetahuan yang sangat minim oleh para petani dijadikan bahan untuk mencari rupiah oleh oknum-oknum berotak licik dan dengan gampang mereka mengambil hasil tanam dengan harga yang sangat murah.
Fandi dan teman-teman lainnya merasa sangat senang bisa melihat senyum bahagia dari para Petani yang ada di Desa Rohdearni, Ambarisan, Simalungun. Kebahagiaan yang dibagi melalui secangkir kopi yang sejak tahun 1997 tidak pernah dirasakan oleh petani kopi yang ada di sana. Petani kopi yang memproduksi bahan utama pembuatan minuman kopi selama 20 tahun tidak pernah mencicipi minuman ini. Yang mereka tahu kopi sachet yang dijual di warung-warung dekat tempat mereka tinggal.
Kunjungan Fandi dan teman-temannya kini bisa mengubah cara pandang para petani yang ada di sana. Kini mereka mau ikut bergabung dalam koperasi SPI dan ingin memutus jalur distribusi yang selama ini dikuasai para tengkulak.
Fandy menyampaikan harapannya, terkhusus untuk anak-anak muda zaman sekarang. “Jangan beli kopi yang digunting tapi belilah kopi yang digiling,” kata Fandy. Selain Fandy, semoga ada banyak anak muda sepertinya yang peduli akan kehidupan rakyat kecil seperti petani.
“Terimakasih kepada-Nya yang telah mengadakannya dan Petani yang sudah menanam, merawat, memproses hingga sampai pada mereka yang menyeruputnya,” kata salah satu rekan lainnya dari SPI.
(Redaktur Tulisan: Maya Andani)