Hits: 38

Grace Kolin

 

Ibuku pernah berkata. Kalau kamu ingin didengarkan, berceritalah. Bahkan ketika orang menolak untuk mendengarkanmu, berceritalah. Siapa tahu, ceritamu dilupakan.

Beberapa hari ini, aku bimbang. Apakah hal yang kulakukan benar atau tidak.

Semuanya menjadi perkara ketika aku berjalan meraih mic di atas panggung. Ini akan baik-baik saja, pikirku. Ini akan baik-baik saja.

Mataku menghampar pada puluhan, Tidak! Ratusan pasang mata yang menelanjangi diriku, penuh dengan kebencian. Aku bergidik penuh dengan kengerian. Seolah ini bukan panggung, tapi tiang pancung.

“Itu si Nilam, anak dari wanita rendahan,” bisik salah satu orangtua siswa.

Mereka membicarakan ibuku. Ibuku yang penuh dengan dosa. Bahkan neraka pun tak sudi menampungnya. Sedangkan aku, berdiri disini menyaksikan semuanya. Mata mereka. Lidah mereka. Menyala liar! Persis seperti bara api di tungku.

Aku mencoba menguasai diriku.

Setidaknya, aku harus tetap bercerita disini sampai ceritaku selesai. Sampai aku benar-benar yakin, untuk apa aku berdiri disini.

Iya kan Bu?

***

“Anna Karenina memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri dengan menabrakkan kepalanya ke rel kereta api. Tamat,ujar ibu sambil menutup cerita pengantar tidur.

AKH! Mengapa Leo Tolstoy selalu menawarkan akhir cerita yang mengecewakan? Seolah untuk ukuran seorang wanita, Anna tidak memiliki terlalu banyak pilihan. Sementara Vronskii, ia masih punya banyak pilihan untuk bersama wanita lain.

Selera ibu memang payah! Tidak seperti ibu-ibu pada umumnya. Ibuku selalu menceritakan cerita yang suram. Jauh dari kata happy ending. Mungkin karena ibu ingin membebaskanku dari simulakra. Kata ibu, simulakra itu berbahaya. Makanya, ibu tidak ingin membesarkanku dengan dongeng. Ia takut ketika aku besar nanti, aku akan menuduhnya sebagai pembohong.

Kenyatannya, aku menjadi terasing. Aku tak sepaham dengan teman-teman seusiaku. Mereka bilang, aku tidak waras. Semenjak itu, aku diam-diam membaca buku Cinderella di balik selimut. Ketika aku ketahuan, Ibuku sangat marah. Ia menyita buku itu lalu melemparnya ke tong sampah.

“HIDUP ITU TAK SEINDAH DONGENG, NILAM!!!”

***

09/02/1998

Rutinitas itu selalu sama. Hanya pelanggan yang selalu berbeda. Tergantung tarif. Ada uang, ada barang.

Dini hari, aku terbangun dengan seorang lelaki di sampingku. Lelaki itu mendengkur begitu keras. Sangkin kerasnya, aku terlontar dari mimpi.

SIAL! Aku membersihkan diri. Kemudian pergi mengenakan piama dari dalam kamar mandi.

Pandanganku tertumbuk pada bayang-bayang Laras di depan cermin. Laras? Siapa Laras? Laras sudah mati. Sekarang aku adalah Rangda. Nama panggung untuk semua ‘simpang lampu merah’ yang pernah kusinggahi.

***

10/02/1998

Aku menghisap sebatang rokok sambil menyeruput secangkir kopi. Sehitam dan sekelam kehidupan kota yang duka ini. Sambil menakar-nakar, seberapa sia-sia diriku ini.

“Lucky Strike?” terka James. Pelangganku semalam.

Aku mengangguk ringan. Lalu berbagi rokok dengannya. Ah. Ternyata seleraku begitu murahan.

Pelan-pelan, aku melingkarkan tanganku di bahu James. Mencari tempat bersandar. Kami pun kembali bermesraan. Seolah kami tidak mengenal usia.

“Oh James, apakah masih ada tempat untukku di surga?” bisikku.

“Tidak, Rangda. Tidak untukmu sayang,” balas James membelaiku.

“TERKUTUKLAH AKU!!!”

***

Teh Chamomile. Teh kesukaanku. The kesukaan ayah. Teh kesukaan kami berdua.

Sore itu, aku menyeduh dua cangkir teh Chamomile, satu untukku, satu untuk ayah.

Aku sengaja menata cangkir teh di atas meja tamu supaya ketika ayah pulang, dia langsung bersandar di sofa dan bercengkrama denganku. Sayang, rencanaku gagal total. Ayah pulang dengan membanting pintu. Matanya tampak berkilat-kilat. Entah mengapa, perasaanku jadi tidak enak.

“LARAS!!!” teriaknya kencang. Ibu turun dari tangga dengan tergopoh-gopoh.

Seperti biasa, ia menyambut ayah dengan ramah. Namun tiba-tiba, tangan ayah mendarat di pipinya. Ibu sampai jatuh tak berdaya di atas lantai. Sudut bibirnya berdarah.

“DASAR!!!”

Ia merogoh secarik dokumen dari dalam tas lalu membantingnya di atas meja. Di atas amplop cokelat itu tertulis, HASIL TES DNA. Ibu meraih dokumen itu dan membaca isinya. Seketika, air mukanya berubah. Apa yang terjadi Ibu? Katakan sesuatu!

Ayah langsung mengusir kami dari rumah. Ia membiarkan kami pergi tanpa membawa apapun. Kami terlantar. Menggelandang. Kelaparan. Dengan sedikit daya yang tersisa, kami berusaha mencari suaka.

***

11/02/1998

Aroma whisky begitu kental di tubuhku. Mungkin aku meminumnya terlalu banyak.

Kubiarkan seluruh badanku tenggelam di bak mandi supaya Nilam tidak mengikuti jejak yang sama. Ia masih terlalu muda. Tentu, ia juga akan sangat membenci ibunya kalau ia sampai tahu aku bersama pelanggan setiap malam.

Ini semua salah Louis. Dia yang menantangku minum duluan. Kepalaku sampai tenggen dibuatnya. Alih-alih untuk mengusir rasa kantuk, kami pun lanjut main kartu truf sampai larut malam. Seraya bermain, Louis mengajakku ngobrol.

“Kau mau jadi istriku?”

“Jangan bodoh. Kau tak mungkin menjinakkan seekor kuda!”

“Karena itu Sugriwa mencampakkanmu?”

Aku terdiam.

***

Aku tak pernah berhenti bertanya. Siapa ayahku? Apakah dia tampan? Apakah dia pemberani?

Ibu selalu menampik pertanyaan itu. Seperti luka yang tak ingin ia korek.

Mungkin itu adalah sebuah isyarat. Isyarat bahwa ayahku adalah sosok yang tak patut aku singgung. Lantas, aku berpikir, apakah ayahku adalah seorang penjahat? Kalau ayahku adalah seorang penjahat, penjahat seperti apa dia?

Seperti membuka kotak pandora, aku menemukan ayah di catatan harian ibu. Terjepit diantara dua buku angkuh, buku itu sama sekali tidak berniat untuk ditemukan. Dan mungkin, sudah hangus terbakar atau raib entah kemana.

***

12/02/1998

Nilam sekarang tahu. Ayahnya yang hilang adalah anggota dari Partai Merah. Namanya, Mahesa. Aktivis pembela kaum proletar yang sengaja dihilangkan dan ditembak mati di tengah hutan. Malam itu, aku mengejar Mahesa yang diculik paksa dari kediamannya. Ia digiring ke jantung hutan seperti laiknya pesakitan. Sebelum aku sempat menyelamatkan Mahesa, timah panas itu sudah terlanjur meleburkannya. Nilam berontak keras di dalam kandunganku. Keranda kematian itu barusan saja melewati ayahnya. Aku pun hanya bisa menjadi saksi bisu di balik eksekusi keji itu.

Benar, aku melanggar sumpah pernikahan yang tidak kuinginkan. Aku mengkhianati Sugriwa. Sekaligus membiarkan rumah tangga kami kandas ditalak tiga. Jujur saja, aku memang tidak mencintainya. Dia hanya mampu membeliku dengan mas kawin. Sisanya, dia lebih sering mampir ke simpang lampu merah.

Semenjak ia pisah ranjang dengan istri barunya, aku pun beralih menjadi pelanggan tetapnya. Sambil menenggak seloki Vodka, dia bilang, dia masih mencintaiku. Dasar munafik! Bilang saja kalau kau rindu belaianku. Besok harinya, aku temukan ia tergantung di hadapanku. “Mungkin, ini obsesi terakhirnya,” gumamku.

***

13/02/1998

Terkadang, aku begitu benci menjadi seorang wanita. Dan cinta hanyalah satu dari berbagai alasan wanita itu dijual.

Menjadi wanita adalah azab bawaan lahir. Seperti Hawa yang menyebabkan Adam terusir dari Firdaus. Atau seperti Helene yang menyebabkan kejatuhan Troya. Dan aku tahu, betapa menyedihkannya hal itu.

Masalah di bawah pusar itu pun sudah jadi adat yang membumi. Tidak lagi hal yang tabu untuk dibicarakan. Bahkan adat pun membenarkan.  Bagian sensitif wanita adalah hal yang ‘manusiawi’. Tanpanya, tidak akan beroleh keturunan. Tapi lagi-lagi, aku benci dipaksa. Sampai aku bertanya-tanya. Mana kebebasanku?! Apakah aku bisa keluar dari siklus hidup wanita yang menyedihkan ini? Entahlah.

***

Ceritaku selesai. Tidak ada yang tepuk tangan.

Sambil tertunduk lesu, aku menuruni tangga. Aku gagal membela ibuku di depan massa. Mungkin ceritaku hanya sekadar isapan jempol. Tentang ayahku yang menghilang secara misterius dan tentang ibuku yang terpaksa dijual untuk menyekolahkanku. Sama sekali tidak menarik simpati.

Tiba-tiba saja, terdengar suara tepuk tangan dari bangku kosong itu. Bangku kosong yang sengaja disediakan untuk ibuku yang tak akan pernah lagi bisa datang melihatku hari ini. Semalam, ku tengok ibuku begitu khusyuk tertidur di dalam genangan bak mandi yang bewarna merah.

Aku rasa, mungkin dia bisa pergi dengan tenang sekarang.

 

 

1 Comment

  • Ifati
    Posted 7 Oktober 2017 21:16 0Likes

    Cerpennya sangat membantu UTS Kritik Sastra saya, dimana saya diharuskan mengkritisi cerpen dari sudut feminisme, marxisme, psikolog, dan lain-lain, tapi saya memilih feminisme hehe. Terimakasih sebelumnya.

Leave a comment