Hits: 4
Mutia Rahma
Ini kisah tentang perjalanan kasih yang tak berujung. Diperankan oleh Aku.
Menurutku Dia sudah tepat. Ternyata waktu berkata, belum tentu.
/./
Mungkin benar, aku masih sayang.
Tapi yang sudah jelas benar adalah kita harus membuat jarak dan ruang pribadi.
Karena jarak, akan mendekatkan logika kepada hati.
Dan ruang pribadi akan mengantarkan hatiku ke hatimu.
/1/
Kita sama-sama tidak tahu apa yang kita rasakan. Kita pikir, jalan ini adalah jalan yang tepat agar kita berhenti saling menyakiti.
“Kita sampai disini saja,” ucapmu lirih.
Sangat banyak emosi yang membuncah dibenakku. Tapi hanya “salahku apa?” yang keluar secara samar-samar dari mulutku.
Sebelum kau jawab. Lekas ku matikan teleponku. Maafkan aku. Aku tidak ingin mendengarnya.
Itu lebih baik, ketika kita usai dan kita tak perlu mengungkapkan kesalahan. Sebab kita pernah membangun kisah ini dengan kasih tulus yang tak pesimistis.
/2/
Kau berubah. Aku tak kenal lagi.
Entah apa memang aku yang belum mengenali mu seutuhnya? Jika memang ini dirimu, izinkan aku mempelajarimu sekali lagi.
Aku sedih. Sedih, bukan karena aku mengasihimu lebih dari apapun.
Sedih, karena aku berekspektasi sangat tinggi pada Kita. Sedih ternyata penilaianmu terhadapku tak mencerminkan kau mengenaliku.
Jika kau mau, ayo kita berkenalan sekali lagi.
“Kamu tahu, kehadiranmu itu tidak menenangkanku. Aku capek, tau?”
Sekali lagi, maafkan aku tak bisa menjawabmu.
Maaf, karena yang mampu kulakukan hanya diam.
/3/
“Sayang, aku rindu kamu. Pulang kantor kita harus jalan. Titik,” katamu manja memaksa, seperti biasa.
“Aku juga rindu, huft,” ucapku dari balik telepon kantor.
Aku senang sekali akhirnya kamu mengakuinya. Aku juga benar-benar rindu padamu. Betapa rumit rasanya menahan rindu padamu, kau tahu?
Siang-malam aku menunggu kabar kamu dimana? Dengan siapa? Baik-baik sajakah? Tapi sangat susah untukku hanya sekedar untuk mengetahui jawaban-jawabannya. Ya, aku mengerti setelah kamu memenangkan promosi dari kantormu kamu jadi makin sibuk. Aku sudah tahu dan sadar sejak pertama kali aku mendukungmu untuk mengambil kesempatan itu, sayang.
/4/
“Sayang, aku mendapat tawaran promosi jabatan dikantor,”.
“Wah, bagus dong! Terus gimana?”
“Tapi aku bingung juga, apa nantinya aku bisa mengembannya atau tidak,”.
“Yah, Kamu memang harus siap. Yang penting kamu sadar, kamu punya tanggung jawab,”.
“Menurut kamu, aku bisa nggak?”
“Bisa dong! Harus bisa!”
Ku kecup bibirnya, tanda ku mendukungnya.
/5/
Semalam dia mengirimkan sebuah pesan kepadaku. Pesan yang berisi ucapan selamat malam. Aku sempat memikirkan ada apa gerangan tersebut. Ketika tak ku temukan jawabannya, aku memutuskan untuk mengabaikan pesannya tanpa membuka pesan tersebut.
Tak sampai disitu, dia kembali menyapaku besok malam.
Aku sedang tak ingin berpikir. Yang terlintas hanya,”Mungkin memang ada yang penting.” Kali ini kuputuskan untuk menjawab pesan tersebut.
“Ada apa?”
“Tidak ada. Aku mengganggumu?”
“Oh. Tidak, kok. Kenapa nih?”
“Besok makan siang?”
Dan kemudian berlanjut sampai dia menyatakan seluruh perasaan sukanya.
/-/
Sejenak aku tahu, bahwa diam memiliki cara unik untuk menenangkan jiwa yang terluka.
Kamu sungguh luar biasa.
Kamu melahirkan diriku yang baru.
Aku tidak pernah sesakit ini. Aku tidak pernah setegar ini. Secara bersamaan.
Perasaan ini, menguatkan aku. Bahwa kasihku tak terbalas dengan baik, olehmu.