Hits: 82
Rizka Gusti Anggraini
Pijar, Makassar. Aan Mansyur lahir di Bone, Sulawesi Selatan pada 14 Januari 1982 ini bukanlah penyair kemarin sore. Pemilik sekaligus pustakawan ‘Katakerja’ ini memutuskan pindah ke Makassar pada tahun 1997. Sebuah keputusan yang berani, padahal saat itu ia masih belasan tahun. Setelah itu, selama satu tahun penuh hingga tahun 1998, ia memilih tidak melakukan apapun selain membaca buku tiap hari. Targetnya, satu hari satu buku harus dibaca.
“Kalau tidak selesai satu buku dalam satu hari, maka saya akan ‘menghukum’ diri sendiri dengan membaca 2 buku pada hari berikutnya,” ungkap pria alumnus Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Kahu, Bone, Sulawesi Selatan ini.
Ketika masih sekolah, ia sering berpindah-pindah lantaran tidak cocok dengan perpustakaan sekolah yang menurutnya tidak memenuhi keinginannya untuk membaca. Ia tidak betah membaca dan meminjam buku di sekolah-sekolah tersebut. Hal itu diakui karena memang ia telah menghabiskan banyak waktu di perpustakaan selama sekolah. Lelaki yang memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di Jurusan Sastra Inggris Universitas Hasanuddin Makassar pada tahun 2000 ini, mengurai perjalanannya. Aan berkisah tentang pencetusan nama pena yang kerap disebut oleh para pengagum syairnya.
Kegemaran Aan menulis memang sebenarnya berawal dari sifatnya yang pendiam dan sulit berbaur, hingga membuatnya sulit mengobrol. Tak heran, jika ia lebih senang menghabiskan waktunya di kamar dan perpustakaan milik kakeknya. Karena sulit berkomunikasi, ia memilih tulisan menjadi medianya. Bahkan, berkomunikasi dengan ibunya pun, ia lakukan lewat tulisan. Bila hendak mengatakan sesuatu atau meminta dibelikan buku, Aan menulis surat dan diletakkan di bawah bantal ibunya.“Berharap beliau melihat dan membacanya. Sekalinya dibalas oleh Ibuku, dia letakkan surat balasan itu di kamarku,” katanya sambil tersenyum.
Bagi Aan, memiliki koleksi buku banyak, bukanlah hal yang membanggakan. Ia meneguhkan pada dirinya sendiri bahwa kebutuhan membeli dan membaca buku diibaratkan seperti makan. Tiga kali dalam satu hari, hal itu aturan pada lingkaran dua puluh empat jam. Semua itu ia wujudkan dengan membuka sebuah perpustakaan di kota Makassar, bersama teman-temannya.
Disinggung tentang kedudukan Aan saat ini di mata para pengagum syair, sastrawan, dan pula seniman muda di seluruh Indonesia, tidaklah merubah sosok Aan. Terkenal dengan karakter dan perawakan diri yang pendiam, membuat Aan terus menggarap ‘Katakerja’ untuk tidak sekedar menjadi milik pribadi, melainkan sebagai sumbangsi untuk dunia literasi. Namun, masih belum bisa dipungkiri, suatu kesulitan bagi Aan agar membuat orang lain paham bahwa dirinya bukan semena-mena hidup bersama ‘para kekasih’ yang ia sebut alat penyambung itu. Melainkan, literasi menjadi salah satu poin pada kesimpulan dari alasan permasalahan karakternya.
“Ya, aku adalah orang yang bermasalah dengan keramaian. Jadi, aku perlu untuk selalu ada di tengah-tengah banyaknya buku meski tidak kubaca semua. Setidaknya, berada di antara buku, itu memancingku bahwa tugasku setiap hari adalah baca”, tangkas Aan.
Dimulai dari kecintaannya menulis sejak duduk di bangku SMA, hingga kini ia memilih terjun dalam labirin berbeda. Dia mencoba meleburkan dinamika hatinya dalam runtutan syair puisi.
Dalam beberapa tulisan dan syairnya, Aan sering menjadikan ‘aku’ sebagai tokoh utama. Alasannya, karena ia menulis bukan sekedar ingin sebagai penulis. Tetapi juga ingin menempatkan diri pada deretan pembaca untuk syairnya sendiri.
“Di beberapa buku sebelumnya, aku tidak hanya menekankan ‘aku’ disitu. Tetapi juga kusebutkan ‘kami’ dan ‘mereka’. ‘Aku’ adalah caraku untuk berbicara dengan pembaca. Berbicara seolah-olah aku dan kau ada di tempat yang sama, meskipun si ‘aku’ bercerita tidak pada tempat ketika ia menuliskan syair itu. Begitulah,” jelas Aan.
Aan berkarya dalam sajak-sajaknya yang sudah terbit di berbagai surat kabar terkemuka di negeri ini. Dia bahkan dimasukkan oleh Jakarta Globe dalam daftar The Next Big Things in Indonesian Culture pada tahun silam.
“Saya orang yang rumit. Sesederhana itu,” ujar Aan, mendeskripsikan dirinya sendiri.
Puisi-puisi karangannya sudah diterbitkan dalam beberapa buku, antara lain Hujan Rintih-Rintih (2005), Aku Hendak Pindah Rumah (2008), Cinta yang Marah (2009), Sudahkah Kau Memeluk Dirimu Hari Ini ? (2012), Kukila (2012), Tokoh-tokoh yang Melawan Kita dalam Satu Cerita (2012), Kepalaku: Kantor Paling Sibuk di Dunia (2014), dan Melihat Api Bekerja (2015). Aan juga menulis novel, yaitu Perempuan, Rumah Kenangan (2007) dan Lelaki Terakhir yang Menangis di Bumi (2015). Tidak hanya itu, peran Aan dalam film Ada Apa Dengan Cinta (AADC) 2, turut membumikan 31 judul puisi untuk tokoh Rangga. Puisi-puisi tersebut telah diterbitkan dalam buku “Tidak Ada New York Hari Ini”.